Film

Film Tanah Mama: Sebuah Potret Kemiskinan di Papua

| dilihat 3189
 
AKARPADINEWS.COM │Menyaksikan film dokumenter “Tanah Mama” besutan penulis dan sutradara muda Asrida Elisabeth dan diproduseri Nia Dinata, mengajak penonton untuk menyaksikan representasi wajah Papua sebenarnya. Keindahan alam dan kekayaan tambang Papua tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. 
 
Film produksi Kalyana Shira Films adalah hasil riset Asrida selama lima tahun mengenal Mama Halosina, film ini menjelaskan secara nyata keseharian Mama Halosina yang menjalani hidup sebagai seorang ibu dan perempuan dengan tegar. 
 
Setiap hari, Mama Halosina membanting tulang bekerja di Kampung Anjelma, pedalaman Yakuhimo dengan jarak lima jam berjalan kaki dari kota Wamena-Papua. Hari demi hari melakoni hidup dengan tujuan, hanya agar mampu membesarkan keempat anaknya yang masih kecil, setelah ditinggal pergi oleh Ayahnya sendiri karena sang Ayah memilih perempuan lain dan meninggalkan keluarganya. 
 
Mama bekerja dengan menanam ubi dan sayuran kebun seadanya. Ia bekerja sendiri tanpa bantuan siapapun. Ubi adalah makanan utama masyarakat Papua, selain Sagu. Kebanyakan,  pekerjaan membuka lahan ubi yang ditanam di bukit dan lereng dilakukan oleh suami atau para pria, tapi tak ada pria manapun yang membantu Mama Halosina. Bahkan ketika saat upacara dengan pesta Ubi. Mama Halosina hanya bisa menangis dengan mengharap keadaan yang lebih baik. 
 
Konflik Mama Halosina semakin terasa ketika ia harus menjalani sanksi adat, bahkan terancam dilaporkan ke polisi. Alasannya karena anak-anaknya dalam tekanan hidup dan kelaparan terpaksa mencuri ubi dari lahan iparnya. Realitas yang lebih dramatis, tanpa skenario apapun diperlihatkan ketika Mama Halosina memohon pengampunan adat sembari menyusui anaknya yang bayi.  
 
Keempat anaknya yang berwajah manis, berambut keriting, berperut buncit dan seringkali beringus—seperti kebanyakan anak di Papua lainya adalah nyawa bagi sang Mama. Seringkali tingkah sang anak yang unik, polos dan lucu direspon oleh tawa satir penonton ketika  menyaksikan film ini. Mama dan anak-anaknya berhimpit di rumah tinggi Papua yang sempit dan tidur beralaskan jerami dan nyaris tidak bisa lagi bermimpi dan hanya sekadar menjalani hari ini dan esok. 
 
 
Film “Tanah Mama” menawarkan kehidupan Papua yang nyaris menyeluruh.  Kita bisa melihat posisi perempuan yang gagah dan tegar sebagai ibu sekaligus kepala keluarga yang memutuskan segala urusan perkara keluarga. Keindahan alam Papua dengan bukit yang hijau menjadi tampilan menyejukan mata namun kontradiksi dengan para perempuan yang bekerja bersimbah keringat di antara jarak yang harus ditempuh dan terik matahari. Di lihat dari sisi kebudayaan,  adapun yang menjadi point of view yang menarik adalah lagu-lagu yang dinyanyikan para Mama ketika berladang.  
 
Adapun yang utama dalam film ini adalah sisi kemiskinan  yang bisa dilihat yaitu pertama, pendidikan dengan ketidakmampuan anak-anak untuk sekolah karena jarak yang jauh dari sekolah dan sumber daya manusia baik sekolah dan guru. Kedua, adalah sisi kesehatan di mana fasilitas puskesmas dan dokter begitu terbatas. Kemiskinan ini menjadi tugas negara baik di daerah maupun dalam cakupan nasional untuk diselamatkan dengan solusi awal dalam pendidikan dan kesehatan untuk masa depan anak-anak Papua.  
 
Akhirnya, penonton diajak untuk merenungi kisah Mama Halosina dan kondisi Papua secara nyata, di mana perempuan, kemiskinan, kebudayaan (adat) dalam “Tanah Mama” memberikan secawan kegetiran meski didalamnya semoga masih terdapat ramuan harapan. │Ratu Selvi Agnesia
 
 
 
 
Editor : Nur Baety Rofiq
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 534
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1058
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 286
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 752
Momentum Cinta
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1194
Rumput Tetangga
Selanjutnya