Bermula Bayang Menjelma Wayang

| dilihat 3138

BERMULA dari bayang, kemudian wayang. Disebut begitu, lantaran wayang pada ghalibnya merupakan bayangan atau gambaran tentang kehidupan manusia yang sesungguhnya. Karenanya, wayang disebut sebagai realitas kedua dari realitas pertama manusia.

Ketika muncul pertama kali, pada 1500 tahun sebelum masehi, di masa pra sejarah, wayang bercerita tentang kehidupan para leluhur melalui beragam tokoh pahlawan dan manusia yang diidolakan, yang bersifat protagonis, disertai para tokoh antagonisnya, secara hiperbolis. Di dalamnya mengalir berbagai aspek filosofi untuk memperoleh gambaran keteladanan dan tokoh yang diidolakan.

Pada masa animisme dan dinamisme, wayang disajikan hanya untuk menghormati dan memuja roh nenek moyang. Kertika ajaran Hindu dan Budha berkembang, wayang menjadi media untuk mentransformasikan nilai-nilai kehidupan berbasis Ramayana dan Mahabharata. Pada masa inilah epos Ramaya dan Mahabharata, dipandang sebagai epos historis, dan keduanya seolah-olah merupakan satu kesatuan alur cerita. Meskipun di tempat aslinya, India, Ramayana dan Mahabharata merupakan dua kisah yang berbeda.

Untuk melengkapi awal kronologis kisah kedua cerita itu, pujangga Jawa menciptakan kisah Arjunasastrabahu dengan pesan: keseimbangan dunia dan alam maya, ditandai dengan penitisan Wisnu pada tokoh utama. Medium yang dipergunakan adalah boneka, yang terbuat dari kulit dan kayu, dan masih berbentuk manusia sesungguhnya.

Pada masa perkembangan Islam melalui Walisanga, di tangan Sunan Kalijaga, sebagai medium dakwah, boneka wayang diubah bentuknya, tak lagi menyerupai manusia seutuhnya. Konsep sajian dan cara menontonnya tetap sama, menyaksikan bayangan, dengan titik berat pada esensi pesan yang ditransformasikan. Karenanya, masa itu wayang merupakan tontonan yang sekaligus tuntunan.

Karenanya, wayang (yang kita kenal kini) adalah Indonesia, terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali, kemudian berkembang ke pulau-pulau lain dengan pesonanya kultural berbasis kearifan lokal masing-masing. Bentuk penyajiannya pun berubah format, dari boneka yang dikendalikan dalang, menjadi format menjadi teater rakyat, Wayang Orang.  Bahkan wayang boneka pun berubah bentuk menjadi lebih beragam dengan melalui wayang kulit dan wayang golek.

Kini repertoir wayang kian beragam, sesuai ceritanya. Kisah wayang Panji berbasis ajaran Hindu dan Budha, sedangkan kisah wayang Menak berbasis dakwah Islam. Para Wali, khasnya Sunan Kali Jaga dan Raden Patah bersepakat untuk mengakomodasi keragaman format wayang. Meliputi: Wayang Kulit di Jawa Timur, Wayang Isi (Wayang Wong) yang dimainkan sebagai teater di Jawa Tengah, dan Wayang Golek di Jawa Barat.

Dalam repertoirnya, Wayang tak hanya menggunakan bahasa Jawa dan Bali. Beragam bahasa daerah atau lokal dipergunakan sebagai penutur kisah wayang. Wayang Purwa, Madya, Dupara, Calonarang, Suluh, Gedog, Wahyu, Kancil, Sadat, Sasak, Ajen, dan Krucil menggunakan bahasa Bali dan Sasak. Wayang Thengul yang menyerupai wayang Golek mengenakan bahasa Jawa – Bojonegoro.  Wayang kulit Gagrag menggunakan bahasa Banyumasan.

Wayang Menak, Papak atau Cepak, mengenakan bahasa Jawa. Akan halnya Wayang Beber dan Klithik mengenakan bahasa campuran, termasuk bahasa Melayu. Pun demikian halnya dengan Suket (yang dibuat dari alang-alang atau batang padi), Timplong, Arya, Potehi, Gambuh, Cupak, dan Parwa. Wayang kulit Banjar, seperti halnya Wayang Gung dan Wayang Topeng (sejenis wayang wong) menggunakan bahasa Banjar (Kalimantan Selatan). Selebihnya adalah Wayang Palembang berbahasa melayu Sriwijaya, Wayang Betawi menggunakan bahasa Betawi bercampur Sunda dan Jawa, Wayang Ceribon berbahasa Ceribon, dan di negeri jiran Malaysia, Wayang Siam menggunakan bahasa melayu champa yang berkembang di Kelantan.

Adalah wajar, ketika UNESCO (sejak 7 November 2003) menyatakan wayang sebagai seni tradisional Indonesia dengan posisi sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam seni bertutur (narasi), sekaligus warisan indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Bagi saya, seni wayang merupakan karya budaya multidimensional. Memadukan seni kriya, rupa, sastra, komunikasi, dan teater. Karenanya, patut disebut sebagai Masterpiece of Multidimension Heritage of Humanity.| Bang Sem

Editor : sem haesy
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 223
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 318
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 938
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1168
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1429
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1577
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya