Esensi Dramaturgi dalam Seni Pertunjukan

| dilihat 4949

AKARPADINEWS.COM | ISTILAH dan praktik dramaturgi selalu ramai diperbincangkan dalam seni pertunjukan dunia. Sementara dalam seni pertunjukan Indonesia, para seniman nampaknya masih asing dalam memahami, memperbincangkan, apalagi mempraktikan dramaturgi sebagai sebuah struktur aksi dalam karyanya.

Bahkan, istilah dramaturgi oleh sebagian orang yang bertugas dalam penguatan dramaturgi (dramatug), lebih asing daripada seorang sutradara, koreografer, aktor, dan penari.  Lantaran pentingnya menelusuri dramaturgi sebagai suatu nalar penciptaan (dramartugical thinking), rumusan, dan sistem penciptaan drama, Art Summit Indonesia (2016-207) yang telah memasuki usia ke-8, menyelenggarakan “Workshop Teater Dramaturgi dan Dramaturgi Baru”.

Penyelenggaraan dilaksanakan dalam dua sesi yang melibatkan 15 peserta aktif dan 10 peserta pasif yang terpilih dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Papua, Flores, Padang, Makasar, Yogyakarta, Solo, Malang, Madura, dan berbagai daerah lainnya.

Menurut Yudi Ahmad Tajudin, kurator Art Summit, kerangka kuratorial Art Summit edisi kedelapan ini adalah “Reposisi: Membaca Kembali Peta dan Perubahan Dunia Seni Pertunjukan Kontemporer”.

Program Art Summit Indonesia (ASI) kedelapan ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pada tahun 2016, festival workshop dan ceramah publik seni pertunjukan internasional, dimulai dari Agustus- November di delapan kota di Indonesia.

Kedua, di tahun 2017, fokus pada festival pementasan karya seni pertunjukan kontemporer internasional. Makna reposisi itu digodok oleh tim kurator dan organizing committee (OC) lewat diskusi yang panjang.

Dengan kata lain, memposisikan kembali art summit, yang perlu dilakukan adalah membaca kembali peta atau lanskap seni pertunjukan di dunia semampu yang dapat dilakukan dan membaca seni pertunjukan Indonesia.

“Dalam workshop dramaturgi ini, art summit bekerja dengan Komite Teater DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan semoga bisa diwujudkan, kita bisa bikin buku, agar apa yang ditawarkan dari forum ini bisa didokumentasikan,” jelas Yudi. 

Workshop berjuluk “Lokakarya Dramaturgi: Sejarah dan Praktik” menjadi workshop pembuka yang telah diselenggarakan pada 1-3 Agustus 2016 pukul 10.00-17.00 WIB, di Kinosaurus, Kemang, Jakarta Selatan dengan fasilitator Ugoran Prasad, mahasiswa doktor kajian teater, Graduate Center-City, University of New York.

Selanjutnya, pada sesi kedua, “Workshop Dramaturgi Baru dan Hal-Hal yang Melatarinya” akan berlangsung pada 18-22 Oktober 2016 di Dia Lo Gue, Kemang, Jakarta Selatan, bersama fasilitator Prof Peter Eckersall dari Asian Theatre Graduate Center-City University of New York. 

Sebagai pengantar, Ugo memberikan definisi dramaturgi melalui beberapa pencarian referensi di google dan buku. Hasilnya, pelacakan dramaturgi dimulai pada Aristotelian drama, yang lahir 100 tahun silam sesudah Soppochles, Aristophanes, dan lainnya.

Sesudahnya, dramatrugi lebih berbasis pada praktik dalam arti, teori membangun tindakan dan aksi secara keseluruhan, bagaimana struktur aksi dalam memulai dan mengakhirinya dalam sebuah pertunjukan. “Aksi dan tindakan ini yang membuat ada drama di dalamnya karena kita melihat rangkaian aksi dan reaksi di dalam teater atau tari,” ujarnya.

Di sinilah, para penonton kemungkinan bisa tersentuh, terpengaruh, mencekam, sedih bergembira, sebagai efek atau respon dari aksi dan drama dalam seni pertunjukan. Dramaturgi selalu berhubungan antara yang dibangun, yang menyampaikan, dan yang menonton.

Dramaturgi juga membicarakan struktur aksi atau tindakan dalam ruang pertunjukan. “Kita harus mengatakan bahwa semua pertunjukan lepas dari baik buruknya, maju mundurnya, progresif konvensionalnya, semuanya sudah ada dramaturginya.” 

Pemahaman antara dramaturgi dan dramaturg juga dijelaskan. Dramaturg adalah orang yang bertugas bekerja dalam bidang penguatan dramaturgi dalam suatu proses. Ugo merujuk pada salah satu referensi dari buku Hamburg Dramaturgy yang ditulis Gotthold Ephraim Lessing, antara tahun 1767 dan 1769.

Menurutnya, Lessing adalah orang pertama yang menggunakan dramaturgi sebagai konsen besar dalam teater untuk menyampaikan sesuatu ke publik. “Dia pedagogig sekali. Misalnya, pada jenis-jenis teater yang memiliki fungsi edukasi, mengabarkan, mengundang diskusi, politik atau sosial tertentu," katanya. Lessing juga memiliki concern yang besar dan mengharapkan ada satu fungsi dari dramaturg dalam menemani presentasi karya dan memastikan bahwa elemen-elemen ini terwujud.

“Memang teater banget, ada naskah lalu bagaimana mewujudkan naskah ini sebagus mungkin, fungsi sutradara belum terwujud waktu Lessing ngomong ini, Goethe (teatrawan besar asal Jerman) belum menyutradari pada waktu Lessing ngomong ini.”

Menurutnya, sang sutradara baru muncul di akhir abad 16 yang di institusionalisasi. Jadi, yang dibayangkan pada saat itu di Inggris adanya literary manager sebagai orang-orang yang bekerja menemani proses dan biasanya kemudian bekerja mewakili gedung teater, menemani orang, dan informasinya tersampaikan dengan baik ke publik.

“Jadi ada sejarah yang bergesek-gesekan, antara oke ada fungsi dramaturgi, fungsi penyutradaraan, nantinya 100 tahun kemudian, dipikirkan konsep, ide, jadi dramaturgi di mana? Di dalam fungsi sutradara ada ide, konsep, dia juga sesungguhnya penentu dramaturgi pertunjukannya.” 

Selanjutnya, mengapa dramaturgi menjadi penting dan kembali muncul di era belakangan ini? Karena, input-input konseptual tambah lebih lebar pada 30-40 tahun belakangan ini. “Kesenian jadi tambah ngawur, tambah seenaknya, pertunjukan panggung lumer ke luar gedung, pentas bukan jadi aksi, pentas jadi objek, di apartemen seseorang, ruang sudah berantakan pecahnya, waktu pertunjukan juga ajaib. Kemudian, ada pemetaan konsep yang luas banget, ada hal-hal lain yang lebih penting,” ucapnya.

Di sisi lain, dramaturgi membuat para seniman pertunjukan dapat melihat hal yang pragmatis, terkait urusan manajemen. Dalam wacana seni pertunjukan, apa yang sedang menjadi trend, apa yang bukan, kenapa satu isu jadi menjadi trend, adalah pasar wacana, namun memicu efek pada festival dan pertukaran seni. Di sinilah pentingnya mempelajari dramaturgi.

Selanjutnya, ada Marianne Van Kerkhoven (1946-2013) dramaturg asal Jerman. Maria adalah tokoh yang menginstitusionalisasi istilah new dramaturgy pada abad ke-19 yang kemudian memberikan input besar bagi relevansi, konteks politik dan sosial, bahkan inovasi-inovasi baru pada seni itu sendiri. Bagaimana mendorongnya lebih jauh dan itu terjadi karena bayangan tentang konsep tunggal, tidak lagi satuan besar, tetapi unit yang mikroskopik. Selain itu, new dramaturgi memiliki tiga karakter penting di antaranya: post mimetic, intercultural, dan sadar proses, atau bekerja berbasis pada proses.

Penciptaan Dramaturgi dari Dalam dan Luar

Dalam lokakarya di sesi pertama ini, sebagai fasilitator, Ugo meminta 10 peserta selama tiga hari untuk menggali dan membagi pengalaman individual masing-masing sutradara, koreografer, penata musik dan penulis dalam mengkonstruksi karyanya masing-masing.

Penjelasan masing-masing peserta kemudian menjadi bahan percakapan dalam bentuk lokakarya, tidak hanya fokus pada lecture, menggiring peserta agar menjelaskan cara bekerja, berbuat, dan membangun karya. “Strateginya dimulai dengan melacak struktur kerja masing-masing, dengan harapan dapat membentang juga referensinya.

Jadi, seperti mengenal dramaturgi, upayanya berangkat dari kekuatan dan kekurangan dramaturgi masing-masing. Titik puas dan tidak puas dari dramaturgi yang kita capai,” ujarnya menjelaskan sistem pelaksanaan workshop. "Apapun yang dilakukan dalam kecenderungan disiplin masing-masing, saya kira kebutuhannya adalah memperkuat apa yang kita punya.”

Bambang Prihadi dari Lab Teater Ciputat menjelaskan, proses pertunjukannya berjuluk “Kubangan” (2007-2008) yang dipentaskan di Bentara Budaya Jakarta. Pementasannya di sebuah panggung catwalk yang membelah ruangan dan menyoal dunia urban serta tubuh sehari-hari yang telah kehilangan otentisitasnya. 

Karya ini dibuat pascareformasi dalam waktu yang panjang. Bambang menggunakan teater sebagai proses pemadatan, baik dalam tubuh, proses, dan ruang. Sebagai sutradara, dia mengeksplorasi gerak para aktor, dari mulai tubuh getar, seperti kedinginan, hingga tubuh yang berperilaku seperti hewan. Pada proses kreativitasnya, Bambang berusaha menerapkan prinsip yang equal.   

Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu Lampung yang dikenal menyuguhkan karya-karya modern drama, dalam proses kreativitasnya, mulai tertarik dengan teater sejak melihat acara Bina Drama di TVRI di bawah asuhan Tati Malyati pada ahun 1980-an. Pada 1986, dia mendapatkan buku Stanilavsky berjudul An Actor Prepare yang kemudian menjadi rujukannya.

Periode 1989-1994, Iswadi berkeliling Jakarta-Bandung. Lalu, di tahun 1996, dia mendirikan Teater Satu bersama Imas Sobariah, sang istri yang menjadi dramaturgnya. Stanilavsky memang menjadi salah satu acuannya dalam berproses. Metode Stanilavsky terdiri dari mind center, physical center dan emotion center. Pada tahun 2000-2003, karya-karyanya juga kental dengan teks puisi dan gerak seperti pada karya Nostalgia sebuah Kota dan Aruk Gugat.

Pada tahun 2008-2013, Iswadi sering mementaskan karya adaptasi yang dikorelasikan dengan budaya setempat seperti Rumah yang Dikuburkan, karya Sam Shepard dengan budaya Lampung.

Dalam proses kreatif karya-karyanya, Stanilavsky hanya menjadi titik berangkat dalam proses berkarya. Ada pula studi yang dilakukan dengan eksperimen lain. Namun, yang terpenting, dalam setiap proses, baik Iswadi maupun para aktor, harus memiliki catatan proses latihan dalam memerankan tokoh yang dimainkan.

Sementara Otniel Tasman, penari kelahiran Banyumas, mencoba membedah struktur karyanya dengan pijakan sosial, menyoal keberadaan penari Lengger, di mana penari laki-laki berdandan dan menari seperti perempuan. Mereka mengalami marginalisasi, dengan mengais recehan di jalanan.

Pertunjukan tarian Lengger ini terus bertransformasi menjadi tiga: Lengger Barangan, Lengger Lanang, dan Lengger Laut. Karya Otniel, dapat disebut struktur dramaturgi gender. Dan, apa yang ada di pusat dan pinggir, bisa menjadi percakapan sosial pada karyanya.

Struktur dramaturgi kota terlihat pada karya Shinta Febrianty, sutradara Kala Teater. Dimulai dengan menjaring 200 responden dengan persoalan Makasar, Shinta mewujudkan pertunjukan City In Theater Project dengan tiga repertoar: Jalan Raya Petaka, Sampah dan Kegaduhan Kata-kata, dan Ancaman di Musim Hujan.

Dipentaskan 27-28 Desember 2015 di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, tiga repertoar ini diwujudkan dalam bentuk teater tubuh sebagai media utama. Gerak repetitif, seperti jatuh bangun para aktor atau memasukan unsur lokal, Tari Pakarena, sebagai impuls gerak aksi warga kota yang bergerak dalam kecepatan. Pertunjukan ini melibatkan enam aktor dan membuka ruang pertunjukan yang terbuka bagi penonton. Pertunjukan ini bertujuan untuk melihat andil warga untuk teater.   

Tujuh peserta lainnya juga menjelaskan struktur dramaturgi dan proses penciptaan karya dalam karya-karya masing-masing, baik dalam teater, tari, dan musik. Bagaimana mereka bekerja dari nol hingga sampai pertujukan, apa yang dilakukan dalam proses masing-masing dalam pencarian konsep, ide hingga relevansi hingga situasi sosial.

Forum ini menunjukan, dalam seni pertunjukan, tidak hanya menampilkan estetika tunggal. Tetapi, para peserta dapat menemukan arsiran dan peluang untuk saling membandingkan dan mempelajari struktur dramaturgi satu sama lain serta saling memperkuat referensi.

Di hari terakhir workshop, Ugo menjelaskan beberapa tokoh teater dunia yang cukup dikenal oleh para seniman teater di Indonesia. Dia juga menjelaskan beberapa metode dan struktur dramaturgi dari Bertolt Brecht, Antonin Arthaud, Jerzy Grotowksi, Eugene Barba, Augusto Boal, Peter Brook, Robert Wilson, dan Richard Sechner.

Dia juga menunjukan beberapa video dari grup dan company teater yang memiliki struktur dramaturgi yang berbeda seperti The Royal Opera House dengan pertunjukan Rise and Fall Of the City of Mahagony sebagai dramaturgi konteks sosial yang berbicara tentang krisis ekonomi global di abad 21. Kelompok The Gob Squad, dengan pertunjukan Western Society tentang banalitas pecahnya keluarga-keluarga di Jerman.

Mariano Pensotti dari Argentina dengan pertunjukan The Past Is A Grotesque Animal (El Pasado es un Animal Grotesco) tentang kisah sebuah keluarga dengan berbagai problem domestiknya. Pertunjukan ini menghubungkan film dengan teater dengan suara narator di panggung yang dibagi empat dan berputar. 

Beberapa problem di Amerika dalam konteks sosial budaya hampir mirip seperti yang terjadi di negeri ini dan berbagai video lainnya juga ditampilkan.  Seluruh percakapan dramaturgi juga dibahas, baik yang klasik maupun new dramaturgi yang mengutak-atik struktur.

Dramaturgi memang membicarakan pedagogi (pendidikan) dan juga membicarakan struktur. Namun, di abad 20, ketika para sutradara semakin aneh dalam berkarya, melakukan eksperimen yang tidak jelas, semakin tidak patuh pada struktur, dan para sutradara lebih mengarang sendiri, maka peran dramaturgi menjadi sangat esensial dalam seni pertunjukan dunia. 

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 100
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 517
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 445
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya