Salah Kaprah Konsep Perempuan di Budaya Jawa

| dilihat 4843

AKARPADINEWS.COM| Kebudayaan Jawa kerap dianggap sebagai budaya yang mengenyampingkan perempuan. Hal itu terlihat dari konsep perempuan ideal yang terdapat dalam kebudayaan Jawa. Konsep itu sering terdapat dalam karya sastranya, salah satunya Serat Centhini dan Serat Candrarini.

AP Muniarti dalam artikelnya yang berjudul Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan (1992) menjelaskan, dalam Serat Centhini, terdapat konsep perempuan Jawa yang diistilahkan dengan lima jari tangan. Konsep itu berisikan tentang konsep ideal seorang istri, yakni sebagai ibu jari atau jempol yang berarti pol ing tyas. Maknanya ialah seorang isteri harus sepenuhnya berserah diri pada kehendak laki-laki.

Kedua, yakni jari telunjuk atau penuduh. Konsep itu memiliki makna seorang istri tidak boleh melanggar tudhung kakung atau petunjuk suami. Ketiga, penunggul atau jari tengah. Konsep jari tersebut bermakna seorang istri harus mengunggulkan dan menjaga martabat suami.

Konsep keempat ialah jari manis. Konsep tersebut bermakna seorang perempuan sebagai istri harus selalu bersikap manis kepada suaminya apapun kondisinya. Dan, konsep kelima ialah jejenthik atau jari kelingking. Jari itu bermakna istri harus selalu athak ithik atau terampil di segala bidang untuk melayani suami dengan terampil serta cekatan.

Konsep lima jari tangan itu menunjukkan perempuan sebagai objek bagi laki-laki. Selain konsep yang terdapat dalam Serat Centhini, konsep ideal perempuan juga terdapat dalam Serat Candrarini.

Pada Serat Candrarini, menurut Muniarti dalam artikelnya, dari serat tersebut terdapat sembilan konsep ideal perempuan. Konsep itu ialah perempuan harus setia pada lelaki, rela dimadu, mencintai sesama, terampil pada pekerjaan perempuan, pintar berdandan dan merawat diri, sederhana, pandai melayani kehendak lelaki, menaruh perhatian pada mertua, dan gemar membaca buku yang berisikan nasihat-nasihat.

Dari kesembilan konsep dalam Serat Candrarini itu terdapat dua konsep yang menyudutkan perempuan, yakni rela dimadu dan pandai melayani kehendak lelaki. Kedua konsep itu, sama halnya dengan konsep lima jari tangan dalam Serat Centhini, menempatkan perempuan sebagai objek laki-laki.

Kedua konsep itu kerap diterapkan pada kehidupan masyarakat Jawa khususnya di zaman penjajahan Belanda. Oleh karena itu, pada masa penjajahan Belanda, Raden Ajeng Kartini mencoba memberontak dari konsep itu. Perempuan yang terlahir dari keluarga bangsawan itu melakukan perjuangan untuk mendobrak konsep itu melalui jalur pendidikan.

Wishnu Prahutomo Sudharmadji, Kandidat Doktor Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), saat diwawancarai akarpadinews.com mengatakan, Kartini melakukan perjuangan untuk kaum perempuan di Jawa karena pada masanya terjadi pembatasan gerak untuk perempuan. “Posisi Kartini diuntungkan (dalam tanda kutip) karena kebangsawanannya dia memiliki akses dan kesadaran akan pendidikan bagi perempuan pada masa itu,” ujarnya.

Keadaan yang penuh pembatasan bagi perempuan Jawa pada masa itu, menurut Wishnu, menjadi faktor yang mendorong Kartini untuk mencoba “mereposisi” pemikiran pada dan tentang perempuan pada masanya. “Bila Cut Nyak Dien, Martha C. Tiyahahu dan pejuang perempuan lainnya berperang dan berjuang secara fisik, maka Kartini berjuang  dan berperang dengan menggunakan konsep dan ide yang lahir dari perenungan  dari derita yang dia alami sebagai perempuan Jawa,” imbuh alumni Program Studi Jawa FIB UI tersebut.

Perjuangan Kartini tersebut, Wishnu memaknai, Kartini tidak serta merta menginginkan perempuan memiliki keterampilan agar meminimalisir dependensi terhadap laki-laki dan bukan untuk membangkang atau menciptakan “dua matahari” dalam keluarga inti. “Beliau (Kartini) menginginkan semua perempuan berpendidikan karena banyak hal, salah satunya karena pendidikan pertama bagi seorang anak ialah dari ibunya,” ujarnya.

Selain itu, Wishnu menambahkan, dengan memiliki pendidikan dan keterampilan maka perempuan mampu saling menopang dengan laki-laki dalam keluarga untuk keberlangsungan keluarga inti. “Bila terjadi keadaan yang membuat laki-laki tidak mampu menafkahi keluarga maka di situ perempuan dapat membantu kehidupan keluarga inti,” terangnya.

Hilderd Geertz, antropolog yang mengkaji keadaan sosial budaya Jawa, dalam bukunya Keluarga Jawa (1983) menyatakan, perempuan dalam keluarga Jawa merupakan mata rantai yang penting bagi anggota keluarga dalam keluarga intinya. Geertz dalam bukunya berpendapat, salah satu penanda peran penting perempuan dalam keluarga Jawa ialah perempuan, sebagai istri, merupakan pemberi keputusan atas beragam masalah penting keluarga.

Selain itu, Geertz dalam bukunya menyatakan, perempuan sama bebas dan berwenangnya dengan laki-laki dalam hal kepemilikan kekayaan dan pengaturannya. Pendapat Geertz itu menunjukkan perempuan Jawa tidak serta merta selalu berposisi lemah dalam keluarga inti. Selain itu, berdasarkan pendapat Geertz tersebut, perempuan juga memiliki posisi yang sama pentingnya dalam keluarga inti Jawa.

Soal peran perempuan dalam budaya Jawa, Wishnu berpendapat, sebenarnya secara konseptual budaya Jawa memberikan peran yang sama besarnya bagi laki-laki dan perempuan, hanya saja pada pada praktiknya berbeda karena faktor politik kekuasaan. “Pada praktiknya, faktor politik kekuasaan ikut bermain sehingga perempuan pun ikut terobjektifikasikan. Secara sederhana, hal itu dilakukan untuk mengurangi saingan bagi laki-laki,” jelasnya.

Peran perempuan yang dijelaskan oleh Geertz menunjukkan masyarakat Jawa sejatinya tidak termasuk ke dalam penganut patriarki, melainkan matrifokal. Karena, pola kekerabatan matrifokal menempatkan perempuan sebagai inti pergerakan keluarga bukan kepala keluarga. Jadi, pola kekerabatan itu memandang posisi laki-laki dan perempuan secara fungsinya. Fungsi laki-laki terdapat dalam ranah formal di dalam sosial masyarakat sedangkan perempuan memiliki fungsi di ranah domestik.

Matrifokal itulah diupayakan Kartini untuk muncul ke permukaan masyarakat Jawa yang pada masanya sangat kental mengkultuskan posisi dan peran laki-laki. Dengan demikian, ada kesalahpahaman yang terjadi dalam masyarakat Jawa mengenai konsep perempuan dan kesalahpahaman itu dibiarkan pada praktek sosial kemasyarakatannya. Meskipun demikian, tidak sedikit pula masyarakat Jawa, khususny di pedesaan tetap menerapkan pola kekerabatan matrifokalitas.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 201
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 376
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 222
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang