Diro Aritonang Tinggalkan Black Hole Masuki Dark Line

| dilihat 1363

Bang Sém

Ketika puisi tercipta sebagai produk akhir suatu proses kreatif, dia terlahir sebagai sesuatu yang tak lagi milik penyairnya. Begitu puisi itu dipublikasikan di media, apapun medium, platform, dan formatnya, puisi itu terlepas dari penyairnya. Tak perlu masa inkubasi. Tak perlu seorang penyair menjelaskan bagaimana proses kelahiran puisinya. Pun, tak perlu dia 'mencancang' puisinya dengan rantai formalisme.

Buku Puisi Diro Aritonang bertajuk Puitika Hitam tidak saya pahami sebagai black poetry, melainkan dark poems alias kumpulan puisi kelam tentang realitas pertama kehidupan yang bersentuhan dengan penyairnya.

Saya sepemikiran dengan Donald B. Gibson, editor Modern Black Poets: A Collection of Critical Essays (1973), yang mengemukakan, bahwa "tidak ada istilah atau kategori yang secara khusus akan membedakan penulisan penyair hitam dari penyair lain."

Selama ini, puisi hitam selalu mengacu pada puisi-puisi yang ditulis penyair imigran Afro-America di Amerika Serikat, sebagai halnya black music seperti blues, jazz, dan rap yang sangat karya beat dan ragam musikalnya. Terutama karena masuknya anasir-anasir budaya yang dibawa serta dari tanah leluhur para penyair dan musisinya.

Black poetry cenderung merupakan karya literatif yang berangkat dari budaya aliterasi, seperti tercermin dalam karya-karya Jupiter Hammon,  Lucy Terry atau Phillis Wheatley  di abad 18, meski hadir dalam format dan platform puisi kontemporer.

Puisi-puisi yang terhimpun dalam karya Diro, utuh sebagai karya literatif dalam format kontemporer dan dilahirkan melalui formula yang juga kontemporer. Antara lain, penyair menempatkan dirinya sebagai obyek atas peristiwa dan lingkungan yang menjadi sumber inspirasinya. Meskipun yang diteriakkan oleh Diro, dalam banyak hal menghadirkan tema dan aspirasi yang cenderung mirip. Tetapi, saya lebih merasa, puisi Diro merupakan dark poems.

Soal keadilan, misalnya. Seperti terwakili dalam puisi Satir Hitam - (mencari keadilan) - bersama Harry Rusli, yang antara lain berbunyi seperti ini:

kucari dia, kucari dia

dalam kitab undang-undang negara

dalam buku anggaran belanja

dalam kepres kepala negara

dalam utang-piutang negara

dalam neraca bank-bank negara

dalam hukum acara pidana

dalam hukum acara perdata

dalam berkas-berkas lemari jaksa

dalam garis besar haluan negara

dalam resolusi hak azasi manusia

kucari dia

Yang menarik perhatian saya adalah, puisi ini mengalami masa inkubasi yang sangat lama (1985-1994) sepanjang periode represif Orde Baru, dan saya yakini, sampai hari ini pencarian itu belum selesai. Karena masalah keadilan yang menjadi substansi puisi ini, masih tetap berada di ruang kelam zaman. Bahkan, ketika sains dan teknologi (terutama teknologi informasi) bergerak sangat cepat dan dinamis. Termasuk menggerakkan perubahan dramatik (transformasi) secara sosio politik, ekonomi, dan bahkan budaya.

Bahkan, dalam banyak hal, realitas persoalan yang diserap Diro, masih relevan dengan kondisi kekinian, bahkan lebih parah. Mari simak puisi ini:

mesin teknologi

(pada penyair abad yang berlari)

 

aku geser gelombang lewat tombol waktu

ketika seorang teman siap bunuh diri

dibawa arus tegangan tinggi bermegawatt

aku lihat kemungkinannya

ah, dalam tabung itu dia terbalik

mengapa dalam kamera obscura

matanya ada kitab sufi dan kitab das kapital

mesin berputar dengan kecepatan suara

berirama panorama sebuah konserta barlioz

dia berlari, tak habis, berlari mengejar

dunia berlari, tak habis, berlari dipacu waktu

deru mesin lenyapkan alunan ayat-ayat Quran

mesin memutar dunia di taman fantasi

orang-orang telah menciptakan tuhannya sendiri

orang-orang telah memuja thogut abad megatrend

orang-orang telah diprogram jam-jam kerja

direduksi menjadi sardencis dan kornet

mulut-mulut berbusa meneriakkan kebebasan

remote control meredam keanarkian

tak ada yang bisa berontak

semua telah diterapi lewat elektroda-elektroda

mengubah getaran beta di otak menjadi alfa

kita berada di persimpangan waktu

dibawa arus tegangan tinggi bermegawatt

dikemas kotak globalisasi abad megatrend

nyawa kita sinyal-sinyal yang mampu mendistribusi

tenaga kita menjadi piston mengalir ke urat nadi

memberi arti pada performa kelembutan

menjadi iman agama melanium

ketika gas diinjak kaki teknologi

kita berubah jadi radium!

 

Puisi dengan inkubasi waktui relatif pendek (1985-1990), ini dari pendekatan imagineering mengisyaratkan manifestasi intuitive reason Diro pada dekade dominansi ekonomi, itu justru menemukan realitasnya kini, ketika arus perubahan reformasi berubah menjadi deformasi kini.

Diro seolah sedang menemukan ruang ekspresi imajinasinya tentang realitas perubahan, antara transformasi Tiongkok yang konsisten dengan prinsip kontiniti dengan fase-fase historiografi antar dinasti lampau dengan perubahan regeneratifnya, sejak Mao Tse Dong memulai reformasi.

Simak puisi ini :

Great Wall

 

aku begitu kagum

akan kekuatan

dan kepanjangan

tembok raksasa ini

namun kekuatan

dan kepanjangannya

tak kan mampu

melampaui kekuatan

dan kepanjangan

keyakinanku

pada kekasihku

 

Beijing, 27/8/94

 

Dalam puisi ini, Diro berhadapan dengan sesuatu yang empiristik (aku begitu kagum/akan kekuatan/dan kepanjangan/tembok raksasa ini) dengan sesuatu yang non empiristik (namun kekuatan / dan kepanjangannya / tak kan mampu / melampaui kekuatan / dan kepanjangan / keyakinanku / pada kekasihku). Diro, sebagai penyair dalam konteks ini, tidak mau menggunakan perspektif etimologi, yang berasyik maksyuk dengan metafora, melainkan menggunakan epistemologi. Mendialogkan dimensi dria (feel) dengan rasa (sense).

Padahal, di puisi lain yang masa inkubasi ruang dan waktunya tak berjauhan dengan puisi ini, dia memperoleh begitu banyak pengalaman spiritual dan batin. Hal itu tertampak dalam puisi-puisinya: musim gugur di beijing; shalat jum'at di masjid Niu Jie; dan  tengah malam di Shenzhen.

Dark poems yang tercermin dalam puisi-puisi yang terhimpun di buku ini, seperti yang tersimpan dalam Perbatasan Jordania-Syria; kehilangan bangsa; aku tak mengerti; negeri antahberantakan; zaman kelabu; berlin & holocaust; kejahatan perang; ini bangsa bangsat; bangsa dajal; sampah kemerdekaan; akan di bawa ke mana bangsa ini; serba palsu; kemerdekaan rasis; zaman hoaks; kita tenang-tenang saja; bangsa yang terbelah; Indonesia adalah kita; dan selusin haiku corona mengalami proses sublimasi lintas masa.

Saya rasakan sublimasi itu pada puisi-puisinya, bertajuk: ketika aku bertambah tua; merapal judul; engkau pun pulang; epigram Datuk Sinaro Panjang; puisi krusial; puisi absurd; cintaku dan kitaro; perempuan; braga, braga, braga; malam kasih; the song sukuh temple; epigram (bambang boedi asmara); aku toha; aku tak mengerti; dan nasihat presiden daripada raja.

Diro beruntung, dia melintasi lintas panjang dark poems dan sublimasinya, dengan memperoleh sejumlah pemantik pencerahan, enlightment. Ketika nalar dan nalurinya berdialog dengan rasa, seperti yang dapat kita rasakan pada puisi-puisi: Qiryat Arba; Baitul Muqaddas; subuh di Amman; doa di Raudoh; dan Baitul Haram. Meski dia masih menyisakan puitika kelamnya yang perlahan di hantar cahaya fajar, Kan Zaman :

di ketinggian puncak kota Amman

dingin makin menusuk ke tulang-tulang

di kelilingi jazirah yang makin kemerlap

alunan klasik nazem el-ghazaly menggetarkan hati

di Kan Zaman

telah tersedia

shish-kabab

mansaf

musakhan

anggur

nasi berlemak

cenderamata

kaligrafi

musik arabia

Walid Tawfik mendendangkan Ya Menawar

orang-orang berbaur menawar hidup yang semakin tawar

(Amman, 1995)

Saya membaca dark poems, puitika kelam puisi-puisi Diro seolah sedang melihat dirinya. Lelaki yang sedang melangkah meninggalkan black hole, memasuki dark line, lantas mengalami inkubasi spiritual, tuk melangkah konsisten di jalan budaya menuju pencerahan. Gerak insani yang melangkah yakin minadz dzulumaat ilan nuur, dari zaman yang poek ke masa penuh cahaya, kelak. Jalan husnul khatimah. | (Jakarta, 29.03.20 - Stay at home)

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya