Cermin

| dilihat 1395

Sem Haesy

MALAM merambat. Dari tempat berkhalwat di sudut rumah, terdengar suara tangis sesenggukan. Isteri Abu Waswas yang sedang tidur, terjaga. Lalu bergegas ke arah suara tangis, itu.

Ia terkejut, menyaksikan Abu Waswas, sedang menangis di depan cermin.

Dari cahaya sentir yang menerangi cermin, ia menyaksikan bagaimana mimik Abu Waswas ketika itu. Diam-diam dia tersenyum, menyaksikan wajah Abu Waswas menangis sesesunggukan.

Ih.. lucu juga raut wajah suamiku”, serunya dalam hati.

Ia tak membuang waktu, segera mendekat. Lalu memeluk Abu Waswas dari belakang, sambil menghindari matanya menatap cermin. Kuatir tak kuasa menahan geli.

Karena dipeluk sang isteri, Abu Waswas bermanja, merebahkan kepalanya di dada sang isteri, sambil sesenggukan lagi.

Sang isteri, dengan sabar, membuka sorban suaminya, kemudian membelai rambutnya. Abu Waswas merasa nyaman dengan belaian lembut jemari sang isteri yang memang cantik rupawan, itu.

Perlahan, ia mengajak Abu Waswas pindah ke kamar, dan rebah di peraduan. Ketika itu, dia bertanya kepada Abu Waswas: apa pasalnya dia menangis begitu rupa.

“Cermin”, tukasnya.

Ada apa dengan cermin? Tanpa diminta, Abu Waswas pun mengembarakan pikirannya. Dia bilang pada isterinya, sudah lama tak pernah bercermin. Karenanya, selepas shalat tahajjud, dia paksakan dirinya bercermin. “Itulah yang membuatku bersedih hati”, serunya.

Abu Waswas berkisah, ketika menyaksikan wajahnya di cermin, dia mendengar cermin itu terkekeh. Menertawakan dirinya.

Setiap kali pikirannya menyatakan dirinya orang baik, cermin itu keras terkekeh. Celakanya, wajahnya di dalam cermin ikut terkekeh. Apa yang melintas di dalam pikirannya, selalu mendapatkan reaksi negatif dari cermin dan wajahnya sendiri.

“Aku tak bisa terima, saat cermin terkekeh, ketika pikiranku menyatakan, diriku dan kabilahku amat berjasa menyelamatkan wajah Sultan di hadapan sidang Majelis Syuro yang mengecam dan mengeritik, ” ujarnya.

“Cermin itu terkekeh. Lantas, wajahku yang berada di cermin itu justru menyatakan hal yang sebaliknya”, lanjut Abu Waswas.

“Bagaimana dengan hatimu. Apa katanya?” tanya sang isteri.

“Hatiku menyatakan hal yang sama dengan apa yang dinyatakan wajahku di dalam cermin,” jawab Abu.

“Kalau begitu mengapa harus menangis? Bukankah cermin telah menyatakan fakta yang sesungguhnya?” balas sang isteri.

“Inilah yang aku tak bisa terima. Aku ingin seluruh khalayak lebih mempercayai pikiranku. Aku ingin mereka melihat bagaimana besarnya jasa baikku selama ini. Aku ingin khalayak lebih percaya kepadaku, bahwa aku jauh lebih baik dibandingkan Khalifah. Aku ingin khalayak yakin kepadaku, bahwa bila aku yang memimpin negeri, kemajuan akan bergerak lebih cepat”, papar Abu.

Lantas, Abu bilang, dia ingin cermin mengikuti apa yang dia pikirkan, bukan justeru melakukan hal yang sebaliknya. Malah mendengarkan kata hati, untuk selalu membantah pengakuan pikiranku yang amat menyenangkan hatiku.

“Aku ingin hatiku dan cermin, mengikuti saja apa yang diperintahkan pikiranku. Bukankah pikiran merupakan komandan yang harus dipatuhi oleh seluruh organ di dalam anatomi tubuhku?” jelas Abu.

Sang isteri tak tahan geli. Ia terkekeh.

“Mengapa kau seperti cermin, menertawaiku?” tanyanya.

Sang isteri malah terkekeh lebih keras, sehingga membuat Abu terbangun. Duduk bersila di atas peraduannya.

“Aku seperti cerminmu, Abu.. Fikiranmu hanya menyampaikan hal yang baik saja tentang dirimu. Padahal, keburukanmu yang disembunyikannya, jauh lebih banyak,” seru sang isteri.

Abu menangis lagi. Sambil sesenggukan, hingga shubuh tiba.|

 

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 785
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya