Di Balik Berlin Proposal

| dilihat 3055

AKARPADINEWS.COM | WAKTU menunjukan sekitar pukul 15.00. Langit yang terlihat mendung disertai gerimis, membuat panitia penyelenggara diskusi tentang, "Puisi, Bahasa, dan Teknologi Media" rada was-was. Mereka pun bergegas memindahkan lokasi diskusi. Diskusi yang semula digelar di Plaza Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI), Depok, terpaksa dialihkan ke dalam gedung. 

Diskusi yang membedah teks-teks puisi penyair Afrizal Malna dari buku Berlin Proposal pun berlanjut. Dua pembicara yakni Ari Jogaiswara Adipurwawidjana, pengajar teori kritik dan sastra Inggris Universitas Padjajaran dan Dymussaga Mira, akrab disapa Aga, lulusan magister Sastra UI, mengupas isi buku itu. Diskusi dipandu Ahda Imran. 

Diskusi yang berlangsung Kamis (14/4) itu tidak hanya menggali antara teks puisi dan teknologi digital dalam Berlin Proposal. Namun, diskusi itu menjadi pertemuan, sekaligus merefleksikan cara pandang seniman dan akademisi. Diskusi ini juga mempertemukan antara puisi dan performance art melalui penampilan Dwinanda Agung Kristianto, Hanafi Muhammad, Adinda Luthvianti, M Haryo Hutomo, DJ KNDR, Ridwan Rau-Rau, dan Afrizal Malna. Penampilan mereka mewujudkan keterkaitan antara tubuh, teks, dan rupa, dalam merespon puisi Afrizal.

Membaca Berlin Proposal, membuat kepala pembaca merasa terganggu dan puisi-puisinya juga merefleksikan ada gangguan di kepala Afrizal. Gangguan bagi pembaca ini adalah sulitnya memahami teks-teks puisi yang ditulis menyerupai bentuk-bentuk visual.

Sedangkan bagi Afrizal, gangguan ini terasa ketika dirinya melakukan Residensi DAAD selama satu tahun di Berlin-Jerman (2014-2015). Dia merasa asing untuk berkomunikasi dengan kemampuan bahasanya yang terbatas.

Afrizal mencoba memahami Berlin dengan tubuhnya melalui penglihatannya pada visual-visual media, benda-benda atau materi. Seperti ke luar masuk museum maupun pergi ke pasar loak di hari Minggu. Penanda dan kode-kode visual inilah yang sepertinya menjadi salah satu latar belakang penulisan Berlin Proposal, sebuah pengajuan (proposal) dari narasi puisi Afrizal dalam melihat dan mengamati Berlin melalui logika visualnya di mana gambar menjadi aksara. 

Bagi masyarakat umum, apa yang disebut puisi, dipahami sederhana sebagai karya sastra tertulis yang mengungkapkan pikiran dan bahasa si penyair dengan bahasa kiasan yang estetik. Berbeda dengan puisi Afrizal yang keluar dari jalur puisi mainstream.

Aga memulai pemaparannya dengan melakukan perbandingan antara puisi Afrizal dengan “Kredo puisi” Sutardji Calzoum Bachri yang berusaha membebaskan kata dari maknanya. Puisi berjudul “Q” dari Sutardji, berisi tanda seru dan huruf yang ditulis tak beraturan. Puisi ini ingin menyatukan kembali antara puisi dan bunyi, serupa mantra yang diucapkan dan menghasilkan nada.

Selanjutnya, Aga mencontohkan puisi Danarto dengan visual susunan delapan garis yang membentuk sembilan buah kotak. Bagaimana membaca bentuk puisi seperti ini? Menurutnya, Sutardji maupun Danarto, ingin mengembalikan bahasa kepada bentuk, simbol atau sumber acuan yang sebelumnya--bisa dibilang lebih primitif ketimbang kompleksitas bahasa yang digunakan saat ini. Sutardji dan Danarto memiliki cara pandang dan penyampaian lain dalam mengungkapkan puisi, yang tidak hanya pada bahasa yang biasa. 

Selanjutnya, ia mulai mempreteli lima puisi Afrizal: Puisi Digital, Tektonik Digital, Altar Pergamon, Mitos Mimesis, dan Mauerpark. Puisi tersebut ditulis Afrizal menggunakan In Design maupun Photosop dari Adobe, bukan dengan Microsoft world yang biasa digunakan oleh para penulis. Cara kerja ini diakui Afrizal untuk menjadikan puisi-puisinya tidak semata berurusan dengan teknologi bahasa. Namun, juga teknologi media. Lalu, bentuk puisi Afrizal yang berupa garis, baris, kolom, beserta aksara yang disusun sedemikian sulit, membentuk impresi baru terhadap bentuk dan makna puisi.

Berbeda dengan Aga yang menjelaskan puisi Afrizal dengan membandingkan puisi lain dan proses kreatifnya. Ari mengembangkan pembahasan hingga pada transformasi manusia melalui asal mula dan perkembangan teknologi tulis. Ari mengajukan beberapa pertanyaan seperti, Mana yang lebih dahulu, bahasa atau kesadaran? Mana yang lebih dahulu, diri atau tulisan? Mana yang lebih dahulu, menulis atau membaca? Dan, terakhir, mana yang lebih dahulu, Berlin proposal atau Afrizal Malna?  

Ari memulai penjelasan jika bahasa dikaji melalui bunyi yang dikeluarkan dari tubuh menjadi gelombang bunyi. Selanjutnya, bahasa dan kesadaran merupakan hasil interaksi antara diri manusia dengan tubuh lain atau lingkungannya. Menurut Ari, manusia memperluas bahasanya dengan membangun penjara yang bernama kebudayaan tulis, yang diciptakan dari bayangan bahasa dan bayangan kebudayaan tulisnya.      

Usia bahasa serupa dengan usaha manusia di muka bumi ini. Namun, lonjakan bahasa (kebudayaan tulis), muncul sejak ditemukannya mesin cetak. Setelah itu apa? Kita mengenal dunia digital dalam bahasa saat ini yang bertaburan di keseharian kita.

Berlin Proposal adalah media teknologi digital yang digunakan Afrizal dalm proses kerja kreatifnya. Namun, tidak hanya itu. Bagaimana tubuh Afrizal melihat Berlin melalui budaya dan peradabannya melalui kemajuan teknologi beriringan dengan manusianya?

Manusia adalah kecepatan yang berproduksi agar tetap eksis di muka bumi. Namun, tetap bisa dihitung dengan angka. Teknologi sebagai sebuah percepatan seperti internet, akan terus melaju dengan kencang hingga manusia merasa lelah untuk mengejar peradaban baru teknologi media tersebut.

Lantas, apakah puisi yang menggunakan media teknologi itu akan tetap menyentuh jiwa manusia? Semoga sentuhan yang sakral dan bersumber dari sebuah ruh kehidupan, tetap selalu terjaga dan dihayati oleh puisi dan sastra.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 100
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 517
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 445
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya