Bincang Sastrawan Malaysia - Indonesia

Berguru pada Sejarah, Transformasi Elang

| dilihat 1666

Catatan Sèm Haèsy

Berada di lingkungan sastrawan -- penyair, cerpenis, novelis, deklamator, penulis skrip teater dan film -- selalu menyenangkan. Selalu saja mengusik inspirasi.

Banyak hal-hal yang tak terpikirkan dalam interaksi sosial kehidupan sehari-hari mengemuka.

Kita bisa berada dalam realitas pertama dan realitas kedua kehidupan dalam waktu bersamaan.

Pada saat bersamaan, kita boleh melompat-lompat dari satu ruang realitas ke ruang ilusi, fantasi, dan imajinasi dalam bilangan detik, atau sebaliknya.

Kita selalu punya jarak imaji untuk melihat perbandingan nyata antara intuitive reason - alasan-alasan intuitif dengan logic way  - cara nalar sebagai jalan merespon fenomena kehidupan. Sekaligus dengan terang benderang dapat melihat perbedaan kontras antara visi dengan fantacy trap - jebakan fantasi, termasuk menemukan vision killer - pembunuh visi.

Sebagai seorang imagineer (imagine engineer) - perekacita  yang sering berinteraksi dengan para image engineer - perekacitra yang bersibuk dalam dunia pencitraan, reklame - periklanan, dan pemasaran sosial, yang lama bergelut dalam dunia komunikasi -- jurnalis, perancang dan eksekutor programa siaran televisi dan film, perancang programa dan penyiar radio, dan masih gemar menulis - membaca puisi -- saya nyaman berada di lingkungan para sastrawan.

Makin lama berada di lingkungan bagian utama kaum ulul albab - kaum yang mampu mengharmonisasi nalar, naluri, rasa, dan indria, makin menyenangkan. Karena dengan begitu, saya bisa mengaji lebih banyak.

Sebagaimana halnya kaum ulul albab pada umumnya, sastrawan berfikir dan berdzikir dengan caranya, berinteraksi dengan fenomena alam dan fenomena sosial baik langsung (horisontal) maupun secara vertikal transedental, mengintegrasikan ide dan gagasan dalam suatu integrasi seluruh anasir kedalaman insaniahnya.

Muaranya adalah independensi - kemerdekaan dengan sensitivitas, imajinasi, dan relevansi manfaat karya mereka bagi kehidupan sosial.

Inilah alasan saya bergegas memenuhi undangan Bundo Free Hearty menghadiri penutupan rangkaian seminar dan peluncuran karya sastra, dan perbincangan khas Perhimpunan Sastrawan Budayawan Nusantara Serumpun (PSBNS). Bundo Free salah seorang sastrawan sekaligus pensyarah yang saya hormati.

Dua hari sebelumnya, perbincangan sudah berlangsung di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, lantas di Yayasan Obor. Saya hadir dalam perbincangan di Café Kapal Api, tak jauh dari stasiun Tanah Abang.

Para pembincang dalam kegiatan yang dihadiri sastrawan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, ini para sastrawan yang saya hormati. Saleeh Rahamaad, Malim Gozali Pk, LK Ara, Saut Poltak Tambunan, Eka Budianta, dan lain-lain.

Di sesi penutupan, Datuk Raja Ahmad Aminullah, Malim Gozali, Hanna Fransisca, dan saya didapuk jadi pembincang.

Banyak hal menarik yang mengemuka dalam perbincangan ihwal perbukuan, sastrawan, era digital, dan hubungan kopi dengan kreativitas. Saya suka pandangan Hanna yang boleh jadi merupakan bagian dari generasi millenial.

Pandangannya cerdas dan bernas. Berangkat dari 'filosofi' kopi, dia mulai wacananya: "jangan mengacau -- mengaduk -- kopi, sehingga ampasnya ikut mengapung," yang bisa dimaknai: jangan mengacau persoalan sehingga kita tak bisa membedakan mana persoalan dan bukan.

Sebagai perspektif dalam melihat persoalan perbukuan di pusaran era digital kita memang kudu memilah sesuatu yang menjadi persoalan dan bukan persoalan, terutama karena terjadi perubahan pelaku dan penikmat sastra. Perspektif ini juga, menurut saya, yang perlu dipergunakan oleh sastrawan dalam mengelola kreativitasnya.

Berangkat dari perspektif itu, saya terinspirasi oleh tajuk tiga buku yang diluncurkan dalam momen itu: Berguru pada Sejarah (karya Haryati AB Rahman), Tertawalah Tanah Airku (Datuk Raja Ahmad Aminullah),  dan Bagai Helang Tetap Pulang (Datin Barupawati Utamaju Bahrum).

Berguru pada sejarah menjadi penting, karena hidup tak pernah tertambat di hari lalu dan hari ini, masa dan manusia ganti berganti, medium ekspresi juga berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman dari era primitifisma, agraris, industri, informasi, konseptual - dengan kemajuan teknologi informasi - digitalize, hologramic, dan kelak kembali ke daya transedensi - intellectualism, entah dengan medium apa di zaman yang mungkin tak terkunjungi lagi.

Sejarah mengingatkan kita bagaimana pantun, haiku, sonet, rubaiyyat, madah, talibun, mantra, cerpen, novel, novellette, dengan beragam genre dan 'busana'-nya tak pernah padam, meski modernitas menawarkan begitu banyak ragam cara berfikir, bersikap, dan beraksi dalam realitas kehidupan.

Apapun mediumnya, yang utama dalam konten dan nilai yang dihasilkan oleh kreativitas dengan segala inovasi, untuk kelak menghasilkan karya sastra mutakhir dengan medium hasil invensi sains dan teknologi.

Itu sebabnya sastrawan dan seniman serta budayawan pada umumnya tak boleh berhenti berfikir kreatif, beraksi inovatif, dalam menemukan dan menghasilkan karya invensi.

Dalam konteks ini alih media bagi karya sastra adalah keniscayaan, soalnya adalah bagaimana sastrawan mengubah minda paradigmatik dalam merespon fenomena.

Sebagaimana halnya kopi. Biji dan benih kopi akan selalu ada dan menjadi bagian kehidupan manusia, yang berubah adalah kreativitas, inovasi dan invensi secara teknologis untuk membuatnya sesuai dengan perubahan selera dan cara dan habitual ngopi.

Kata kuncinya: kreativitas! Termasuk dalam mengubah orientasi bisnisnya yang tak lagi bertumpu pada product centric, tetapi bergerak ke costumers centric.

Dua hal yang tak boleh diabaikan, yakni: integritas dan profesionalitas. Keduanya akan memandu proses visioneering sastrawan mengarungi jaman baru. Khasnya untuk menegaskan sastra sebagai tanah air universal dan kolektif, yang sering saya sebut sebagai jagad sastra.

Dalam konteks integritas, perlu kesadaran seksama, bahwa sastrawan mesti berpegang pada fungsinya mengelola dimensi artistik, estetik, dan etik pada setiap karyanya.

Setiap karya sastra mesti menawarkan keindahan seni, berpegang pada prinsip gerakan artistik, untuk mencapai nilai etik - keadaban. Khasnya dalam konteks formula bahasa (huruf, kosakata, kalimat, narasi, diksi) sebagai medium ekspresi dan impresi kemampuan mengelola nalar, naluri, rasa dan dria. Apapun media, platform, dan channel-nya tetap punya makna dan relevan dengan zamannya.

Setarikan nafas, selaras dengan interaksi dan interrelasi fenomena zaman yang akan terus bergegas menjemput zaman baru, sastrawan perlu melakukan perubahan dramatik (transformasi) karena sains dan teknologi juga bergerak dinamis, tanpa harus menunggu penataan kehidupan yang sering berubah menjadi penghancuran (perubahan reformasi yang melelahkan dan kerap berubah menjadi deformasi).

Saya lebih memandang penting sastrawan melakukan transformasi elang (helang) yang pedih dan boleh jadi berdarah-darah membentur karang, tetapi dengan cara itu elang (helang) selalu terbang tinggi, fokus, dan tetap pulang. Bukan reformasi 'kutu anjing' yang tak kuasa menghadapi situasi, pun bukan reformasi 'belalang kayu,' yang baru yang dilemahkan oleh keadaan dan baru tersedar untuk bergerak melesat setelah ada sekelompok kecil kaumnya yang progresif dan menjadi trigger.

Benar kata Datuk Raja, kita mesti senantiasa mampu mengubah minda (mindset) dalam melihat fenomena dan mengubahnya dengan paradigma, samada perubahan kehidupan itu sendiri. Bukankah, siklus kehidupan manusia sejak dari dalam kandungan ibunya hingga berkalang tanah dalam pusara, selalu berinteraksi dengan sastra?

Itulah realitas pertama kehidupan manusia, seperti yang digambarkan Malim Gozali dicipta Ilahi dalam padu-padan, berpasang-pasangan, berkeseiringan. Siklus hidup manusia dengan apa yang terbetik dan tersampaikan melalui karya sastra, yang mengubah kecerdasan menjadi kearifan, kesahajaan menjadi khazanah berkelimpahan, karena hidup itu sendiri adalah sastrawi.

Perjuangan hidup adalah mengubah esensi sastra sebagai aksi kehidupan. Kata allahyarham Rendra, hidup adalah perjuangan kata-kata menjadi kenyataan.

Sastrawan melintasi batas kefanaan, karena baginya, kematian adalah gerbang perpindahan dimensi hidup, seperti puisi Chairil Anwar: Kalau sampai waktuku / Kumau tak seorang kan merayu /Tidak juga kau / Tak perlu sedu sedan itu // Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang / Biar peluru menembus kulitku / Aku tetap meradang menerjang / Luka dan bisa kubawa berlari / Berlari / Hingga hilang pedih perih / Dan aku akan lebih tidak peduli / Aku mau hidup seribu tahun lagi //.

Pedomannya adalah konsisten dan konsekuen pada komitmen kreativitas, hanya melahirkan karya yang bermanfaat bagi orang banyak. Seperti pesan Raja Ali Haji dalam Gurindam XII Pasal XI: Hendaklah berjasa / kepada sebangsa/Hendaklah jadi kepala / buang perangai yang cela / Hendaklah memegang amanat / Buanglah hianat / Hendaklah marah / Dahulukan hujjah / Hendaklah dimalui /Jangan memalui / Hendak ramai / Murahkan perangai //

Editor : Web Administrator
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 523
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1045
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 264
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 737
Momentum Cinta
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 937
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1168
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1429
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1577
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya