Margi Wuta, Teater Auditif dan Empati

| dilihat 2168

AKARPADINEWS.COM | MATA dengan logika optiknya menjadi alat utama bagi manusia untuk mengetahui visual dari segala bentuk dari peristiwa. Tanpa mata, manusia tentu sulit merasakan sesuatu yang indah maupun yang buruk di hadapannya.

Dalam pertunjukan Margi Wuta, indera penglihatan penonton sengaja dimatikan sementara oleh selembar kain hitam yang dipasangkan sebelum memasuki ruangan. Penonton disuguhi bunyi tetesan air, dengung lonceng, berlanjut deru pesawat terbang. Dan, “Prang…”!  bunyi panci terjatuh keras menghenyakan penonton yang tak berdaya melihat sekelilingnya. Suara itu menjadi pembuka panggung teater.

Pertunjukan Margi Wuta, yang dalam bahasa Jawa artinya karena buta atau jalan buta, yang disuguhkan Teater Gardanalla, disutradarai Joned Suryatmoko. Dia berkolaborasi dengan penata musik Ari Wulu dan dimaikan para aktor difabel netra. Pertunjukan itu dipentaskan di Bandung Auditorium Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna, di Jalan Pajajaran-Bandung, 4-5 Oktober 2016.

Tiga aktor utamanya, Harjito, Getir, dan Suratmi, sebelumnya memainkan pertunjukan ini di Yogyakarta tahun 2013 lalu. Sedangkan aktor-aktor lain yang terlibat adalah penghuni PSBN Wyata Guna.

Konsep teater Margi Wuta mencoba menjadi yang liyan dari teater konvensional. Joned menjadikan kegelapan yang dialami para pemain sebagai peristiwa teater. Bagi mereka kegelapan begitu dekat dengan kehidupan sehari-harinya. Peristiwa teater ini dibangun atas tiga elemen, yaitu penonton, artistik ruang pertunjukan, dan permainan para difabel.

Sebelum memasuki ruang pertunjukan, mereka yang ingin menyaksikan pertunjukan ini dibagi menjadi dua yaitu penonton dan hadirin. Penonton bersedia ditutup matanya selama pertunjukan berlangsung. Selanjutnya, mereka dapat melihat pertunjukan, tanpa ditutup matanya. Sedangkan hadirin adalah mereka yang menonton pertunjukan tanpa ditutup matanya.

Menjadi penonton harus bersedia mengikuti instruksi panitia. Ditutup matanya, lalu dituntun memasuki panggung dan ditempatkan di sebuah kursi yang letaknya bisa bersebelahan dengan aktor. Mendengar para aktor berdialog, imajinasi penonton dituntut untuk mengembangkan setting tempat di antaranya di rumah, pos ronda, dan di taman.

Margi Wuta merupakan bentuk teater empati dan teater auditif. Cerita dalam pertunjukan ini diambil dari realitas keseharian yang dekat dengan para aktor difabel netra. Di sebuah rumah, terdengar perbincangan Harjito dan Getir yang sedang asyik mendengar ketoprak dari MP3. Namun, keasyikan mereka terganggu oleh Suratmi, sang istri yang berprofesi sebagai tukang pijat. Sesampainya di rumah, Suratmi ingin menyaksikan sidang Jessica yang sedang hangat dan ramai diulas media mainstream.

Kedua laki-laki yang kesal ini lalu berpindah ke pos ronda untuk mendengarkan ketoprak. Ternyata, pos ronda tersebut sudah ditempati anak-anak muda yang sedang latihan menyanyi untuk konser amal, aktivitas yang biasa dilakukan para difabel netra. Mereka pindah ke pos ronda karena terganggu oleh suara pemotong rumput yang terdengar begitu keras di taman, tempat mereka biasa berlatih.

Meski diusir dari pos ronda, semangat anak-anak muda untuk berlatih menyanyi, diiringi suara gitar, tak surut. Lantunan suara merdu dari seorang anak perempuan mengiringi hingga akhir pertunjukan. Lagu berjuluk Eternal Flame adalah lagu yang sangat disukai para aktor difabel netra. Lagu itu liriknya memiliki relasi kuat untuk membangun empati dan saling merasakan. Begini bunyi sebagian liriknya, "Close your eyes, give me your hand, darling. Do you feel my heart beating, do you understand? Do you feel the same? Am I only dreaming?…”

Ketika lagu dilantunkan, penonton diminta membuka penutup mata sesuai instruksi panitia dan menyaksikan sekelumit pertunjukan. Ekspresi penonton bermacam-macam, entah apa yang dirasakan para penonton. Kebanyakan dari mereka menatap para aktor dengan tatapan dalam dan menangis hingga lagu berakhir dan ditutup dengan tawa lepas para aktor dan suara riuh tepuk tangan.

Selain mengasah empati dengan merasakan yang dialami para difabel netra, pertunjukan itu terkait konteks relasi sosial. Mengalami pertunjukan Margi Wuta adalah cara menghayati seluruh indra yang sebelumnya luput untuk benar-benar disyukuri. Selain indera penglihatan menjadi terasa begitu berharga, kemampuan auditif penonton dipertajam. “Saya membayangkan seperti mendengar sandiwara radio dan membangun imajinasi di kepala saya,” tutur salah seorang pengunjung. 

Indera pengecap lidah juga turut dihayati dengan merasakan langsung sepotong martabak mie dalam kegelapan, diiringi suara aktor yang menjelaskan begitu gurihnya makanan itu. Di adegan lain, penonton diminta melempar bola tenis sekeras-kerasnya sesuai aba-aba aktor. Seolah-olah, bola itu dilempar langsung ke tukang potong rumput yang menggangu anak-anak berlatih menyanyi.

Teater Tanpa Batas Indera

Pada pertunjukan Margi Wuta yang menjadi bagian dari Art Summit Indonesia (ASI) ke-8, peristiwa-peristiwa yang dibangun di atas panggung terlihat mencair, disesuaikan dengan kebutuhan para aktor difabel netra.

Kegelapan tak lagi menjadi hambatan, sekaligus menegaskan, jika tolak ukur kemampuan seorang aktor untuk bermain di atas panggung, tidak terbatas oleh kendala ketidakmampuan fungsi salah satu indera tubuhnya.

Siapapun bisa bermain teater dan menjadi aktor dengan proses latihan dengan keras. Namun, tentu dengan tawaran konsep yang berbeda dari sang penggagas karya.

Joned terbilang berhasil menyutradarai. Pola yang diterapkannya mengadopsi kemampuan dan pengalaman aktor-aktornya secara etik. Mengangkat sekelumit kisah keseharian dan melatih mereka untuk tampil dengan menjadi diri sendiri. Lalu, artistik panggung disesuaikan dengan kebutuhan aktornya, berupa tiga ruang yang ditutupi kelambu putih sebagai media yang mudah diraba. Kemudian sebuah jalan menyerupai jembatan dengan besi di sisi kiri dan kanan yang menghubungkan antar ruang.

Pertunjukan teater yang dimainkan para aktor difabel netra bukan kali ini saja. Sebelumnya, Dindon WS, sutradara Teater Kubur-Jakarta pernah melakukan hal serupa. Begitu pula Bob Teguh dari kelompok Creamer Box-Bandung. Sayangnya, dokumentasi tentang pertunjukan mereka sulit didapat.

Di sisi lain, bagi hadirin yang menyaksikan pertunjukan Margi Wuta tanpa mata tertutup, akan mengajarkan sesuatu yang penting dan mencerahkan diri para difabel netra. Mereka belajar menjadi diri sendiri seutuhnya. Melihat langsung cara mereka berjalan dengan hati-hati, tertawa dengan lepas dan bernyanyi dengan penuh penghayatan, menjadi diri mereka sendiri. Ekspresi para difabel netra bergerak tanpa dipengaruhi manusia lain. Sebab, para difabel netra tidak pernah melihat langsung cara tubuh manusia lain bergerak.

Sedangkan tubuh kebanyakan manusia sangat dipengaruhi dan dikonstruksi oleh manusia lainnya. Sejak bayi, seorang manusia diajarkan untuk meniru berbagai gerakan manusia lain dalam berjalan, tersenyum, dan tertawa.  

Menyaksikan pertunjukan dengan aktor-aktor difabel netra mengajarkan penonton untuk melihat manusia dengan jujur, apa adanya, mengasah empati, meningkatkan kemampuan indera lain yang luput disyukuri, membuka mata hati maupun mata batin untuk melihat kegelapan dan manusia lain dengan lebih jernih. | Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
19 Nov 24, 08:29 WIB | Dilihat : 1044
Kanyaah Indung Bapak
20 Jul 24, 21:32 WIB | Dilihat : 1902
Voice of Baceprot Meteor dari Singajaya
Selanjutnya
Sporta