Proses penghancuran nalar publik sebagai kesadaran kritis bersama untuk menilai gagasan, peristiwa, dan kebijakan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umum, sedang berlangsung.
Jika dibiarkan, gejala ini dikhawatirkan akan melemahkan kebudayaan, serta mengancam keberlanjutan dan ketangguhan Indonesia sebagai bangsa dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin pelik.
Pandangan tersebut mengemuka dalam konferensi pers tentang Rekomendasi AJ yang berlangsung secara daring, di Jakarta, Jum'at - 28 Januari 2022 siang.
Ketua AJ, Seno Gumira Ajidarma mengemukakan, konferensi pers tersebut digelar sebagai bagian dari tugas AJ memberikan pendapat kepada publik. Khasnya, masalah yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan, serta kegiatan kreatif dalam proses penciptaan seni.
"Kami melihat gejala-gejala yang sudah sangat memprihatinkan, antara lain sikap keliru dianggap benar. Sudah berbahaya. Nalar publik sudah dalam keadaan rawan," ungkap Seno. Dia memberi ilustrasi, bahwa hal-hal yang keliru dianggap sudah sewajarnya.
Di sisi lain, menjawab pertanyaan partisipan jumpa pers tersebut, Seno mengemukakan, hasrat politik dan eklonomi sudah berkelindan, saling memenuhi kepentingannya.
Rekomendasi ini memberikan porsi besar kepada bidang pendidikan, karena pendidikan cenderung tidak lagi mengajarkan orang menjadi bijak, hanya mencapai kecerdasan biasa. Untuk itu, AJ - seperti yang disampaikan anggotanya, Afrizal Malna, mendesak perubahan menyeluruh di bidang pendidikan -- mulai tingkat paling dini hingga pendidikan tinggi --, lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Ratna N. Riantiarno - Wakil Ketua AJ, mengemukakan, sepanjang tahun 2021, AJ mencermati dan memberi perhatian terhadap berbagai fenomena kehidupan mutakhir, mulai dari pandemi Covid-19 sampai dinamika politik nasional.
Kemunculan pandemi Covid-19 dan dampaknya yang multi-dimensi tidak dapat dilepaskan dari cara pikir dan cara tindak manusia yang telah mempercepat perubahan karakter alam dan interaksi di dalamnya. Diperlukan koreksi yang mendasar terhadap kebersalahan akut yang terjadi selama ini.
AJ mencermati kekeliruan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang telah merusak daya dukung lingkungan, penguasaan aset dan akses yang timpang, kecenderungan praktik politik dan hasrat berkuasa yang membiarkan kekuatan oligarki dan korupsi mencederai hukum serta melemahkan demokrasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa prinsip tata kelola hidup bersama yang berorientasi pada keadilan, kerakyatan, dan kemanusiaan telah terkikis.
Di sisi lain, AJ mencermati kehidupan bersama belakangan ini semakin ditandai dengan pemaksaan kehendak, sikap eksklusif dan intoleran yang menyuburkan cara hidup anti-demokrasi.
Pemisahan berdasarkan identitas dalam ruang pemukiman, ruang konsumsi, ruang pendidikan dan ruang publik lainnya justru dipromosikan untuk kepentingan bisnis dan ideologis.
Keadaan ini menyuburkan radikalisasi dan ekstremitas dalam berbagai aspek kehidupan, serta mempercepat pengerdilan nilai-nilai dan kebajikan agama sebagai cara hidup menjadi semata-mata dogmatisme yang akan menguatkan irasionalitas masyarakat.
Untuk memahami sengkarut masalah diperlukan penalaran yang jernih. Sayangnya, kemampuan berpikir kritis justru sedang tertantang oleh laju pesat teknologi informasi yang ternyata tidak diikuti dengan sikap bijak dalam penggunaannya.
AJ mencermati, kini muncul kecenderungan khalayak untuk bersegera mengakses informasi dari internet dan bersegera pula menyebarkan tanpa memprosesnya secara kritis. Berita sensasional, kontroversial, dan komentar emosional lebih memikat ketimbang pemikiran serius yang dianggap tidak praktis dan abstrak.
Perkara ini menjadi semakin serius ketika informasi diyakini benar karena cocok dengan emosi dan selera pribadi. Keengganan untuk membuka diri terhadap argumen yang tidak disukai atau tidak sejalan dengan keyakinan mengakibatkan kehidupan publik dikendalikan oleh informasi seturut kepentingan atau pilihan kelompok.
"Alih-alih menjadi sarana pematangan kebinekaan, ruang digital dijejali ujaran kebencian dan kebohongan yang mempertajam keterbelahan ruang sosial. Sementara, ruang gerak sipil sebagai sarana untuk mengontrol kekuasaan juga menyempit; kritik kerap ditanggapi dengan tindakan represif," sebut Ratna.
Untuk mencegah penghancuran nalar publik tersebut, AJ menyampaikan rekomendasi kepada seluruh pemangku kepentingan bangsa dan negara Indonesia, meliputi berbagai bidang dan aspek kehidupan yang merupakan cermin kebudayaan.
Di bidang pendidikan, AJ merekomendasikan agar negara dan khalayak mengembangkan pendidikan holistik yang menajamkan kesadaran kritis, kecerdasan inovatif dan pemanfaatan sumber budaya untuk memecahkan masalah lokal-global. Sekaligus, memajukan pendidikan seni dan humaniora sejak dini dengan mendayagunakan seniman dan budayawan setempat untuk menghidupkan dan mengembangkan seni budaya Nusantara.
Di bidang lingkungan hidup, mendorong kebijakan ekologis berbasis kearifan lokal yang didukung sains dan teknologi, melalui kerjasama masyarakat industri, baik swasta maupun pemerintah. Selain itu, menggunakan kapabilitas warga dan keberlanjutan sumber daya alam sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan.
Dalam hal intoleransi sosial, AJ merekomendasikan, agar negara dan khalayak memperbanyak ruang publik yang mendorong interaksi sosial lintas budaya dan kebersamaan. Termasuk, memberikan pelatihan literasi media, literasi budaya dan literasi pengetahuan untuk mempertajam penalaran kritis.
Di bidang ekonomi, AJ merekomendasikan, agar negara dan khalayak menerapkan paradigma ekonomi yang ekologis berbasis partisipasi masyarakat dengan penekanan pada ekonomi sirkuler dan keadilan sosial. Sekaligus, mengembalikan relasi kekuasaan ekonomi agar sesuai dengan UUD 1945 pasal 33.
Dalam bidang politik, AJ mendesak, memulihkan fungsi partai, alih-alih untuk meraup kekuasaan, untuk menjadi saluran aspirasi rakyat dan wahana pendidikan politik yang beretika. Juga, melaksanakan pendidikan politik sejak dini untuk menanamkan sifat sportif, jujur dan bertanggungjawab, menghargai perbedaan pendapat, serta berkomitmen melindungi yang rentan dan lemah.
Selain itu, anggota AJ Sandyawan Sumardi menyatakan, apa yang diungkapkan dalam rekomendasi memang ditujukan kepada publik. "Karena kami kuatir dengan cara berfikir yang digiring oleh berbagai unsur yang kita tolak," ungkapnya.
Kita, lanjut Sandy, kehilangan substansi dalam pembahasan berbagai masalah yang sangat esensial bagi negara bangsa ini. Nalar publik bisa hancur kalau hal-hal yang lahiriah itu menjadi dasar pemikiran. Misal, dalam pembahasan politik ekonomi, terus kita digiring dan terus melambung tinggi, seakan-akan kita setuju dengan sesuatu yang jauh dari realitas.
"Yang menentukan kita adalah politik untuk keuntungan sebesar-besarnya bukan manfaat sebesar-besarnya bagi negara bangsa. Ini salah satu aspek," tegasnya.
AJ didirikan pertama kali diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, 24 Agustus 1970 dan dibentuk oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai dewan kehormatan seniman dan budayawan. Anggotanya dipilih dari kalangan seniman dan pemikir kebudayaan dari seluruh Indonesia. Tokoh-tokoh yang pernah menjadi anggota AJ dalam rentang periode 1970 - 2020, adalah Pirous, Affandi, Ahmad Syafi'i Ma'arif, Ajip Rosidi, Amrus Natalsya, Asrul Sani, D. Djajakusuma, Endo Suanda, Goenawan Mohamad, HB Jassin, H. Boediardjo, Ignas Kleden, Iravati M. Sudiarso, Koesnadi Hardjasoiemantri, Misbach Yusa Biran, Mochtar Lubis, Mochtar Pabotytinggi, M. Said Reksohadiprodjo, Mukti Ali, Nh. Dini, Nono Anwar Makarim, Popo Iskandar, Ramadhan KH, Rendra, Rosihan Anwar, Rusli, Saini KM, Sardono W Kusumo, Sitor Situmorang, Slamet Abdul Sjukur, Soedjatmoko, Sutan Takdir Alisjahbana, Tatiek Maliyati WS, Taufik Abdullah, Toeti Heraty N. Roosseno, Umar Khayam,
Anggota AJ untuk masa pengabdian 2020-2025 terdiri dari Afrizal Malna, Anto Hoed, Armantono, Bambang Harymurti, Biem Benjamin, Dolorosa Sinaga, Karlina Supelli, Kusmayanto Kadiman, Marco Kusumawijaya, Margani M. Mustar, Melani Budianta, Ratna Riantiarno (Wakil Ketua), Sandyawan Sumardi, Seno Gumira Ajidarma (Ketua), Syamsuddin Ch Haesy, Tisna Sanjaya, dan Zeffry Alkatiri. | delanova