AKARPADINEWS.COM | FESTIVAL teater merupakan ajang pertemuan antarkomunitas teater dan momen mengekspresikan berbagai gaya di panggung teater. Di Jakarta, festival teater biasanya menyuguhkan perayaan antarkomunitas teater yang sudah mapan, dan penyelenggaraan festival teater dari mahasiswa, remaja, hingga anak-anak.
Namun, ada yang lebih menarik dan langka ketika kehadiran teater sebagai sebuah festival, digelar antarkelas di universitas seperti dalam Festival Drama Antarkelas (Fesdrak) di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang (FKIP UMT). Uniknya, Fesdrak ke-6 itu menjadi Ujian Akhir Semester (UAS) untuk mata kuliah Teater/Pendidikan Seni Drama.
Penyelenggaraan Fesdrak #6 itu menjadi ruang dialetika antara teater dengan berbagai lintas ilmu. Kegiatan itu juga dapat menjadi role model, media ekspresi, dan pembentukan karakter mahasiswa yang merupakan calon guru itu.
Festival yang diselenggarakan tanggal 28 Mei hingga 2 Juni 2016 di Sanggar Sitihinggil, Tanah Tinggi, Tangerang, Banten itu diikuti 24 grup teater dan 592 mahasiswa. Mereka unjuk kreativitas di atas panggung sejak pukul 10.00-17.30 WIB. Mereka yang unjuk kebolehan itu berasal dari program studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (10 grup), Bahasa Inggris (tujuh grup), Matematika (enam grup) dan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (satu grup).
Di acara tersebut, mahasiswa tidak saja memanfaatkan dengan kreatif, kompak, dan saling berbagi. Mereka juga membedah teater dalam konteks keilmuannya masing-masing, baik Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yang memiliki bobot keilmuan lebih dalam pada kajian naskah drama.
Menurut Enawar, Dekan FKIP UMT, sejak Fesdrak pertama kali digelar, ia menekankan teater sebagai mata kuliah wajib. Alasan, dalam metologi mengajar dan mengelola kelas, teater dapat menjadi media untuk menjadikan para calon guru agar lebih terampil, cerdas, menarik, dan percaya diri dalam mengajar.
“Transformasi ilmu melalui teater, dapat diwujudkan dengan cara menyenangkan dan menarik, dan membahagiakan," tutur Enawar saat membuka Fesdrak#6. Teater juga dinilainya sebagai bagian dari metode dalam mengajar dan membentuk karakter guru dan siswa. “Para calon guru ini adalah masa depan Indonesia sehingga harus menerapkan metode belajar yang membahagiakan,” ujarnya.
Hubungan teater dengan Matematika misalnya, dapat dilihat dalam pertunjukan Kagak Teater berjudul: Syndicate-Chapter 1-Confuse karya Anwar Soleiman, yang disutradarai Muhammad Ridwan Himawan.
Lakon ini mengisahkan tentang terorisme yang bersumber dari kemiskinan, bukan agama. Pementasan itu mengisahkan sosok Farah, anak muda yang bernasib sama dengan kebanyakan anak muda di Indonesia.
Farah berjuang mempertahankan hidupnya yang miskin. Dia sulit mendapatkan pekerjaan karena pendidikannya rendah. Ia dendam terhadap orang-orang yang menghina dan menolaknya saat melamar kerja. Singkat cerita, Farah bertemu dengan Nurdin, seseorang yang menyamar menjadi ustad. Nurdin rupanya menjadikan Farah sebagai "pengantin" untuk meledakan bom.
Akhirnya, Farah masuk dalam jaringan teroris. Gagasan pertunjukan ini cukup kreatif, meski terkesan terlalu banyak maunya untuk menghadirkan berbagai peristiwa di atas panggung.
Detail-detail pertunjukannya begitu cermat dihitung seperti dalam tempo bermain, pencahayaan, penempatan musik yang tepat dalam membangun peristiwa pertunjukan, artisik yang bergerak luwes di setiap fragmen, dan akurat dalam penempatan ruang. Pertunjukan yang dibalut komedi satir ini juga merefleksikan logika pemikiran para mahasiswa Matematika yang mengajak penonton memasuki labirin misteri yang sulit dipecahkan.
Begitu pula dalam pertunjukan Jam Dinding yang Berdetak karya N Riantiarno, dengan sutradara Kurnadi dari Teater XY, masih dari Prodi Matematika. Gagasan tentang waktu, angka-angka dalam usia, dan sekelumit persoalan di keluarga, disimbolkan dalam sebuah jam yang diletakkan di tengah ruangan.
Sejalan dengan waktu yang terus berdetak, terlihat pasangan suami istri yang semakin tidak romantis pasca didera kebangkrutan. Mereka mengalami kekosongan jiwa. Sementara anak-anak mereka yang tumbuh dewasa, ingin membahagiakan orang tuanya di momen ulang tahun pernikahan dengan memberikan kejutan.
Namun, kebahagiaan harus berganti penyesalan oleh waktu yang berhenti saat kematian sang kepala keluarga. Kematian merupakan misteri yang tak pernah diduga. Para mahasiswa Prodi Matematika menggarap gagasannya serupa teka-teki hidup, misteri, dan detail visual artistik yang mumpuni.
Bagaimana hubungan teater dengan bahasa Inggris? Dalam pertunjukan tersebut, terlihat kemampuan mahasiswa membuat naskah-naskah sendiri berbahasa Inggris yang aktual dan menarik. Menikmati salah satu lakon berjudul Relativity dari Survivor Theater, akan membawa penonton pada persoalan keseharian, yaitu masalah-masalah hidup manusia (problems of human being).
Konsep gagasan dan artistik pertunjukan, memperlihatkan nilai kebaruan dengan peristiwa di panggung yang dibagi menjadi dua peristiwa. Pertama, peristiwa di dalam kotak, sebagai ungkapan pikiran dan suara hati dari keempat tokoh yang berada di masing-masing kotak, yang menjadi cermin menyuarakan keluhan mereka.
Kedua, pertistiwa di luar kotak, di mana terdapat aktor lain yang memainkan realitas permasalahan hidup. Penonton bisa melihat mana dunia yang nyata dengan dunia dalam pikiran mereka. Dalam pertunjukan ini, diperlukan penanganan akting tersendiri terhadap tokoh-tokoh yang mewakili dunia pemikiran dan perasaan. Penyutradaran kuat yang bisa mendistingsikan dua dunia itu dalam pertunjukan ini.
Pertunjukan Relativity dengan naskah asli karya Liyan L Lestari dan sutradara Fiqri Muharam ini dibawakan dalam teks bahasa Inggris. Naskah ini berpretensi surealis. Berkisah tentang empat manusia yang berada di dalam empat kotak dengan persoalan hidup yang berbeda satu sama lain.
Persoalan itu di antaranya menyangkut kegagalan dalam pendidikan, cinta dan pernikahan, pekerjaan, dan keluarga. Keempat tokoh ini saling mengisahkan permasalahannya satu persatu dan tokoh lain mencoba memberikan solusi dan saling menguatkan. Menariknya, mahasiswa dari jurusan Bahasa Inggris ini berakting dengan wajar dan natural. Pertunjukan yang mereka suguhkan berangkat dari gagasan sederhana yang nyaman untuk dinikmati.
Pesan dari pertunjukan ini menyiratkan, jika di balik badai masalah, Tuhan akan mengirimkan orang-orang yang akan membantu. Kehidupan di dunia ini merupakan sebuah relativitas, di mana masalah dan kebahagiaan saling berganti. Tuhan akan membantu umatnya lewat manusia lain untuk memecahkan masalah hidup yang dihadapi.
Dalam pertunjukan itu, kebanyakan bergaya realis dengan gagasan yang segar dan menstransformasikan ilmu dari masing-masing jurusan, sekaligus menggali persoalan, baik sifatnya pribadi maupun terkait persoalan lingkungan.
Dalam pertunjukannya, para calon guru juga mengkritik polemik di dunia pendidikan seperti dalam karya Teachers Redefinition dari The Ant Theater, Lit dari Teater Borax, Dukun Jenius dari Kidzlove Theater, dan Kisah Kusut di Sekolah dari Teater Badai yang mencoba menafsirkan kembali perihal dedikasi guru sebagai pekerjaan mulia hingga mengkritik sistem pendidikan yang korup.
Persoalan domestik dalam keluarga juga menjadi tema favorit dalam Fesdrak kali ini. Keluarga sebagai institusi sosial terkecil ternyata menyimpan sekelumit persoalan. Melalui naskah asli dan saduran, tema seputar persoalan domestik itu diangkat dalam pertunjukan The Stranger (B-One Theater, Shadows (Lantern Theater), The Black Rainbow (Coin Theater), Bunga Semerah Darah (Ranting Teater), Kisah Cinta dan Lain-Lain (Mega Teater), Barabah (Teater Benteng), Failure (Teater Metamorfosa), Ayahku Pulang (Teater Titik), dan Sebelum Dewa-Dewi Tidur (Teater Borax).
Sementara tema yang mengangkat budaya dipertunjukan lakon Dukun-Dukunan (Teater Teduh), kisah folklore dalam naskah Cindelaras (Tsunami Teater), dan Kabayan di Negeri Romeo (Teater Gemma), posisi perempuan dalam kajian budaya dalam Sinden (Teater Lapan) hingga persoalan shock culture pada pertunjukan Anak Rantau (Teater Hijau).
Sedangkan pada persoalan politik direfleksikan dalam pertunjukan Gubernur Nyentrik (Teater Bamboe) dan persoalan strategi perempuan dalam meredam perang, naskah Lisystrata karya Aristhopanes yang dibawakan Teater Jemari.
Sementara terkait penilaian, tiga juri antara lain Malhamang Zamzam (Sutradara Bandar Teater Jakarta), Bachtiar Magor (Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Tangerang), dan Ratu Selvi Agnesia (pengamat teater), sepakat memberikan penilaian dengan memperhatikan sisi edukasi, kreativitas, dan keilmuan.
Penilaian juga menyangkut gagasan, konsep, kebaruan, menarik, pesan pertunjukan yang utuh, logika teks, peristiwa, permainan, penghayatan, dan ekspresi para aktor. Dinilai pula aspek penyutradaraan, gagasan artistik, musik, kerapihan dan kerjasama yang baik di atas panggung.
Para pemenang lalu diumumkan pada malam penganugerahakn, Sabtu, 4 Juni. Ketiga juri sepakat, Survivor Theater dengan pertunjukan Relativity sebagai Grup Terbaik I yang meraih kategori Sutradara Terbaik dan Penata Artistik terbaik. Teater XY, dengan pertunjukan Jam Dinding Yang Berdetak sebagai Grup Terbaik II dan Kagak Teater dengan lakon Syndicate chapter one Confuse sebagai Grup Terbaik III yang juga meraih penata musik, pemeran pembantu pria terbaik, dan manajemen grup terbaik.
Sedangkan Juara Harapan I, diraih Teater Lapan dengan lakon Sinden dan Juara Harapan II oleh B-One Theater dengan lakon The Stranger. Pemeran Utama Pria Terbaik diraih Yusuf NR dalam Bunga Semerah Darah karya WS Rendra, Teater Ranting. Pemeran Utama Wanita Terbaik diraih Siti Nurhabibah dalam lakon Sinden karya Heru K Murti dari Teater Lapan. Dan, untuk poster terbaik diraih Teater Benteng dalam poster Barabah.
Menurut E Sumadiningrat, ketua pelaksana, Fesdrak bukan sekedar ajang pementasan maupun kompetisi teater dalam ujian akhir semester. "Tetapi juga menjadi cipta karya seni dan olah kreatif,” katanya.
Sebuah pertunjukan teater memang dapat memberi efek bagi pelakunya. Di balik proses kreativitas teater, pementasan teater membuat kelas dan satu angkatan menjadi lebih kompak. Masalah yang dihadapi seputar pembagian waktu latihan, dan sering pulang malam.
Ditemukan pula tambal sulam naskah, pemain, hingga sutradara. Uniknya, dalam hal manajemen dan pengelolaan dana, ada grup yang menerapkan denda bagi pemain yang tidak latihan. Denda itu digunakan untuk menambah biaya produksi. Ada juga yang menerapkan cara menjual tiket dengan harga lebih mahal kepada orang tua dan kawan-kawan terdekat serta mencari sponsor.
Saat pertunjukan, beberapa grup teater terlihat ada yang membawa murid-muridnya untuk menonton. Panitia juga menyelenggarakan doorprize dan mengkampanyekan acara lewat media sosial.
Sementara kelemahan Fesdrak kali ini adalah kualitas pertunjukan terkait adaptasi naskah Indonesia dan naskah asing. Beberapa pertunjukan yang terlihat gagap diperankan di atas panggung, berasal dari naskah-naskah luar, bukan naskah buatan peserta.
Padahal, setiap prodi mendapatkan pengajaran teater meliputi materi ajar berupa konsep drama, bentuk-bentuk pentas, pengetahuan dasar pemeranan, pengetahuan dasar penyutradaraan, pengetahuan unsur artistika dan nonartistika dalam pementasan drama, keterampilan menganalisis naskah drama, keterampilan menilai pementasan drama, dan keterampilan mementaskan naskah drama.
Persoalan dalam mengeksekusi naskah itu karena model pengajaran dosen, kurang menstimulus kemampuan kreativitas mahasiswa. Mahasiswa juga kurang mendalami riset dan pemahaman naskah, kurang melatih kekompakan sehingga proses kreatif tidak berkembang.
Sementara naskah buatan sendiri, menunjukan hasil pertunjukan yang baik. Aktingnya pun natural. Namun, masih menampilkan konflik ala sinetron dan selalu diakhiri dengan kekerasan maupun kematian.
Muncul pertanyaan, apakah problem kekerasan yang sering menguap di media seperti kasus pembunuhan Eno di pertengahan Mei lalu yang disebut mahasiswa sebagai “musim pacul” menjadi perbincangan hangat di Tangerang dan merasuk ke alam bawah sadar mahasiswa UMT?
Fesdrak menjadi festival teater sesungguhnya, yang tidak hanya menjadi momen perayaan segala unsur dan gaya teater dalam lintas keilmuan. Namun juga turut merayakan kehidupan keseharian di atas panggung.
Namun, akan makin mengasyikkan bila teater mahasiswa lebih kreatif dan berani berdialektika dengan ilmu dan realitas kehidupan. Kegiatan itu perlu lebih dikembangkan. Namun, agar memberikan kontribusi yang lebih optimal, FKIP UMT sebagai penyelenggara, perlu melakukan evaluasi, dengan harapan Fesdrak, menjadi media pendidikan yang efektif dalam mencetak guru yang mumpuni dalam menerapkan metode pembelajaran kepada siswa, sekaligus melahirkan seniman yang piawai berteater.
Ratu Selvi Agnesia