Puisi Novita dan Kefasihan Agustian Jelma Distraksi

| dilihat 1717

Refleksi Bang Sèm

begitu nyata

kutunggangi kuat-kuat

angin berpelana sayap bidadari

melaju di lintasan pelangi

Novita Anggraini, penyair perempuan muda usia, membuka puisi karyanya bertajuk Si Mimpi untuk Raja Ompi Lompi, dengan kuplet yang saya kutip ini. Puisi imajinatif yang keren karena kesahajaannya, ini menginspirasi Agustian, pendidik sekaligus pekerja teater yang getun mengembangkan potensi anak-anak bangsa yang tersisih, mengubahnya menjadi naskah panggung, lalu menyutradarinya. Puisi ini berubah tajuk di atas panggung teater, menjadi Distraksi.

Olah alih media dari naskah puisi menjadi naskah teater, dikerjakan Agus dengan teliti, disertai dengan riset panjang, karena ia menarik 'ruh puisi' Novita ke dimensi kekinian dan kedisinian. Konteksnya menjadi Indonesia dengan latar dan setting sosial, Melayu. Upaya Agus ini yang saya apresiasi. Terutama karena Distraksi yang terinspirasi dari puisi ini, dipergelarkan dalam konteks peringatan 114 tahun Syarikat Islam, yang merupakan kelanjutan dari Syarikat Dagang Islam yang didirikan Kyai Samanhudi di Lawean, Solo, Oktober 1905. Organisasi yang menjadi cikal bakal bangkitnya nasionalisme Indonesia secara utuh, dan menggerakkan proses membangsa.

Visionery Agustian menarik benang merah kesejarahan proses Indonesia membangsa, memperoleh benang tautan pada puisi karya Novita. Agus mengolahnya dalam dimensi trilogi yang menarik, khasnya untuk mendapatkan dramatika, sehingga memungkinkannya mentransfer konsep dramaturgi yang mudah dicerna. Terutama, karena dia menggunakan format teater absurd - surealistik.

Inspirasi memang tersedia banyak di puisi Novita -- sebagai bagian dari generasi antara (generasi baby boomer dan millenials) yang aktif dalam kegiatan penguatan sosial masyarakat marginal -- seperti kuplet di awal tulisan ini.  Pada kuplet kedua puisi ini, tersedia ruang untuk mentransfer gagasan puitik menjadi adegan teater yang menantang: berkawan tiga belas peri / mengapit di sisi-sisi / dengan busur dan panah di bahu kanan / tersampir menawan.

Transmasa untuk menarik setting imajinatif puisi ini ke dalam dimensi kekinian dan kesinian, agaknya, diperoleh Agustian dari kuplet berikut: nun jauh di negeri pewujud mimpi / Raja Ompi Lompi dikutuk hilangnya sakti / lemahkan hati pengejar cinta / sambung harapnya / tuk kehadiran ksatria pengelana. Kuplet ini, dari sisi imagineering memberi gambaran bagaimana sering banyak kalangan -- termasuk akademisi -- sulit membedakan visi dengan fantacy trap. Terutama dalam politik yang berorientasi pada sosok, bukan pada gagasan kebangsaan, yang menjebak masuk sikap kenegarawanan terpelanting dalam kubangan kepentingan para pemburu kuasa.

Agus, dalam pandangan saya, agaknya terpincut kuat mengubah puisi ini menjadi naskah teater, dari kuplet ini. Di sini, agaknya Agus menemukan garis azimuth perjalanan bangsa, dari 1905 ke 2045, yang kian jauh dari pikiran para penguasa. Apalagi ketika esensi perjuangan kemerdekaan yang diajarkan Tjokroaminoto kepada Soekarno (radikalis tengah yang menghidupkan nasionalisme), Semaun (radikalis kiri) - yang dilanjutkan oleh Alimin, Muso dan lain-lain, dan Kartosuwiryo (radikalis tengah) adalah konsepsi kemerdekaan manusia sejati, yang dibangun di atas prinsip, "sebersih-bersih tauhid, ilmu pengetahuan, dan siasah." Ketiganya terjebak di belantara perjuangan kemerdekaan yang pelik, dan setelah Indonesia Merdeka, saling berseteru satu dengan lain, karena mempunyai rujukan yang berbeda satu dengan lainnya.

Azimuth (garis lurus perjuangan) tak pernah berubah, tapi para petinggi negeri yang melakoninya melenceng jauh ke rimba dunia, yang terwakili oleh lirik-lirik dalam kuplet puisi, seperti ini: pagar belukar / menembus pinus / belantara cemara / jeratan rotan / melawan algojo tanduk rusa / melucuti pecut-pecut penyihir merah / menghapuskan mantra-mantra / menyembuhkan hati yang marah.

Nilai trilogi yang diajarkan Tjokroaminoto sebagai guru bangsa yang utama, terkontaminasi oleh pengembaraan pemikiran murid-muridnya (Soekarno, Kartosuwiryo, dan Semaun) karena berkemul dengan pemikiran Marxisme, l’idéologie républicaine, Wahabisme, dan Komunisme (abad ke 18 - 19), lantas membuat bangsa ini terfirqah-firqah hingga hari ini. Walaupun ideologi sudah berubah menjadi fanatisme pragmatis -- yang melahirkan politik transaksionalisma, dan idealisme berubah menjadi komersialisme mengikuti iman baru yang ditawarkan George Soros lewat globalisme.

Gerak sejarah kebangsaan melenceng dan mengalami disorientasi karena terkuasai oleh birahi kekuasaan dengan 'kain demokrasi' yang membungkus ketat nalar, naluri, rasa dan indria keindonesiaan. Di sini, nampaknya Agustian mendapat rangsangan baru, ketika puisi ini sampai pada larik: tiba waktunya / Raja menepati janji / hadiah untuk si Mimpi / "untukmu, kuberikan sihir terbaik negeri ini." Rangsangan untuk membuka kembali lembar-lembar pendidikan kebangsaan yang dilakukan oleh HOS Tjokroaminoto, yang kemudian diperkaya dengan pemikiran H. Agus Salim, dan lainnya.

Gagasan yang dianggit dalam larik itu, terkesan menggerakkan Agustian untuk memindahkan realitas pertama penyelenggaraan negara sejak proklamasi 17 Agustus 1945 ke tanggal yang sama di tahun 2045. Mempertemukan isyarat-isyarat visioneering dengan aksi anomali yang masih berlangsung kini. Ketika pemimpin-pemimpin sejati Indonesia, pulang ke haribaan Al Mulq, penentu hidup dan mati semesta, termasuk manusia. Kepergian yang meninggalkan air mata, seperti isyarat dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri (Tanah Air Mata) dan puisi-puisi pamflet Rendra.

Retrospeksi disajikan apik dalam naskah dan aksi panggung yang disajikan Agus dengan musik dan busana Melayu. Ada harapan tersisa yang ditawarkan. Dan di panggung, pernyataan Si Mimpi, melekat di benak, untuk tetap memelihara gairah dan ghirah kebangsaan.  "Raja Ompi Lompi, kuminta padamu agar kesedihan takkan bisa menemukanku / Kitab kebahagiaan terbaik milik Raja hendak saja tiba di genggaman // Hingga jemari lentik menyentuh, / bersama segelas susu dan setangkup roti hangat / "Hari sudah pagi, lambaikan saja tanganmu pada spotong mimpi yang tak pernah usai."

Apresiasi dan respek saya untuk penyair perempuan seperti Novita -- yang mudah-mudahan tak terkontaminasi kerancuan cara berfikir. Dengan karya-karya puitik semacam ini, saya optimistis, kelak kita akan kembali ke garis azimuth perjuangan kebangsaan. Terutama, ketika mampu menjaga jarak akal sehat, nurani, perut dan saluran pelepas tetap proporsional.

Inspiratif dan imajinatif puisi ini. Inilah pula puisi orang lain yang saya bacakan setelah lebih dari empat dasawarsa membaca puisi sendiri. Dan.. itu terjadi kurang dari 20 menit, sebelum pertunjukkan berlangsung. Saya lihat wajah Novita dengan tatapan mata berbinar, ketika saya turun ke panggung, membaca puisinya, sambil berdoa dalam hati, karena kondisi saya sedang tidak fit. Sejak beberapa bulan, saya mengalami gangguan pernafasan dan jantung.

Novita lewat puisinya dan Agustian yang rewel dan senang menteror, selain memotivasi, malam (Rabu, 20 November 2019), di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, mengalirkan energi baru buat saya. Keduanya mampu meyakinkan, pilihan untuk kembali bergerak di jalan kebudayaan memang lebih pas buat saya. Terutama, ketika saya tak lagi memerlukan atribut sosial apapun.

Insaf dengan kondisi dan tak tertarik dengan remah-remah budaya (khasnya politik praktis), akhirnya memang memperkuat saya untuk kembali ke rumah besar kebudayaan. Tempat artistika, estetika, dan etika terintegrasi menjadi sokoguru peradaban. Tegak di atas kesadaran imani. Puisi Novita dan Kefasihan Agustian mengalih-media menjadi pergelaran teater, menjadi hadiah khas buat saya melangkah di usia baru dan berkah. InsyaAllah. |

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 244
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 423
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 317
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 272
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya