Disharmoni Domestik dalam Absurditas Kebenaran

| dilihat 2809

AKARPADINEWS.COM | NARASI teater Indonesia saat ini seringkali mengambil tema-tema besar dengan bentuk teater yang eksperimental atau mengusung gagasan avant-garde. Fathul A Husein, sutradara Neo Teater merasa prihatin, “Jangan-jangan tidak ada lagi yang menjaga basic teater” ungkapnya.

Karenanya, Fathul yang berangkat dari tradisi akademik teater di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dan pengajar Filsafat Universitas Parahyangan (Unpar) itu mencoba kembali menawarkan bentuk pemanggungan yang lebih sederhana dan realis dengan menawarkan keunggulan aktor di atas panggung.

Fathul mengamati hal-hal kecil yang aktual dalam problematika kehidupan keseharian, khususnya dalam ranah domestik atau keluarga. Di televisi, seringkali ia melihat berita tentang kekerasan hingga pembunuhan di keluarga yang sekedar lewat, tanpa penonton tahu kebenaran di balik peristiwa tersebut.

Begitupun ketika ia pulang kampung di daerah Pantura, kisah tetangga yang meninggal dunia, turut menarik perhatiannya. Fathul merangkum fenomena tersebut dan mengungkapkan bahwa terjadi “disharmoni psikologis” dalam keluarga. Kegelisahan awal ini menjadi inspirasi untuk mengangkat pertunjukan Tritik Segaris Putih yang disadur dari naskah Facing Death karya dramawan Swedia, August Strindberg.

Pertunjukan Tritik Segaris Putih dipentaskan pada 3-4 Februari 2016 di Bentara Budaya Jakarta, setelah sebelumnya dipentaskan pada 21 Desember 2015 di ruang Studio ISBI Bandung. Penjelajahan kreativitas dalam pertunjukan ini menjadi menarik, karena terdapat pembocoran pengalaman sutradara hingga pembocoran sang pengarang kehidupan August Strindberg (1849-1912).

Semasa hidupnya, sang eksistensialis ini tak mempercayai institusi perkawinan yang sarat dengan kebohongan dan relasi kekuasaan. Ditambah lagi kehidupan Strindberg kecil yang tersiksa karena kemiskinan, kematian sang ibu, krisis eksistensi, dan keterasingan.

Perjalanan hidup yang bertolak atas nilai-nilai yang anti mainstream, turut menjadi daya inspirasi dalam setiap naskah-naskah drama Strindberg dengan bentuk naturalis dan ekspresionis. Serupa salah satu ungkapannya, “Dalam suatu dunia yang sukar dipahami, hanya diri yang memiliki kebenaran sejati.”

Tritik Segaris Putih mengisahkan kehidupan sebuah keluarga yang masing-masing memiliki disharmoni psikologis. Panggung dalam petunjukan ini menjelaskan peristiwa satu hari, namun menjelaskan rangkaian peristiwa masa lalu beserta rahasia dan intrik keluarga yang akan mengubah cara pandang penonton tentang makna dari sebuah keluarga?

Semenjak lampu menyorot panggung, kemuraman, dan krisis keharmonisan, sudah menggiring penonton memasuki dunia yang abu-abu. Di sebuah rumah pesanggarahan, Kartawijaya yang diperankan Eka Gandara WK mengalami kerusakan psikis, karena selalu dihantui kehilangan sang istri dan anak laki-laki satu-satunya yang fotonya terpajang di meja misa.

Sebagai seorang ayah yang telah pensiun dari militer, Kartawijaya tinggal bersama ketiga puterinya Anastasia, Tiara, dan Anita yang sudah menjelang memasuki masa perawan tua.

Sikap dingin, antipati, aneh, dan tuntutan demi tuntutan, terlihat dari perlakukan ketiga puterinya, terutama si bungsu Tiara (Zulfa Laila). Sikap ini disebabkan carut marut ekonomi, hutang hingga sepotong roti dan segelas susu pun menjadi konflik pemantik yang membesar.

Namun, sebenarnya masing-masing anggota dalam keluarga ini, batin dan pikirannya, selalu memendam masa lalu. Konflik dalam pertunjukan ini memuncak seusai percakapan yang memanas antara ayah dan ketiga puterinya.

Meskipun dalam pertunjukan ini kurang terbangun latar belakang dan motivasi kebencian ketiga puterinya pada Kartawijaya. Memang, seringkali, penyaduran teks asli yang disesuaikan dengan teks Indonesia, terutama bila dalam konteks tradisi nilai dan pandangan moral Indonesia, menuai resiko atas kemurnian esensi kalimat. Karenanya, peristiwa kemarahan Tiara dan sikap bencinya yang berlebihan terhadap sang ayah, terlihat ambigu.

Fathul menjelaskan, sangat sulit bila pertunjukan ini diterjemahkan sesuai naskah aslinya. Karena, dalam naskah kata-katanya begitu kasar dan tidak cocok dengan telinga masyarakat Indonesia. Di sisi lain, turut pula menjadi pertanyaan atas relevansi penggunaan properti patung Bunda Maria, kursi, susu, roti, dan artistik yang masih terlihat merepetisi sesuai konteks naskah asli.

Menjadi sulit memang bila menyadur dan beradaptasi dengan naskah luar yang harus disesuaikan dengan konteks dan realitas di Indonesia. Sebelum akhir pertunjukan dan kematian Kartawijaya, ketiga anaknya mengisahkan kembali peristiwa menjelang kematian sang ibu.

Perilaku Kartawijaya yang membelot kepada musuh (desersi) serta berbagai stigma negatif  sang ibu kepada ketiga puterinya membuat Kartawijaya kecewa. Ia memutuskan untuk mengorbankan diri dengan meminum racun dan membiarkan rumah pesanggarahannya terbakar agar menghasilkan asuransi kematian untuk anak-anaknya.

Peran Kartawijaya yang dimainkan aktor senior dari StudiKlub Teater Bandung (STB), Eka Gandara WK, dimainkan dengan mendalam. Eka adalah aktor yang dikenal bermain di STB sebagai perintis Teater Modern Indonesia ketika masa penyutradaraan Suyatna Anirun (almarhum). Kelebihan aktor yang telah memasuki usia 70 tahun dan telah cukup lama vakum dari dunia teater sejak tahun 1994 karena sakit, ternyata tidak menyurutkan kemampuan keaktorannya, khususnya dalam penguasaan emosi.

Meskipun seringkali terlihat beberapa dialog yang luput, baik Fathul maupun para penonton, mengakui kedalaman emosi adalah kelebihan Eka.

Kedalaman emosi ini menjadi daya pukau penonton, memunculkan empati dan digiring dalam suasana yang sublim. Terutama, ketika mengucapkan perpisahan dengan Tiara dan Anastasia, serta menyampaikan kebenaran tentang sosok istrinya, yang turut menghabiskan hartanya, termasuk perilaku istri yang selalu memberi stigma buruk pada dirinya, padahal hanya kebohongan semata.

Menjelang akhir kehidupan manusia, kebenaran yang selama ini terpendam, baru diungkapkan sehingga yang ditinggalkan, memaknai arti kehilangan dan pengorbanan sesungguhnya. Penonton seolah mempertanyakan, apa arti dari kebenaran? Dan, mengapa harus memiliki keluarga bila akhirnya tidak ada kebahagiaan? Terutama, ketika kebenaran diungkapkan sebelum sosok Kartawijaya memilih cara kematiannya sendiri.

Pertunjukan ini menawarkan refleksi problematika keluarga sebagai institusi terkecil dan pertama bagi manusia. Namun sebenarnya, memiliki peran penting untuk turut membentuk keberlanjutan kehidupan seorang manusia.

Keluarga adalah dunia abu-abu yang dapat menjadi cermin diri seorang individu hingga refleksi narasi besar perilaku masyarakat dalam nilai moral, ekonomi, religiusitas hingga eksistensi sebagai manusia. 

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 822
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1088
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1341
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1481
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 167
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 338
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya