Bang Sém
Cindailah mana tidak berkias
Jalinnya lalu rentah beribu
Bagailah mana hendak berhias
Cerminku retak seribu
Kalaulah sejarah perjalanan bangsa laksana cindai yang tergerai, sejak era pra koloni berabad lampau sampai era neo koloni, setiap jengkalnya menawarkan beragam peristiwa yang lantas terangkai sebagai sejarah.
Allahyarham Pak Lah, lewat syair dan lagu bertajuk Cindai yang dipopulerkan Sitti Nurhaliza yang populer, sejak beberapa masa terakhir, patut didengar-renungkan. Khasnya untuk memetik kegagalan demi kegagalan menafsir hakikat kemerdekaan dan kebangsaan dalam dimensi kebudayaan, yang dihidupkan oleh kemanusiaan dan keadilan.
Namun, tragis! Setiap penggalan sejarah yang semestinya menjadi cermin untuk mengenali dan mematut diri, mendapatkan integritas, muru'ah, dan nation dignity, terburai menjadi kepingan-kepingan yang tak pernah bisa dipergunakan untuk melihat dan mengenali eksistensi bangsa dan hakikat kebangsaan.
Cita-cita perjuangan kemerdekaan yang ditandai dengan pengorbanan para sultan dan raja lokal di seluruh wilayah menyerahkan kekuasaan dan otoritas daerahnya, ternafikan oleh semangat penguasaan yang didominasi oleh pikiran dan aksi kekuasaan sentralistik, meski secara administratif menggunakan terminologi otonomi daerah (luas, nyata, bertanggungjawab).
Jalan mencapai hakikat kebangsaan yang ditupang kebebasan hanya berhenti pada kebebasan, ketika jalan perubahan reformasi berubah menjadi proses deformasi, bak 'mendendam unggas liar di hutan.'
Hasilnya? Ironi tragis ! Cita-cita rakyat hidup dalam kemakmuran berkeadilan,terperosok dalam jebakan fantasi. Kekayaan sumberdaya alam hanya melahirkan kemiskinan persisten, hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, termasuk para anak cucu kolonial di masa lampau, yang menghidupkan neo kolonialisme dengan format dan wajah yang lain. Rakyat hanya meratap:
Mendendam unggas liar di hutan / Jalan yang tinggal jangan berliku / Tilamku emas cadarnya intan / Berbantal lengan tidurku //
***
Rakyat hidup dalam iming-iming yang menangguk mimpi dan mengalirkannya ke sungai ilusi dan fantasi dengan gumpalan obsesi yang tak pernah mewujud. Kekayaan sumberdaya alam tak dikelola baik dengan politik ekonomi kebangsaan berbasis sumberdaya alam, sebagaimana dikehendaki konstitusi, dari masa ke masa.
Prinsip berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan atau unggul dalam peradaban, menghadapkan khalayak pada kenyataan tragis : 'semut mati di gundukan gula.'
Penyebabnya adalah pandangan buram politik ekonomi dalam membaca esensi 'ruang ekonomi' yang melahirkan berbagai kebijakan tata kelola sumberdaya alam yang memiskinkan. Tak hanya terbatas pada alih fungsi lahan, jauh dari itu adalah penghancuran hutan alam dan konservasi, untuk diubah menjadi ladang kelapa sawit yang merugikan rakyat.
Rakyat, sambil mengandaikan harmoni - keseimbangan hidup manusia dengan alam, akhirnya hanya mampu menggumam lirik: Hias cempaka kenanga tepian / Mekarnya kuntum nak idam kumbang / Puas kujaga si bunga impian / Gugurnya sebelum berkembang //
Perjuangan khalayak, masyarakat adat menghadapi para beruang (kalangan yang menguasai modal), mempertahankan hak-hak adat atas alam, khasnya hutan sebagai sumber hidup dan kehidupan, adalah perjuangan berat pendakian atas gunung paradoks ekonomi yang nyaris tak tertaklukkan. Perjuangan keras untuk bangkit bertegak dengan muru'ah kemanusiaan - human dignity, bagi ibu pertiwi dan harkat kebangsaan.
Tidak untuk menghiba, meskipun hakikat kemanusiaan (nalar, naluri, nurani, dan rasa) harus menghadapi arus besar destruksi nalar sehat (akal budi) khalayak. Dalam situasi ketidak-berdayaan, mungkin hanya rintih lirih yang bisa disenandungkan, karena tak cukup daya untuk memekik :
Hendaklah, hendak, hendak kurasa / Puncaknya gunung hendak ditawan / Tidaklah, tidak, tidak kudaya / Tingginya tidak terlawan //
Janganlah, jangan, jangan kuhiba / Derita hati jangan dikenang / Bukanlah, bukan, bukan kupinta / Merajuk bukan berpanjangan //
***
Dinamika politik yang kehilangan hakikat sebagai cara mewujudkan cita-cita perjuangan rakyat kemerdekaan untuk hidup dalam sukacita, makmur berkeadilan, tak lagi punya pesona. Kehilangan idealisme - kecuali kemaruk kekuasaan dan penguasaan ekonomi, ketika pragmatisme politik dan politik transaksional mengempaskan ideologi.
Dinamika kebangsaan yang rimbun oleh semak politisi dan petinggi dengan sedikit negarawan, belukar kaum terdidik dengan beragam atribusi akademik tetapi sedikit cendekiawan, dan beragam ironi, tak akan mengubah nasib rakyat menjadi lebih baik.
Rakyat hanya dikenali sekali setiap lima tahun dalam peristiwa 'pesta demokrasi' dan hidup, bersampan melayari transhumanisme di tengah gelombang peradaban tanpa keadaban, sambil bersenandung lirih :
Akar beringin tidak berbatas / Cuma bersilang paut di tepi / Bidukku lilin layarnya kertas / Seberang laut berapi //
Tragisnya, dalam situasi demikian, reduksi tentang kebudayaan secara konotatif dan denotatif terus berlangsung. Produk-produk budaya, khasnya seni dan sastra, kian jauh dari akarnya: kemanusiaan dan keadilan.
Aksara dan kata kehilangan makna dihempas gaya hidup hedonis yang hanya memburu kesenangan sesaat, penghiburan semusim, dengan beragam sensualita. Aksara dan kata dipilih hanya menjadi penghias retorika politik, sehingga kalimat yang terangkai menjelma menjadi 'sabda tanpa makna.' Akhirnya menguap menjadi bagian dari dusta yang dikemas sebagai penghias bibir.
Gurindam lagu bergema takbir / Tiung bernyanyi pohonan jati / Bertanam tebu di pinggir bibir / Rebung berduri di hati //
Kemamuan dan kemampuan memilih aksara, kata, dan kalimat sebagai manifestasi dari ekspresi akal budi yang berdimensi kesadaran, sekaligus antusiasme untuk mengelola simpati dan empati atas derita rakyat sebagai manifestasi kecintaan kepada bangsa, tak lagi dihargai sebagai isyarat kebudayaan.
Kekuasaan serta merta menafikan kesadaran, kemauan dan kemampuan menghadirkan apresiasi dan respek atas derita rakyat dan atas sikap kritis terhadap kegamangan menyikapi perubahan cepat zaman, yang menawarkan ketidak-pastian, keribetan dan lingkungan kehidupan yang membingungkan serta memantik kebingungan karena beragam pemahaman dan tafsir atas perubahan.
Akhirnya, menyaksikan cindai kebangsaan yang koyak dan lusuh, satu-satunya yang tersisa adalah angan-angan, akan tiba masa, kehidupan memang sungguh membahagiakan, tanpa peluh yang meneteskan keluh di kalangan kaum miskin. Meski tak bisa diprediksi, situasi demikian entah kapan akan terwujud.
Laman memutih pawana menerpa / Langit membiru awan bertali /
Bukan dirintih pada siapa / Menunggu sinar kan kembali //