Perjalanan Melati Meniti Performance Art

| dilihat 2765

AKARPADINEWS.COM | MELATI Suryodarmo tampil sederhana. Berpakaian hitam dan model rambut pendek, sejajar dengan telinga. Dia duduk di kursi kayu, dengan posisi badan rada tegap. Sejenaknya, dia beradaptasi, menatap, dan berupaya fokus berhadapan dengan orang-orang yang ingin menyimaknya. Setelah itu, dia memulai pembicaraan tentang asal-usulnya.  

“1969 saya lahir di Solo, kampung kecil di Kota Solo, Kampung Kemalayan,” ujarnya. Lalu, Melati mengurai memori masa kecilnya, tentang relasi dengan orang tuanya. “Bapak saya, Suprapto Suryodarmo. Ibu saya, Siti Nurianti.”

Melati, lahir dari rahim Siti yang kala itu berusia 18 tahun, terpaut lima tahun lebih muda dari Suprapto. Pasangan yang masih sangat muda untuk mengarungi bahtera keluarga.

Melati tumbuh di lingkungan keluarga yang bergiat dalam aktivitas kesenian tradisional. Ibunya adalah penari Jawa. Ketika Melati remaja, ayahnya mulai menekuni movement art. Dan, darah seni kedua orang tuanya itu menular padanya. Berbekal dari bakat dan keseriusan dalam berlatih, Melati kini menjadi seniman performance art Indonesia yang mendunia.

22 Juni 2016 lalu, Melati mendeskripsikan dirinya lewat tubuh dan kisahnya saat presentasi performatif berjuluk Pinjam (Borrow) di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 22 Juni 2016. 

Dia menjelaskan, tubuh tidak hanya sebagai media bagi pemiliknya. Namun, menjadi inti kehidupan karena tubuh mengandung memori tentang kisah hidup, yang saling berinteraksi dan "pinjam meminjam" dengan orang-orang terdekatnya.     

Presentasi Performatif Melati ini menjadi pembuka program Lintas Media Komite Teater, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Presentasi ini sebelumnya pernah disuguhkannya dalam program Tokyo Performing Arts Market (TPAM) di Yokohama, Jepang, tahun 2015.

Meski dikenal sebagai seniman performance art yang mendunia, Melati merendah. Dia menganggap, karyanya hanya hasil pinjaman. Dia tidak berani mengklaim karyanya hasil kreasi sendiri. "Saya meminjam hidup ini, sebagaimana saya meminjam tubuh, gagasan, teknik mereka, guru-guru saya, dalam berkarya. Saya tidak pernah berani mengatakan karya saya original, asli. Itu saya pelajari selama proses saya bekerja,” tutur Melati.

Selama sekitar 60 menit, presentasi performatif dan percakapan sepihak yang dilakukan Melati, mampu membangun keintiman dengan penonton. Gagasannya tentang “meminjam” yang diuraikan dalam presentasi itu adalah sekelumit kisah hidupnya dan bagian penting baginya dalam berkarya. Karenanya, ada keinginan Melati untuk mengembalikan sesuatu yang telah dipinjamnya dalam kondisi yang lebih baik.

Demikian pula ketika dia meminjam hal-hal yang begitu pribadi, bahkan meminjam dirinya melalui kisah yang secara personal begitu mengguncang. Misalnya, dalam karya Butter Dance, ketika dia menari dengan pakaian hitam, menggunakan sepatu high heels merah, dan berkali-kali terpleset di atas balok mentega yang membuat sekujur tubuhnya lebam. Hal itu menyiratkan pengalamannya sebagai warga asing di Jerman, dengan sekelumit pandangan yang berbeda dan kisahnya yang jatuh bangun.

Dari ratusan karyanya, baik performance art, film, instalasi, hingga fotografi di berbagai negara, nampak ada pergulatan memori yang saling bertukar tangkap antara pertemuan dan kehilangan, masa lalu dan kini, maupun kesakitan dan kebahagiaan.

Di situlah kekuatan karya Melati, yang menunjukan performance fisiknya yang hebat dan kedalaman tema personalnya. Karyanya menarasikan tentang kejujuran, tentang interaksi antara dirinya dengan orang-orang terdekatnya, termasuk trauma kehilangan.

Setiap ruang, baik di Solo, Bandung, dan Jerman, menjadi fragmen kisah yang saling terkait yang memperkaya karyanya sebagai ungkapan pribadi.  “Berkarya sangat dekat dengan proses pribadi saya. Karya adalah bagian dari spiritual. Saya ingin mengembalikan apa yang saya pinjam, dengan keadaan lebih baik.”

Kiprahnya dalam berkesenian tidak terlepas dari peran orang tuanya. Di usia delapan tahun, hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), orang tuanya mengarahkan Melati agar mempelajari tari Jawa, di bawah asuhan S Condro Ngaliman, guru menari ibunya.

Melati yang di usia remaja bertubuh gemuk, sempat merasa diselepekan. Pasalnya, dia hampir tidak pernah diajak pentas lantaran tubuhnya tidak seperti teman-temannya. Padahal, Melati rajin latihan. Kalau pun disertakan dalam pementasan, dia hanya terlibat dalam tarian yang gerakannya kasar. Misalnya, Tari Buru Kijang dengan peran sebagai pemburu.

Dia juga memakai topeng karena matanya sulit fokus. Meski demikian, Melati menilai, peran yang diberikan Ngaliman padanya sangat tepat karena sesuai potensi yang dimilikinya.  Melati, tidak hanya menekuni tarian Jawa. Di kala remaja, dia berguru taici dengan Narso, maestro taici di Solo. Dia disarankan bapaknya untuk belajar taici agar dapat lebih tenang melalui olah pernapasan. Melati dianggap terlalu aktif kala itu.

Narso adalah seniman Lekra, yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia mempelajari taici selama di penjara, di ruangan 2 x 2 meter dari gurunya, seorang tahanan yang juga ahli jamu dan akupuntur.

Uniknya, Narso mengajarkan taici dengan iringan musik gamelan. Dia juga nyambi praktik pijat. Karenanya, saat berlatih taici, Melati sering mendengar teriakan orang yang dipijat. Melati mengenang Narso sebagai guru taici yang keras. "Tapi, saya senang belajar dengannya.”

Ketika usianya beranjak 15 tahun, Melati berlatih aerobic. Dia belajar pada Laura Komano, warga Italia yang membuka studio aerobik di Indonesia di tahun 70-an. Karena dapat menguruskan tubuhnya, Melati pernah dipercaya menjadi asisten Laura dengan gaji yang lumayan. Sejak itu, dia mulai malas menari Jawa dan taici

Melati juga belajar meditasi Sumarah dengan Suwondo di sebuah pendopo yang juga diikuti sejumlah orang dengan latar belakang profesi yang berbeda. Meditasi Sumarah mengajarkannya tentang teknik relaksasi. Lalu, digelar sesi curhat, semacam konsultasi bersama yang sesungguhnya ditujukan untuk mengikat anggota paguyuban tersebut.

Setelah menekuni olah tubuh dan jiwa dari beberapa gurunya selama masa remaja, Melati mencoba sendiri melakukan meditasi dan mencari gerakannya. Dari candi ke candi seperti Candi Plaosan dan Mendut, Melati pun mulai mengikuti jejak sang ayah, yang sering ke luar negeri untuk mengajar movement art. “Begitulah piknik keluarga kami," ujarnya.

Melati sempat berinteraksi dengan orang-orang Eropa yang merupakan murid ayahnya. Dia terpukau dengan gaya, pakaian, dan cara bicara mereka. Namun, ayahnya mengingatkan, tak perlu mengikuti gaya para muridnya itu. “Ayah selalu bilang, ndak usah ikutan, nanti kamu jadi pengen seperti mereka, pengen ke Eropa.” Sang ayah tak ingin anaknya berhubungan dengan muridnya.

Selesai SMA, Melati pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi di jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjajaran (Unpad). Di kota itu, dia merasa menjadi orang baru yang memaksa untuk mengubah sketsa hidupnya.  

“Saya menemukan ruang baru, seperti GSTF (Gelanggang Seni Teater dan Film) di kampus Unpad, Dipatiukur. Banyak bacaan, diskusi, dan ikut demo,” katanya mengenang. Di sana pula, ia bertemu Marintan Sirait dari Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), pendiri Jendela Ide.

Marintan lalu mengajaknya ke Goethe, Pusat Kebudayaan Jerman. Saat itulah, untuk pertama kalinya, Melati dokumentasi film performance, Joseph Beuys berjudul I Like America and America Like Me. Dia benar-benar terpukau dengan karya itu. “Saya tak bisa tidur memikirkan film itu. Saya bertanya-tanya, apa itu teater? Marintan menjelaskan bahwa itu performance art."

Ingatannya selama di Bandung, lalu diungkapkannya dengan tarian dengan gerak yang halus, diiringan musik Jawa. Baginya, Bandung serupa ruang peralihan yang mengantarkannya menuju fase hidup yang selanjutnya di Jerman. Di negara itu, Melati berkesenian dengan keras, hingga berhasil mengukuhkan namanya sebagai seniman performance art yang mendunia.

Melati hijrah ke Jerman bersama kekasihnya, usai lulus dari Unpad. Awalnya, dia sempat rada gagap di Jerman. Dia datang dengan pakaian musim panas, sementara kala itu sedang musim dingin. Dia pun sering menuai tatapan aneh dari orang-orang sekitarnya ketika merokok kretek asli Indonesia.

Di bulan pertama menginjakan kaki di Jerman, Melati kewalahan berkomunikasi. Karena, dia tidak cakap berbahasa Jerman. Dia tinggal di apartemen kecil dengan pemanas ruangan dari kayu bekas yang didapatnya di pinggir jalan.

Kehidupanya mulai berubah setelah bertemu dengan seorang perempuan asal Jepang. Di kala musim semi, di sebuah taman, Melati bertemu Anzu Furukawa. Mereka berbincang dalam bahasa Inggris. Kepada Anzu, Melati mengungkap, tujuan ke Jerman untuk bersekolah. Namun,Melati mengaku tidak memiliki uang. Tak disangka, persoalannya itu direspons Anzu, yang merupakan profesor seni dan koreografer Butoh. Dalam pertemuan itu, Anzu menawarkan Melati agar datang ke kelasnya hari Senin. “Sejak itu, saya sekolah. Saya tidak pernah berencana menjadi seniman lulus sekolah seni,” kenangnya.

Melati benar-benar beruntung bertemu, mengenal, dan dekat dengan Anzu. Dia belajar banyak tentang kedisiplinan dari Anzu. Belajar delapan jam sehari, dari pukul 08.00 hingga 16.00. Hal lain yang paling penting dari Anzu adalah pengetahuan menciptakan tari melalui riset.

Anzu tidak mengajarkannya dari sisi bentuk. Namun, bagaimana memilih pementasan sendiri. Pengetahuan yang diraih dari sang gurunya itu, untuk kali pertama, Melati tampil di hadapan 400 orang. Dia membawakan butoh tanpa memakai baju.

“Saya mengira tidak apa-apa tanpa baju, karena Butoh, biasanya memakai bedak putih. Saya tidak. Awalnya, saya merasa bagaimana gitu, tampil dengan bagian atas tubuh saya yang terbuka. Tetapi, setelah itu, saya merasa mendapatkan pengalaman baru,” ungkapnya seraya tersenyum kecil.

Setelah kontrak mengajar selesai, Anzu pindah ke Berlin. Lalu, datanglah Marina Abramovich, seniman performance art yang kala itu namanya cukup beken. Melati, kala itu tidak mengenal Marina. Dia baru mengenal Marina setelah membaca sebuah pengumuman, dengan gambar Marina yang dililit ular di kepala. Rupanya, Marina menjadi profesor baru di kampusnya.

Marina adalah pengampu yang selektif dalam menentukan mahasiswa yang ingin mengikuti mata kuliahnya. Dari sekitar 80 mahasiswa yang berniat ikut perkuliahannya, Marina hanya memilih 20 mahasiswa.

Saat seleksi, Melati dengan jujur mengungkapkan minimnya pengetahuan tentang performance art. Namun, dia berupaya menjawab pertanyaan Marina sambil menatap matanya. "Saya percaya anda sebagai profesor saya," harap Melati kepada Marina.  Dan, ikhtiar itu berbuah manis. Marina mengabulkan permintaan Melati untuk menjadi mahasiswanya. Saat itulah, episode baru dijalani Melati.

Pada saat Melati hamil empat bulan, Marina pernah meminta untuk memilih: menjadi seniman atau mengurus keluarga. Atas opsi itu, Melati menegaskan, memilih untuk melahirkan buah hati satu-satunya, Selina dan belajar dengan serius mengenai metode tubuh dari Marina yang disebut Cleaning The House.

Dengan menutup kedua matanya dengan kain hitam. Melati menjelaskan dengan detail metode tubuh yang dipelajarinya dari Marina. Menurut dia, seluruh mahasiswa Marina diminta berpuasa dua minggu, hanya minum teh, dan tak boleh bicara. Mereka juga diminta berlatih fisik, berlari satu putaran mengelilingi danau dengan cepat. Lalu, berjalan sangat lambat. Mereka dituntut berjalan setengah hari di hutan. Lalu, menutup mata dan berdiri selama berjam-jam.

Di kala pagi, Marina memaksa bangunkan mahasiswanya dengan suara gaduhnya. Lalu, memerintahkan mahasiswa berlari di atas salju yang membuat kaki pada sakit. Hari berikutnya, mereka berjalan bersama-sama dan berhenti di sebuah tempat. Kemudian, ditutup matanya dengan kain hitam. Marina lalu mengajak mahasiswanya berjalan dan berputar tujuh kali. Setelah itu, dia memerintahkan mahasiswanya mencari jalan pulang. Melati butuh waktu 3,5 jam untuk mencari jalan pulang, kembali ke penginapan.

Dari pengalaman itu, Melati menilai, kehidupannya berubah. Dia menjauh dari dirinya sendiri, dari asal, akar, dan kebiasaan lamanya. Pelajaran dari Marina, mengingatkannya jalan untuk kembali ke diri sendiri. Dia pun mendalami teori, cara menilai karya, termasuk alasan menciptakan performance, yang awalnya hanya dianggap sebagai karya eksperimental dan orang-orang bebas melakukannya.  

“Saat itu, saya belajar tubuh, tanpa terpengaruh teori dan fakta sejarah yang ada. Karena, Marina ingin kita mencari jalan kita sendiri dalam berkarya. Ia tak ingin muridnya menjadi seperti dia,” ucap Melati.   

Marina juga dianggapnya memberikan pengetahuan tentang manajemen. Baginya, seorang seniman harus punya kemampuan manajemen. Tanpa kemampuan itu, sama saja membunuh struktur sosial seniman itu sendiri.

Selain itu, dia mempelajari tentang pentingnya sebuah proses dalam berkarya, khususnya dalam mengembangkan performance, di berbagai tempat teater, galeri, outdoor maupun indoor.  

Melati, termasuk mahasiswa lainnya, sangat beruntung diampu oleh Marina karena dapat tampil di tempat-tempat mapan di Eropa. Meski digaji kecil, pengalaman yang luar biasa juga diraih Melati saat dipercaya menjadi asisten Marina untuk mengurusi proyek mahasiswa.

Di sekitar tahun 2000, Melati bertemu Boris Nieslony di Koeln. Boris dikenal sebagai tokoh performance art, aliran Avant Garde, Marginal. Pertemuan bersama Boris itu cukup unik. Kala itu, saat perform Butter Dance, Boris datang memeluknya, meski berlumuran mentega. Sejak itu, keduanya kian akrab. Mereka saling kontak dan bekerjasama. Boris memiliki karakter yang nyaris serupa dengan Marina. Dia tak kerasan dalam ruang yang mapan. Boris juga sangat kritis terhadap sejarah Jerman. Sebagai tokoh seniman performance art, Boris selalu mengingatkan, tubuh tak boleh lepas dari sejarahnya.

Bagi Melati, karya Boris sangat menyakitkan karena selalu menyuguhkan sisi gelap tentang Jerman, terutama saat dipimpin Adolp Hitler. Di usia muda, Boris yang menekuni filsafat, adalah seorang punker dan pengagum musik aliran keras, heavy metal. Performance art yang disuguhkan Boris biasanya mengadopsi gaya black market. Melalui Boris, Melati mengikuti festival marjinal dan direkomendasikan untuk tampil di berbagai festival. Kesempatan itu dimanfaatkan Melati untuk memperluas jaringan.

Di tahun 2005, Melati kembali ke Indonesia. Lalu, di tahun 2007, dia menggelar Performance Art Laboratorium Project (PALA) bersama Boris. PALA menjadi laboratorium kesenian yang rutin diselenggarakan di Solo dan Bali. Program ini berlanjut menjadi undisclosed territory sebagai ruang pertemuan para seniman, khususnya seniman performance art yang diselenggarakan di Padepokan Lemah Putih, Solo.

Selama sekitar 60 menit, presentasi performatif dan percakapan sepihak yang dilakukan Melati, mampu menghangatkan perasaan dan membangun keintiman dengan penonton. Gagasannya tentang “meminjam” adalah sekelumit kisah hidupnya dan bagian penting baginya dalam berkarya. Karenanya, ada keinginan Melati untuk mengembalikan sesuatu yang telah dipinjamnya dalam kondisi yang lebih baik.

Ratu Selvi Agnesia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 238
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 408
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 256
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang