Bang Sém
Ketika puisi tercipta sebagai produk akhir suatu proses kreatif, dia terlahir sebagai sesuatu yang tak lagi milik penyairnya. Begitu puisi itu dipublikasikan di media, apapun medium, platform, dan formatnya, puisi itu terlepas dari penyairnya. Tak perlu masa inkubasi. Tak perlu seorang penyair menjelaskan bagaimana proses kelahiran puisinya. Pun, tak perlu dia 'mencancang' puisinya dengan rantai formalisme.
Buku Puisi Diro Aritonang bertajuk Puitika Hitam tidak saya pahami sebagai black poetry, melainkan dark poems alias kumpulan puisi kelam tentang realitas pertama kehidupan yang bersentuhan dengan penyairnya.
Saya sepemikiran dengan Donald B. Gibson, editor Modern Black Poets: A Collection of Critical Essays (1973), yang mengemukakan, bahwa "tidak ada istilah atau kategori yang secara khusus akan membedakan penulisan penyair hitam dari penyair lain."
Selama ini, puisi hitam selalu mengacu pada puisi-puisi yang ditulis penyair imigran Afro-America di Amerika Serikat, sebagai halnya black music seperti blues, jazz, dan rap yang sangat karya beat dan ragam musikalnya. Terutama karena masuknya anasir-anasir budaya yang dibawa serta dari tanah leluhur para penyair dan musisinya.
Black poetry cenderung merupakan karya literatif yang berangkat dari budaya aliterasi, seperti tercermin dalam karya-karya Jupiter Hammon, Lucy Terry atau Phillis Wheatley di abad 18, meski hadir dalam format dan platform puisi kontemporer.
Puisi-puisi yang terhimpun dalam karya Diro, utuh sebagai karya literatif dalam format kontemporer dan dilahirkan melalui formula yang juga kontemporer. Antara lain, penyair menempatkan dirinya sebagai obyek atas peristiwa dan lingkungan yang menjadi sumber inspirasinya. Meskipun yang diteriakkan oleh Diro, dalam banyak hal menghadirkan tema dan aspirasi yang cenderung mirip. Tetapi, saya lebih merasa, puisi Diro merupakan dark poems.
Soal keadilan, misalnya. Seperti terwakili dalam puisi Satir Hitam - (mencari keadilan) - bersama Harry Rusli, yang antara lain berbunyi seperti ini:
kucari dia, kucari dia
dalam kitab undang-undang negara
dalam buku anggaran belanja
dalam kepres kepala negara
dalam utang-piutang negara
dalam neraca bank-bank negara
dalam hukum acara pidana
dalam hukum acara perdata
dalam berkas-berkas lemari jaksa
dalam garis besar haluan negara
dalam resolusi hak azasi manusia
kucari dia
Yang menarik perhatian saya adalah, puisi ini mengalami masa inkubasi yang sangat lama (1985-1994) sepanjang periode represif Orde Baru, dan saya yakini, sampai hari ini pencarian itu belum selesai. Karena masalah keadilan yang menjadi substansi puisi ini, masih tetap berada di ruang kelam zaman. Bahkan, ketika sains dan teknologi (terutama teknologi informasi) bergerak sangat cepat dan dinamis. Termasuk menggerakkan perubahan dramatik (transformasi) secara sosio politik, ekonomi, dan bahkan budaya.
Bahkan, dalam banyak hal, realitas persoalan yang diserap Diro, masih relevan dengan kondisi kekinian, bahkan lebih parah. Mari simak puisi ini:
mesin teknologi
(pada penyair abad yang berlari)
aku geser gelombang lewat tombol waktu
ketika seorang teman siap bunuh diri
dibawa arus tegangan tinggi bermegawatt
aku lihat kemungkinannya
ah, dalam tabung itu dia terbalik
mengapa dalam kamera obscura
matanya ada kitab sufi dan kitab das kapital
mesin berputar dengan kecepatan suara
berirama panorama sebuah konserta barlioz
dia berlari, tak habis, berlari mengejar
dunia berlari, tak habis, berlari dipacu waktu
deru mesin lenyapkan alunan ayat-ayat Quran
mesin memutar dunia di taman fantasi
orang-orang telah menciptakan tuhannya sendiri
orang-orang telah memuja thogut abad megatrend
orang-orang telah diprogram jam-jam kerja
direduksi menjadi sardencis dan kornet
mulut-mulut berbusa meneriakkan kebebasan
remote control meredam keanarkian
tak ada yang bisa berontak
semua telah diterapi lewat elektroda-elektroda
mengubah getaran beta di otak menjadi alfa
kita berada di persimpangan waktu
dibawa arus tegangan tinggi bermegawatt
dikemas kotak globalisasi abad megatrend
nyawa kita sinyal-sinyal yang mampu mendistribusi
tenaga kita menjadi piston mengalir ke urat nadi
memberi arti pada performa kelembutan
menjadi iman agama melanium
ketika gas diinjak kaki teknologi
kita berubah jadi radium!
Puisi dengan inkubasi waktui relatif pendek (1985-1990), ini dari pendekatan imagineering mengisyaratkan manifestasi intuitive reason Diro pada dekade dominansi ekonomi, itu justru menemukan realitasnya kini, ketika arus perubahan reformasi berubah menjadi deformasi kini.
Diro seolah sedang menemukan ruang ekspresi imajinasinya tentang realitas perubahan, antara transformasi Tiongkok yang konsisten dengan prinsip kontiniti dengan fase-fase historiografi antar dinasti lampau dengan perubahan regeneratifnya, sejak Mao Tse Dong memulai reformasi.
Simak puisi ini :
Great Wall
aku begitu kagum
akan kekuatan
dan kepanjangan
tembok raksasa ini
namun kekuatan
dan kepanjangannya
tak kan mampu
melampaui kekuatan
dan kepanjangan
keyakinanku
pada kekasihku
Beijing, 27/8/94
Dalam puisi ini, Diro berhadapan dengan sesuatu yang empiristik (aku begitu kagum/akan kekuatan/dan kepanjangan/tembok raksasa ini) dengan sesuatu yang non empiristik (namun kekuatan / dan kepanjangannya / tak kan mampu / melampaui kekuatan / dan kepanjangan / keyakinanku / pada kekasihku). Diro, sebagai penyair dalam konteks ini, tidak mau menggunakan perspektif etimologi, yang berasyik maksyuk dengan metafora, melainkan menggunakan epistemologi. Mendialogkan dimensi dria (feel) dengan rasa (sense).
Padahal, di puisi lain yang masa inkubasi ruang dan waktunya tak berjauhan dengan puisi ini, dia memperoleh begitu banyak pengalaman spiritual dan batin. Hal itu tertampak dalam puisi-puisinya: musim gugur di beijing; shalat jum'at di masjid Niu Jie; dan tengah malam di Shenzhen.
Dark poems yang tercermin dalam puisi-puisi yang terhimpun di buku ini, seperti yang tersimpan dalam Perbatasan Jordania-Syria; kehilangan bangsa; aku tak mengerti; negeri antahberantakan; zaman kelabu; berlin & holocaust; kejahatan perang; ini bangsa bangsat; bangsa dajal; sampah kemerdekaan; akan di bawa ke mana bangsa ini; serba palsu; kemerdekaan rasis; zaman hoaks; kita tenang-tenang saja; bangsa yang terbelah; Indonesia adalah kita; dan selusin haiku corona mengalami proses sublimasi lintas masa.
Saya rasakan sublimasi itu pada puisi-puisinya, bertajuk: ketika aku bertambah tua; merapal judul; engkau pun pulang; epigram Datuk Sinaro Panjang; puisi krusial; puisi absurd; cintaku dan kitaro; perempuan; braga, braga, braga; malam kasih; the song sukuh temple; epigram (bambang boedi asmara); aku toha; aku tak mengerti; dan nasihat presiden daripada raja.
Diro beruntung, dia melintasi lintas panjang dark poems dan sublimasinya, dengan memperoleh sejumlah pemantik pencerahan, enlightment. Ketika nalar dan nalurinya berdialog dengan rasa, seperti yang dapat kita rasakan pada puisi-puisi: Qiryat Arba; Baitul Muqaddas; subuh di Amman; doa di Raudoh; dan Baitul Haram. Meski dia masih menyisakan puitika kelamnya yang perlahan di hantar cahaya fajar, Kan Zaman :
di ketinggian puncak kota Amman
dingin makin menusuk ke tulang-tulang
di kelilingi jazirah yang makin kemerlap
alunan klasik nazem el-ghazaly menggetarkan hati
di Kan Zaman
telah tersedia
shish-kabab
mansaf
musakhan
anggur
nasi berlemak
cenderamata
kaligrafi
musik arabia
Walid Tawfik mendendangkan Ya Menawar
orang-orang berbaur menawar hidup yang semakin tawar
(Amman, 1995)
Saya membaca dark poems, puitika kelam puisi-puisi Diro seolah sedang melihat dirinya. Lelaki yang sedang melangkah meninggalkan black hole, memasuki dark line, lantas mengalami inkubasi spiritual, tuk melangkah konsisten di jalan budaya menuju pencerahan. Gerak insani yang melangkah yakin minadz dzulumaat ilan nuur, dari zaman yang poek ke masa penuh cahaya, kelak. Jalan husnul khatimah. | (Jakarta, 29.03.20 - Stay at home)