JARI manis gadis molek bermata cerdas itu, nampak indah dan ‘berkilau’, ketika usai ijab kabul, dalam peristiwa akad nikah, sang suami memasukkan cincin ke dalamnya. Entah bila, cincin menjadi bagian dari tradisi upacara pernikahan? Jelasnya, pada setiap terjadi upacara pernikahan, selalu saja ada peristiwa saling mengenakan cincin di jari manis sang pengantin.
Indahnya jemari yang mengenakan cincin aneka bentuk, termasuk yang bertatah berlian atau permata, dengan nama suami dan isteri di sebaliknya, tentu dimaksudkan untuk mengabadikan keindahan itu sepanjang masa. Hingga kematian memisahkan keduanya.
Banyak orang menduga-duga dengan pikirannya sendiri, cincin kawin, sekaligus sebagai pengingat, bahwa sang gadis ataupun sang jaka sudah beristeri atau bersuami, sehingga tak ada lagi orang lain yang berhak memasangkan cincin kawin di jari manis keduanya. Kecuali, tentu, bila mereka berpisah.
Hampir setiap calon pengantin, bahkan secarea khusus memilih desain yang paling pas dan cocok di hati mereka. Pada ketika mereka menentukan pilihan cincin terbaik, boleh jadi keduanya memandang sepasang cincin itu menjadi pengikat sepasang hati mereka. Karenanya, tak jarang, suami atau isteri menjadi panik begitu rupa, ketika cincin kawinnya raib, entah di mana.
Apapun alasan yang melatari pemilihan dan pengenaan cincin kawin di jari manis pengantin mempunyai tujuan yang baik. Karena pada dasarnya, setiap pasangan lelaki dan perempuan yang berjodoh dan diperjodohkan, boleh berharap, pernikahan mereka langgeng dan abadi selamanya. Bahkan mungkin sampai dunia – akhirat.
Nah, dari sudut pandang itu, semestinya cincin kawin mengandung makna yang sangat besar. Tidak hanya sebagai pengikat atau pertanda bahwa orang yang mengenakannya sudah beristeri atau bersuami. Melainkan, jauh lebih dalam lagi, yaitu: sebagai isyarat penguat bagi keduanya untuk tak pernah henti mewujudkan harmoni hubungan mereka sebagai suami isteri.
Apapun situasi yang dihadapi dalam menjalani kehidupan rumah tangga, pahit atau manis, harmonitas rumah tangga mesti menjadi tujuan. Lantas, keduanya mesti berjuang memeliharanya dengan baik. Mulai dari membangun pengertian-pengertian yang beranjak dari ekuitas dan ekualitas hidup antar pribadi yang berbeda, sampai kepada beragam upaya untuk menerima realitas hidup yang tidak selalu menyenangkan. Realitas hidup yang dalam banyak hal mesti diterima apa adanya.
Limbung laku manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan, ketika dapat menerima realitas hidup dengan sepenuh hati. Penuh syukur dan keikhlasan, tentu akan berbuah kebaikan dan kebajikan. Karena akhirnya, harmonitas pasangan suami isteri, dalam banyak hal ditentukan oleh kesadaran memperlakukan realitas kehidupan sebagai fakta yang ada dan menyertai kehidupan manusia.
Ada kalanya, pasangan suami isteri harus menerima realitas hidup sebagai bagian dari dinamika berumah tangga. Namun, seringkali mereka harus menerimanya sebagai tantangan yang memberi peluang untuk menjadikan kehidupan rumah tangga dan keluarga lebih berkualitas lagi.
Dari sudut pandang inilah, cincin kawin tak lagi hanya diperlakukan sebagai asesoris keindahan. Melainkan sebagai bagian dari early warning system kebersamaan dalam harmoni, untuk menghadapi berbagai tantangan kehidupan, yang sewaktu-waktu datang laksana badai, dan kemudian mengguncangkan rumah tangga.
Ya,... setiap kali menyaksikan sepasang pengantin memasangkan cincin kawin di jari manis mereka, saya selalu bergumam dalam hati: semoga apa yang mereka kenakan itu, mereka pahami hakekat nya. Lantas keduanya mampu menjadikan cincin kawin sebagai salah satu tools dalam mewujudkan kiat dan siasat yang baik memelihara harmoni keluarga. Insya Allah |