Kala Sobrat Kelangan

| dilihat 849

Bang Sèm

Dalam perjalanan pulang dari Bandung ke Jakarta (Jum'at, 19/7/24), ketika rehat sejenak sambil makan di rest area KM88 B Cipularang, selepas salat di Masjid as Safar, seorang sahabat menelepon. Ia meminta saya jadi salah seorang pembicara dalam diskusi terbatas keesokan hari.

Topiknya perihal kepemimpinan pada kondisi mutakhir bangsa ditinjau dari perspektif seni. Karena sudah beberapa kali absen, saya menerima permintaan tersebut.

Sepanjang jalan, saya terbayang karya dua sosok akademisi di jagad seni pertunjukan sekaligus praktisi seni : Arthur S. Nalan dan Endang Caturwati. Keduanya guru besar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Keesokan harinya, saya baca dan simak ulang naskah Sobrat.

Segera melintas di benak saya, Sobrat - sosok utama dalam naskah drama karya Arthur S. Nalan yang memenangkan sayembara naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (2003). Saya membayangkan Sobrat sedang berada dalam situasi kelangan - yang kehilangan jati diri - yang menjadi tema utama tari Kelangan karya Endang Caturwati (yang baru beberapa saat sebelumnya saya tonton lagi di Taman Budaya Jawa Barat).

Sobrat, pemuda kampung Lisung yang karib dengan judi koprok, terseret dalam jebakan fantasi yang membuatnya terobsesi menjadi orang kaya dan yang dibekuk rayuan  sekaligus muslihat Inang Honar -- pencari kuli -- untuk menjadi penambang di lombong emas Bukit Kemilau .

Pemuda yang semula patuh pada Mimi - ibu kandung, yang melahirkan, dan menghasihinya, sekaligus menanamkan nilai dan norma religius pada dirinya, sontak berubah. Bahkan tergoda hidup melenceng, syirk, yang ditawarkan Mongkleng (simbolisasi hawa nafsu), sehingga tertakluk dan mengikat perjanjian. Sobrat juga limbung dan bertekuk dalam pengaruh Sibli Gendruwi -  representasi iblis - penguasa lombong.

Su'ul Khatimah

Upayanya menjadi kaya dan 'berkuasa,' sehingga mampu mengalahkan Ngabihi orang kaya di kampungnya, berhasil. Sobrat berjaya, tak hanya menaklukan para mandor di lombong, serta memperistri Nyai Rasminah, perempuan molek yang diselamatkannya di kapal kala menuju ke lombong.

Di puncak pencapaian keberjayaannya, Sobrat mengalami titik balik kehidupan. Di hadapan Rasminah ia limbung dan 'tersungkur' kala Wak Lopen, pemilik kedai di kampungnya memberitahu: Mimi sudah wafat beberapa saat sejak ia terhanyut muslihat Inang Honar dan Ngabihi sudah membeli rumahnya. Sobrat juga tak berkutik, kala Sibli Gendruwi meluahkan amarahnya, sehingga ia menjadi buta dan tuli.

Dalam situasi demikian, kecuali Rasminah, istrinya, Sobrat sungguh sudah kehilangan segalanya. Kehilangan jati dirinya dan menjadi sesosok insan yang tuna ahimsa, kehilangan nilai hasanah dan albirru, nilai dan norma kebajikan. Ia gagal mendapatkan lagi jalan pulang ke kampung kebajikan, sebagaimana tersirat dalam tari Kelangan. Su'ul khatimah!

Sobrat tak berhasil mengendalikan nafsu supiah dan amarah, karena daya mutmainah yang ditanamkan Mimi, ibunya terampas oleh muslihat Inang Honar yang menawarkan fatamorgana hidup gemerlap, Mangkleng yang menyeretnya ke lembah syirk, dan Bromo yang mempengaruhi dirinya melanggar malima (main, madon, madat, maling dan mateni) secara dimensional.

Sampai di sini, Sobrat yang sudah kelangan daya di tengah pusaran klientelisma (baik patron client maupun traditional authority relationship) sulit mengenali dan menemukan lagi jati dirinya. Ia melangkah dalam jalan gelap andhakaramargah. Berjalan berbalik arah min annuur ila dzulumaat - dari benderang ke gelap gulita dalam keadaan 'bermata tapi tak melihat, bermulut tapi tak kuasa bicara.' Melangkah menuju akhir yang buruk.

Di tengah realitas pertama kehidupan kolektif kita (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) kini, yang sangat jauh dari kesadaran untuk hidup dalam  'sebersih bersih tauhid, ilmu pengetahuan dan siyasah,' saya melihat banyak sekali kalangan (tanpa kecuali petinggi) laksana Sobrat yang sedang kelangan dalam arus besar percaturan politik pragmatis dan transaksional.

Kita tak hanya kehilangan ideologi yang ditanamkan para pendiri bangsa ini. Karena kita sebagai wangsa, bahkan kehilangan daya akal budi, sehingga terjebak dalam kubangan fantasi yang menyengsarakan: utang dan judi, kehidupan tanpa adab yang menjadi habitus sosial, kebiasaan hidup tanpa keseimbangan akal budi.

Orang-orang Seberang dan Judi

Inang Honar, Bromo, Mangkleng, dan Sibli yang menjadi sosok rekaan dalam naskah drama karya Arthur, hadir dalam berbagai sosok nyata, para pembisik di sentra-sentra kuasa. Tanpa kecuali para buzzer bayaran di lingkaran jejaring kuasa.

Di sisi lain, sosok Rasminah yang baik, namun lagu dan tak berdaya boleh jadi bilangannya sedemikian besar. Tak bisa berbuat banyak menyikapi realitas. Apalagi menolak iming-iming, muslihat, dan dusta. Pula, ketika menyaksikan langsung dan tak langsung kerusakan ekologi yang berdampak pada kerusakan ekonomi, dan ekosistem sosial kehidupan.

Boleh jadi, kebanyakan kita yang menjadi wajah lain sosok Rusminah, hanya bisa bergumam, kala menyaksikan 'orang-orang dari tanah sebrang' diundang masuk dan menguasai lombong-lombong. Seraya hanya terpana dalam pilu. Tak mampu menyadarkan Sobrat dan kawan-kawan, kala sayup-sayup terdengan rintih suara batin Mimi (sebagai simbol lain ibu pertiwi) :

"Sobrat, jangan percaya pada orang-orang dari seberang itu. mereka hanya akan menjerumuskan kamu dan kawan-kawan sepermainanmu. Mending urus kebo si Donto! Meski bukan kebomu! Mending bantu Mimi membawakan beras Ngabihi kalau habis ditumbuk dan ditampi …! Bersihkan lesungnya, bersihkan juga alunya!"

Kita pun mungkin hanya diam terpana, menyaksikan penyesalan pilu Sobrat dalam racauan yang kian menjadi-jadi, meratapi Mimi yang sudah mati, sambil mengingat ulang, "upet upet obor jati.. ati tanghi badan turu.. sukma madem nanging Allah."  Sambil meracau menghantar senja, "Mi, harta kita sudah kembali. Semua yang pernah diambil Ngabihi telah kembali. Termasuk si Donto telah kubeli Mi! Ngabihi memang telah jadi Raksabumi, tapi tak ada artinya lagi. Dia telah bertekuk lutut padaku, Mi!" Karena kita dipahamkan, bahwa lombong-lombong harta kekayaan negeri sudah dikuasai orang-orang dari seberang nan jauh.

Dalam situasi demikian, kaum Mongkleng ngakak mentertawakan. Dan Mongkreng di dalam jiwanya berseru, "Aku hanyalah nafsumu, nafsu duniawimu. Sekarang, kamu sudah banyak merenung, kamu sudah banyak menyesal. Rasminah telah menjadi pengganti Mimimu yang mati merana sendiri. Tapi, kamu (masih) berutang pada Silbi Gendruwi. Akibatnya tanggung sendiri, kamu jadi bisu dan tuli." Lantas hengkang meninggalkan Sobrat yang kelangan segalanya. Meski ada pesan Mimi yang tersisa, menghadapi judi yang meruyak (judol),.. "Sobrat, Sobrat! Mimi juga bilang apa, para nabi tidak pernah berjudi. Para nabi tidak pernah berjudi." |

 

Editor : delanova
 
Seni & Hiburan
19 Nov 24, 08:29 WIB | Dilihat : 545
Kanyaah Indung Bapak
20 Jul 24, 21:32 WIB | Dilihat : 1416
Voice of Baceprot Meteor dari Singajaya
Selanjutnya
Polhukam
12 Jan 25, 03:58 WIB | Dilihat : 376
Alam Mendahului Ancaman Trump
11 Des 24, 05:26 WIB | Dilihat : 407
Reorientasi ke Sistem Kesejahteraan Semesta
Selanjutnya