Dylan, Musisi yang Meraih Nobel Sastra 2016

| dilihat 1897

AKARPADINEWS.COM | PENGHARGAAN Nobel Sastra tahun 2016 diberikan kepada penyanyi asal Amerika Serikat (AS), Bob Dylan. Penyanyi yang dikenal dengan lagu Blowin' in the Wind (1962) itu mendapat penghargaan bergengsi di ranah sastra karena dianggap sebagai pencipta ekspresi puitik baru dalam karya lagu.

Sara Danius, Swedish Academy's Permanent Secretary mengatakan, meski berprofesi sebagai penyanyi, Dylan tergolong penyair hebat setelah melihat karya-karya lagunya. Karenanya, menurut Danius, untuk memahami alasan Dylan memenangi penghargaan Nobel Sastra, maka harus mendengarkan lagu-lagunya, khususnya pada album Blonde on Blonde (1966).

“Pada album tersebut terdapat berbagai contoh. Dia (Dylan) memainkan rima-rima (lirik) dengan cara yang brilian. Dia seorang penyair yang bagus,” ungkap Danius. Profesor bidang estetika di Universitas Sodertorn, Swedia itu menyamakan karya-karya Dylan seperti karya penyair pada zaman Yunani Kuna, Homer dan Sappho. “Bila melihat ke masa lalu, 2.500 tahun yang lampau, kamu akan menemukan Homer dan Sappho. Keduanya membuat puisi yang memang untuk didengarkan dan dipertunjukkan, terkadang dengan menggunakan instrumen musik. Sama halnya dengan yang dilakukan Dylan,” ujarnya.

Terpilihnya Dylan menjadi peraih nobel sastra tahun ini sungguh di luar dugaan. Sebab, sepanjang karirnya, pelantun lagu Knockin' on Heaven's Door tersebut tidak pernah dikenal dalam dunia sastra.

Pria bernama lengkap Robert Allen Zimmerman lebih dikenal sebagai salah seorang penyanyi dan pencipta lagu. Terlahir pada tanggal 24 Mei 1941 di Duluth, Minnesota, Dylan tumbuh kembang dalam keluarga Yahudi kelas menengah.

Dalam membangun karirnya bermusik, Dylan mendapat pengaruh musik folk Amerika dan blues. Dia termotivasi untuk mengejar karirnya itu karena mengidolakan Woody Guthrie, salah seorang penyanyi folk terkenal kala itu.

Untuk mengejar karir bermusiknya, di tahun 1961, pria yang kini berusia 75 tahun itu pindah ke kota New York. Di kota itu, Dylan tampil reguler di kafe Greenwich Village dan berbagai klub lainnya. Setahun berkarir sebagai penyanyi klub dan kafe, Dylan bertemu dengan John Hammond, seorang produser rekaman.

Pertemuan itu menjadi titik awal lompatan karirnya. Pada tahun 1962, Dylan menandatangani kontrak kerja sama dengan Hammond dan menelurkan album perdananya yang diberi namanya, yakni Bob Dylan.

Setelah itu, Dylan mulai dikenal luas. Apalagi, setelah dirinya menelurkan album keduanya bertajuk The Freewheelin' Bob Dylan tahun 1963. Karirnya terus meningkat dan Dylan menjadi penyanyi yang produktif. Tiap tahunnya, dia menelurkan album-album baru, seperti The Times They Are a-Changin' (1964), Another Side of Bob Dylan (1964), Bringing It All Back Home (1965), Highway 61 Revisited (1965), dan Blonde on Blonde (1966)

Di sela waktu tahun 1965 dan 1966, Dylan melakukan tur yang mampu menarik banyak perhatian, termasuk D.A. Pennebaker, seorang sineas dokumenter Amerika. Ketartarikan itu membuat Pennebaker membuat film dokumenter berdasarkan perjalanan tur Dylan. Film dokumenter itu berjudul Don't Look Back (1967).

Dunia terus mengenal karya-karya Dylan dan dia terus berkarya menghasilkan berbagam macam karya terbaiknya. Dia menelurkan Blood On The Tracks tahun 1975, Oh Mercy tahun 1989, Time Out Of Mind tahun 1997 dan Modern Times tahun 2006.

Dia juga telah merengkuh berbagai penghargaan atas karya-karyanya. Dylan meraih sebelas Grammy Award, sebuah Academy Award, dan sebuah Golden Globe Award. Tak hanya itu, Dylan juga masuk ke dalam daftar legenda musik, seperti Rock and Roll Hall of Fame, Nashville Songwriters Hall of Fame, dan Songwriters Hall of Fame.

Dylan juga meraih penghargaan Polar Music Prize dari Raja Swedia Carl XVI tahun 2000. Lalu, di tahun 2012, Dylan mendapat penghargaan Presidential Medal of Freedom dari Pemerintah AS yang diberikan langsung oleh Presiden Barrack Obama. Pernghargaan tersebut adalah penghargaan tertinggi dari Pemerintahan AS kepada masyarakat yang membawa pengaruh besar kepada kehidupan masyarakat AS umumnya.

Pada November 2013, Dylan menerima penghargaan Légion d'Honneur dari Pemerintah Perancis. Tahun 2015, tepatnya bulan Febuari, Dylan kembali mendapat penghargaan MusiCares Person of the Year dari National Academy of Recording Arts and Sciences.

Seluruh penghargaan itu diberikan kepada Dylan tak hanya kreatifitas dan produktifitasnya dalam memproduksi karya-karya musiknya melainkan juga pesan-pesan yang ada di dalam tiap karyanya itu. Melalui karya-karyanya, Dylan kerap memasukkan pesan-pesan kemanusiaan, kritik sosial, pandangannya atas agama dan politik, dan tentunya mengenai cinta universal.

Selain bakat musik, Dylan memiliki bakat melukis, menulis, dan berakting yang cukup baik. Dia pernah menerbitkan buku puisi prosanya tahun 1971 yang berjudul Tarantula. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Perancis, Spanyol, Portugis, Kroasia, dan Ceko.

Tahun 2004, Dylan menulis sendiri bagian pertama dari trilogi buku autobiografinya yang bertajuk Chronicles, Volume One. Selain dua karya itu, dia masih membuat berbagai macam buku, baik itu bentuk tulisan maupun kumpulan lukisan dan sketsanya.

Berbagai karya itu menjadi pertimbangan Swedish Academy untuk memberikannya penghargaan nobel sastra tahun 2016. Meski begitu, pemberian penghargaan nobel sastra ini dirasa sebagian orang sebagai pemberian penghargaan yang kontroversi. Salah satu orang yang pesimis atas pemberian penghargaan nobel sastra kepada Dylan itu ialah Alex Shephard, penulis dan editor senior dari media The New Republic.

Menurutnya, Dylan belum cukup kualitas untuk dikatakan sebagai seorang sastrawan, apalagi memenangi nobel sastra. Baginya, masih banyak sastrawan yang lebih layak mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut. Selain itu, Shephard berpendapat, sepanjang karirnya, Dylan adalah seorang musisi dan jauh dari dunia kesusastraan.

“Aku telah mendengar lagu Workingman’s Blues dari album Modern Times (2006). Lagu itu, secara objektif, memiliki lirik yang amat buruk,” pungkasnya. Kritik yang sama disampaikan kolega Shepard di The New Republic, Ryu Spaeth. Spaeth, yang merupakan redaktur senior di media tersebut menilai, Dylan adalah musisi bukan penulis.

Kemenangan Dylan atas nobel sastra, menurut Spaeth, merupakan penghinaan atas tradisi kesusastraan Amerika. Karena, hal tersebut akan memberikan kesempatan pada penyanyi lain yang tak sepadan karyanya dengan karya sastra bisa memenangi penghargaan itu.

“Ini (pemberian penghargaan nobel sastra kepada Dylan) akan membuat Kanye, Beyonce, bahkan David Bowie bisa menerima penghargaan semacam itu. Saya yakin, bila Bowie masih hidup, dia yang akan mengalahkan Dylan (sebagai penerima nobel sastra). RIP (dunia) kesusastraan,” ungkap Spaeth.

Di balik kontroversinya, nobel sastra sudah diberikan pada Dylan pada Kamis (13/10). Sudah barang tentu, pemberian penghargaan ini telah dipertimbangkan masak-masak dengan melihat berbagai macam karya dari penerima penghargaan tersebut. Keberhasilan Dylan ini telah menjadi upaya perspektif baru dalam menilai suatu karya sastra. | Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : The New York Times/New Republic/CNN/Nobel Prize/Hollywood Reporter
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1502
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1321
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 274
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 137
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya