Endang Caturwati Separuh Abad Berkarya

Adab Kepada Guru Seorang Guru Besar

| dilihat 928

Catatan Bang Sèm

Salah satu dari banyak hal menarik dari pergelaran -- yang dikemas dalam bentuk karesmen -- karya Endang Caturwati, guru besar ilmu Seni Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Jum'at (19/7/24) adalah tentang adab.

Di lobby gedung teater, sebelum masuk ke dalam gedung, saya sudah berjumpa dan sempat berbincang dengan para inohong seniman dan seniwati tradisional Sunda. Mereka datang sebagai undangan khas, very important person. Pun demikian, ketika masuk ke dalam gedung, menyaksikan rangkaian karya dalam satu kesatuan format variety show bertajuk "Ki Lengser Ringkang Gumawang."

Mereka adalah para guru dan senior yang berkontribusi pada perjalanan karir Endang selama 50 tahun berkarya (1974-2024) sebagai seniwati multi talenta, sekaligus akademisi yang meniti karir sebagai pendidik dan pengajar hingga mencapai jabatan akademis tertinggi. Pula sebagai birokrat, yang pernah menyandang posisi sebagai pejabat tinggi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sejak awal saya menyaksikan bagaimana Endang memberi perhatian khas tentang adab. Tak hanya yang mengalir lewat sosok Ki Lengser -- sebagai telangkai pergelaran petang itu. Lebih dari itu, Endang menyediakan satu segmen spesial penghargaan khas yang menjadi surprise bagi para guru dan seniornya, itu.

Momen ini menarik perhatian saya. Baik karena Endang memelihara relasi murid - guru dalam takaran nilai dan norma yang terbaik. Pula, karena momen demikian boleh diharapkan sebagai laku nyata yang dapat dicontoh oleh generasi baru ( dari tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi) yang terlibat dalam pergelaran tersebut.

Hal sedemikian menjadi penting dan strategis nilainya, karena di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan, adab sedang menjadi topik utama yang dipersoalkan banyak kalangan. Khasnya, ketika para pemburu kuasa dan status sosial sedang dokoh mendapatkan 'kehormatan dan penghormatan' melalui jabatan akademik tertinggi, dengan cara-cara non etik. Sesuatu yang mengusik penalaran adab yang memicu ambivalensia interpersonal yang berdampak pada ambivalensia perilaku sosial.

Penalaran Adab

Momen Endang memberikan waktu khusus memberikan penghargaan kepada para gurunya, mengingatkan saya pada pandangan Kohlberg dalam esainya tentang pengembangan adab (The Psychology of Adab Development, 1984). Kohlberg adalah guru besar di Departemen Psikologi di Universitas Chicago dan di Sekolah Pascasarjana Pendidikan di Universitas Harvard - Amerika Serikat, yang terkenal karena teorinya tentang tahapan perkembangan adab.

Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan adab menjadi tiga tingkatan, yaitu pra-konvensional (dimotivasi oleh kepentingan pribadi), konvensional (dimotivasi oleh menjaga ketertiban sosial, aturan, dan hukum), dan pasca-konvensional (dimotivasi oleh kontrak sosial dan prinsip etika universal). Teori Kohlberg menyatakan, individu cenderung mencapai tingkat penalaran adab pasca-konversi tertinggi, dengan asumsi : masalah adab dinilai berdasarkan prinsip-prinsip yang lebih dalam dan cita-cita bersama daripada kepentingan pribadi atau ketaatan pada hukum dan peraturan.

Dalam konteks budaya lokal (Sunda), relasi adab menentukan jati diri dan integritas setiap manusia dalam melakukan aksi kontestasi dan kompetisi di berbagai lapangan kehidupan. "Kewes pantes tandang gandang; Handap asor pamakena; Nyarita titi rintih; Ati-ati tur nastiti; Nyabda di­unggang-unggang; dan Bu­buden teu ieu aing.”

Setiap insan, apalagi insan akademis alias kaum terdidik, sebagai pemimpin di lingkungannya (dari keluarga hingga bangsa), merupakan insan yang fit and proper, santun dan beradab, komunikatif dan mampu menjelaskan sesuatu dari keterampilannya secara perfek dan jelas, cermat dan teliti dalam mengelola otoritas dan kemampuannya melayani orang lain. Tidak legeg, apalagi jumawa.

Apalagi kini di tengah perubahan daramatik sosio budaya yang sangat cepat dan dinamis, yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip dasar tentang social order dan regulasi sosial. Karenanya sebagian kecil guru besar, yang masih mempunyai keyakinan adab dalam menentukan arah perjalanan bangsa, gusar menyaksikan kecenderungan terabaikannya penalaran adab. Antara lain, akibat lemahnya kemampuan menganalisis permasalahan sosial budaya yang kompleks. Khasnya dalam gempuran penghancuran nalar khalayak.

Dari sisi religius, khasnya dalam ajaran Islam, tugas pertama dan utama Rasulullah Muhammad adalah menyempurnakan adab. Menyempurnakan dimensi estetika dan etika umat menjadi keadaban dan peradaban.

Cahya Sumirat

Dalam konteks demikian, agama dan seni budaya merupakan pondasi utama dalam proses pendidikan yang sesungguhnya. Tanpa kecuali dalam konteks pendidikan sepanjang hayat. Membentuk pribadi merdeka dalam nafas kemanusiaan yang adil dan beradab. Guru memainkan peran sangat penting dan strategis ketika hubungan di dalam keluarga terampas oleh beragam aktivitas. Termasuk selusupan singularitas.

Endang merefleksikan hilangnya jati diri berbasis adab sehingga banyak manusia kehilangan arah dalam mencapai tujuan utama hidupnya (lewat tari Kelangan). Sekadar memaknai kebahagiaan secara elementer lewat pencugan dan saweran (terekspresikan dalam tari Rengkak Bentang), dengan melakukan reposisi peran orang tua dan guru (lewat reposisi peran Ki Lengser), melalui upaya sistemik mereposisi nilai (tercermin dalam tari Ronggeng Kadempling karya Abah Karta - Majalengka - berbasis tari Tumenggung).

Lewat momen khas penghargaan dan pemuliaan kepada para guru dan seniornya yang berkontribusi pada perkembangan kreatifnya, Endang memposisikan diri sebagai Setetes Embun di kelopak Wijayakusuma. Ia memperlakukan para gurunya laksana orang tua yang menjadi sumber nilai sebagaimana tercermin dalam tembang karya pertamanya, Kanyaah Indung Bapak.

Kontribusi para guru dan senior memungkinkan dia menjadi sesosok insan yang keberadaannya mempunyai manfaat luas bagi orang banyak, seperti yang terekspresikan melalui karyanya, tari Cahya Sumirat. Laksana Kembang Asih yang menawarkan keindahan dalam keikhlasan pengabdian bagi Alam Endah.

Momen penghargaan dan penghormatan kepada para guru dan seniornya, itu terkoneksi dengan seluruh rangkaian pergelaran karya-karyanya. Menghidupkan kesadaran dan entusiasme untuk menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek dan cinta. Cinta berkesadaran, sehingga tak silap mata laiknya Dayang Sumbi. Karena adablah yang menghidupkan kesadaran relasi antara Dayang Sumbi dengan Sangkuriang, antara pertiwi dengan anak-anak bangsanya, petinggi negeri.

Adab kepada guru yang disajikan oleh seorang guru besar, seperti Endang, bagi saya menjadi penting. Dari sini hadir kesadaran, sebagaimana ternukil dalam puisi karyanya bertajuk Pok Pek Prak yang disajikannya dalam pergelaran: Ku ingat pesan Ki Sunda / Kualitas manusia terlihat dari apa yang dikatakan / apa yang difikirkan / apa yang dilakukan / lidah tak berkelit / kepala tak bergeming / tingkah tak berpaling //

Editor : delanova
 
Lingkungan
19 Sep 24, 12:52 WIB | Dilihat : 534
Antara Lumbung Pangan dan Kai Wait
24 Jul 24, 07:03 WIB | Dilihat : 760
Gertasi Selenggarakan Munas di Perdesaan Garut
02 Jul 24, 13:28 WIB | Dilihat : 750
Menyambangi Kota Bogor dari Jalur Commuter Line
23 Mei 24, 17:36 WIB | Dilihat : 1359
Wawali Bukittinggi Sambut Baik Gagasan SIGAP Indonesia
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 1598
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1876
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 2110
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 2272
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya