Bedegong

| dilihat 1650

Bang Sém

Hutan tutupan pagi itu terasa segar. Tak hanya bau dedaunan pinus dan tanaman herbalia di bawah kanopinya yang menyegarkan. Juga karena canda Tete Misai yang selalu mengejutkan.

"Ete Dapolo sekarang macam motor trail, semenjak ganti schockbreker," ujarnya. Ete Dapolo hanya tersenyum. "Sekarang di jalur tanjakan juga dia tenang melaluinya, tak pegang dengkul lagi," lanjutnya.

Di satu tikungan, dekat rumpun batang pohon Sengon, Atok Sengon rehat. Dia duduk di atas batu. Ete Dapolo membuka kantung minumnya dan menikmati air infus yang dia bawa dari rumah.

Ketika itu, tiba Aki Apip yang jalan perlahan, lalu duduk di batu lain. Aki Apip senang jumpa dengan Atok Sengon, Tete Misai, dan Ete Dapolo.

"Ah.. kebetulan ada Aki Apip.. saya mau tanya sesuatu," ujar Ete Dapolo. "Begini, sudah tiga hari ini saya sering naik angkutan kota, sopirnya orang Sunda.. setiap diserobot sepeda motor atau bajaj, dia selalu teriak.. bedegong.. bedegong.. Apa itu, Ki?"

Aki Apip memandang Ete, lalu melirik Tete dan Atok. "Kenapa tak tanya Atok Sengon saja? Dia kan tahu soal bedegong itu.," katanya.

"Aki Apip lebih afdol menjelaskan," seru Atok Sengon.

"Baiklah.. Bedegong itu artinya bebal. Biasanya julukan itu diberikan kepada orang yang sudah diberitahu tentang kekeliruannya, tapi masih ngotot saja menjalaninya," jelas Aki Apip.

Ete mengangguk. Tete menimpali. "Jadi semacam sikap laku lajak, juga? Termasuk pongah dan sesuka hati. Begitu?" tranya Tete.

"Ya begitulah.. Secara konotatif, sikap bedegong tumbuh dan berkembang karena persoalan internal pribadi," kata Aki Apip. "Bukan begitu Atok? Atok kan lama tinggal di Bandung," lanjut Aki Apip.

Atok Sengon mengangguk sambil senyum. Lantas menjelaskan kepada Ete. Sikap beedegong itu, bisa timbul karena arogansi, merasa diri paling benar, sehingga tak mau dan tak mampu melihat kebenaran lain, sebagai varian kebenaran itu sendiri, dan berujung pada sikap pembenaran.

"Maksud Atok, penyebab utamanya adalah egosima yang kental di dalam diri manusia?" tanya Ete.

Atok dan Aki mengangguk. Aki Apip mencontohkan dengan bahasa Sunda, pernyataan begini:  "Mun ceuk aing kieu.. kieu" (kalau saya sudah menyatakan begini.., begini).

Tete dan Ete tertawa. Atok Sengon menambahkan.

"Bedegong laksana pedang yang melekat di dalam diri manusia, dan akan menyakiti diri sendiri, membuat diri pongah, sentisif dan mudah marah tanpa sebab yang jelas, dan pada masanya akan memisahkan manusia dengan dirinya sendiri."

"Maknanya, manusia bedegong akan sulit melihat kebenaran sejati, karena sikap pembenaran pada dirinya?" tanya Tete.

Aki Apip mengangguk. "Wah bahaya, itu.. bisa menimbulkan disharmoni sosial kalau begitu."

"Bukan hanya itu, Tete.. Sikap bedegong juga bisa menghancurkan diri sendiri," jelas Aki Apip.  

Ete Dapolo merenung. Keningnya berkernyit.

"Biasanya sikap begitu tumbuh di lingkungan masyarakat bagaimana?" tanya Ete.

"Tentu di lingkungan masyarakat terbelah. Masyarakat ambivalen," seru Tete.

"Betul kata Tete. Sikap bedegong hidup subur akibat terbiarkannya proses pembebalan yang tak selesai di tengah persoalan kehidupan sehari-hari," kata Tok Sengon.

"Bisa juga karena pengaruh media," tambah Aki Apip. "Makin sering media hanya menyajikan informasi yang tidak terverifikasi dan terkonfirmasi, makin besar terjadinya keterbelahan itu," sambungnya.

"Seperti itulah kita sekarang, agaknya. Beroleh informasi instan tentang fakta-fakta brutal yang berkembang lebih cepat. Diserap oleh kebiasaan berfikir presumtif, dengan dugaan-dugaan yang dianggap kebenaran," ujar Tete.

Ete mengangguk. Dia paham. Sikap bedegong sangat mungkin meruyak. Apalagi ketika para sosiolog tidak punya monopoli penafsiran apa yang terjadi dalam masyarakat. "Celakanya di layar televisi banyak intelektual, guru besar bahkan yang bedegong," ujar Ete.

Mereka tertawa. "Ya.. seperti sahabatnya Ete.. yang bicara asal jeplak, memberikan stigma tentang radikalisme dan sebagainya," sambar Atok Sengon.

Lagi, mereka tertawa. Bahaknya berderai, sehingga burung-burung di dekat merekas beterbangan.

Atok Sengon bicara. Kata dia, sejak gerakan reformasi tak mampu dikelola baik, sehingga menggelincir menjadi pusaran besar deformasi yang dipicu aneka kepentingan dan kegenitan akademik, sikap bedegong mendapatkan tempatnya.

Teta menanggapi, menurutnya, proses konsolidasi demokrasi belum juga memacu terjadinya transformasi demokrasi, ketika persoalan-persoalan terkini  tak dipahami secara komprehensip. "Sebutlah itu soal pluralisme dan multikulturalisme sebagai suatu realitas, yang tak dipahami sebagai realitas demokrasi proporsional," ujar Tete.

"Ayo kita turun. Sebentar lagi siang tiba," ujar Ete. Tete Misai mencolek Atok Sengon yang masih membetulkan tali sepatunya, sedang Ete Dapolo dan Aki Apip sudah melangkah turun.

"Ayo Tok kita turun segera. Nanti Aki apip sebut kita bedegong," ujar Tete Misai. Keduanya pun menyusul Ete Dapolo dan Aki Apip. Tete Misai bersenandung lagu, "Bukit Berbunga," sehingga langkah di jalan turun itu terasa ringan.. |


Baca Juga : Ker Tanoker

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Humaniora
25 Apr 25, 23:39 WIB | Dilihat : 657
Langkah Kanan Pemprov Daerah Khusus Jakarta
22 Apr 25, 23:36 WIB | Dilihat : 586
Perketat Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal
Selanjutnya