Srikandi Mencari Pendekar Antikorupsi

| dilihat 1752

AKARPADINEWS.COM | SEMBILAN perempuan ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka diharapkan dapat menemukan komisioner KPK yang memiliki kompetensi, berintegritas, dan berani dalam memimpin institusi antirasuah, setelah komisioner sebelumnya mengakhiri masa jabatan tahun 2015 ini.

Sembilan "Srikandi" itu antara lain: Destri Damayanti (ahli ekonomi keuangan dan moneter), Enny Nurbaningsih (pakar hukum tata negara), Harkristuti Harkrisnowo (pakar pidana hukum dan HAM), Betty Alisjahbana (ahli TI dan manajemen), Yenti Garnasih (ahli hukum pidana, ekonomi, dan pencucian  uang), Supra Wimbarti (Psikologi SDM dan pendidikan), Natalia Subagyo (ahli tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi), Diani Sadiawati (ahli hukum dan perundang-undangan), dan Meuthia Ganie Rochman (Sosiolog).

Sembilan perempuan itu ditugaskan Presiden menjadi Pansel KPK berdasarkan keahlian dan kompetensi. Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki, mereka diharapkan menemukan komisioner yang mampu menjadikan KPK sebagai lembaga negara yang perannya menjaga kewibawaan lembaga negara lainnya, dengan mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih.

Dalam keterangan pers di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta, Kamis (21/5) sebelum bertolak menuju Jawa Timur, Presiden Jokowi juga mengharap KPK, termasuk Polri, dan Kejaksaan, menjadi lembaga negara yang bersih dan kuat serta dipercaya masyarakat dalam memberantas korupsi.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengapresiasi penunjukan sembilan perempuan itu. Namun, dia menegaskan, apresiasi tidak sekadar dari aspek gender, tetapi juga aspek profesionalitas. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengharap, Pansel KPK dapat menyeleksi secara obyektif dan menghasilkan komisioner yang independen dan tidak memiliki orientasi politik.

Dengan latar belakang keilmuan yang beranekaragam, Pansel KPK diharap dapat memilih komisioner yang tidak sekadar cakap dalam bidang hukum semata. Namun, memiliki strategi pemberantasan korupsi dengan beragam pendekatan. Dalam konteks psikologis misalnya, seperti kata Johan Budi, hiruk pikuk (perseteruan KPK-Polri) yang terjadi belum lama ini, sangat ditentukan oleh kemampuan pimpinan KPK dalam mengatur lembaga KPK. "Tidak hanya tentang hukum, hal ini juga berkaitan dengan psikologi, tentang bagaimana seorang pimpinan KPK memiliki kemampuan berhubungan dan komunikasi yang baik," ucap Budi seperti dikutip Antara di Jakarta,  Kamis (21/5), seraya mengharap Pansel KPK tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu.

Kendala komunikasi, diakui  Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, menjadi sumber masalah bagi KPK ketika berhubungan dengan institusi penegak hukum lainnya. Badrodin pernah mengatakan, salah satu persoalan yang harus diperbaiki terkait hubungan Polri-KPK adalah pola komunikasi antarlembaga. Badrodin mengkritik, koordinasi yang dilakukan KPK baru dilaksanakan ketika ada kasus. Seharusnya, dia menambahkan, koordinasi dilakukan mulai dari tahap pencegahan.

 

Menjadi komisioner KPK tak mudah. Mereka dihadapkan tugas berat. Selain memikul ekspektasi masyarakat yang begitu besar terhadap pemberantasan korupsi, mereka juga harus berhadapan dengan fenomena korupsi layaknya gunung es di permukaan air. Meski upaya pemberantasan korupsi berhasil menghancurkan permukaannya, masih ada gunung es yang baru. Jadi, walaupun KPK berhasil memenjarakan banyak koruptor, akan muncul koruptor-koruptor baru berikutnya. Korupsi bak kanker yang jika tidak terus diamputasi, akan makin menjalar, hingga akhirnya menggerogoti daya tahan bangsa ini.

Karenanya, dengan latarbelakang pendidikan dan pengalaman, Pansel KPK yang ditunjuk Jokowi, diharapkan mampu merekrut pendekar antikorupsi yang tidak sekadar piawai menangkap koruptor. Namun, juga cerdas menyusun strategi, baik dengan cara membangun komunikasi dan sinergi dengan aparat penegak hukum lainnya, serta mampu mendesain strategi yang mempersempit celah koruptor, khususnya di birokrasi.

Dalam konteks ini, Natalia Subagyo yang dianggap sebagai ahli tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi, beserta rekan-rekannya, diharapkan dapat menemukan komisioner yang mampu mendiagnosis dan mengawal guna memastikan implementasi sistem birokrasi yang bisa mencegah korupsi, mewujudkan tatalaksana birokrasi yang baik, bersih, efektif dan efisien serta transparan, dengan tetap mengedepankan upaya penindakan.

Membenahi sistem birokrasi, bukan perkara mudah. Oknum birokrasi yang antiperubahan, tentu tak ingin zona kenikmatannya (comfort zone) diganggu. Namun, mereka harus diorong untuk melakukan perubahan. Mereka harus diyakinkan, selain dapat mengakibatkan mereka terseret ke penjara lantaran korupsi, pembiaran terhadap sistem birokrasi yang buruk, mengukuhkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap terhadap pemerintah. Di sinilah pentingnya, pendekatan preventif, dengan terus melakukan kampanye antikorupsi guna mengubah pandangan atau pola pikir (mindset) aparatur birokrasi, dengan disertai supervisi birokrasi.

Upaya mereformasi birokrasi memang sudah dilakukan. KPK juga telah melakukan survei Integritas Sektor Publik untuk mengetahui sejauhmana institusi pemerintah melakukan reformasi birokrasi. Namun, KPK harus dapat memastikan birokrasi transparan, akuntabel, dan profesional. Patut diapresiasi sudah ada instansi, baik di pusat maupun di daerah yang melakukan reformasi birokrasi. Namun, masih banyak instansi pemerintah, baik di pusat dan daerah lainnya, yang kurang merespons percepatan reformasi birokrasi. Dalam konteks ini, komisioner KPK harus terus mengawal, mengawasi, dan memastikan terselenggaranya sistem birokrasi yang bersih, melayani, akuntabel, profesional, transparan, partisipatif, dan sebagainya.

Pembenahan sistem birokrasi menjadi tugas penting yang harus terus didorong KPK ke depan. Pasalnya, korupsi di birokrasi sudah berjenjang, mulai dari level tertinggi hingga terendah. Sampai-sampai, meminjam istilah Dwiyanto (2011), jika birokrasi seperti "pasar korupsi" yang menjadi ajang transaksi antara para pemburu rente, calo proyek, dan anggota masyarakat yang menginginkan pelayanan dengan mudah dan cepat, asalkan bersedia memberikan setoran kepada aparatur birokrasi.

Di level tertinggi, korupsi terjadi di jabatan politis selevel menteri dan kepala daerah. Beberapa menteri dan kepala daerah sudah dijebloskan ke bui lantaran korupsi. Selain karena faktor ketamakan, mereka terseret ke bui lantaran sistem birokrasi yang membuka celah korupsi. Bisa saja menteri, kepala daerah, atau pejabat birokrasi yang tadinya baik, terjerumus ke kubungan korupsi karena sistem birokrasi menggiringnya melakukan korupsi.

 

Sistem birokrasi rawan korupsi karena ketidakjelasan penerapan hukum dan pendistribusian tugas dan kewenangan, pengawasan yang lemah, akuntabilitas yang buruk, tidak diterapkannya hukuman dan pemberian penghargaan (reward and punishment), sistem rekrutmen dan promosi jabatan yang kolutif, dan sebagainya.

Sementara terkait strategi penindakan, komisioner KPK nanti harus tetap agresif, dengan lebih meningkatkan sinergi dengan Polri dan Kejaksaaan. Strategi penindakan penting difokuskan pada sektor-sektor starategis seperti pertambangan dan energi, BUMN, perpajakan, dan institusi penegak hukum. Strategi penindakan juga harus memberikan efek jera dan memaksimalkan upaya pengembalian aset negara yang dirampas koruptor (assest recovery).

Komisioner KPK juga harus lebih siap menghadapi gelombang praperadilan yang dilayangkan para tersangka korupsi yang mulai gencar memperkarakan proses hukum yang dilakukan KPK dalam menetapkan tersangka korupsi. Kini, muncul "Sarpin Effect" yakni upaya melawan atas prosedur penetapan tersangka korupsi oleh KPK (praperadilan) yang dilayangkan para tersangka korupsi.

Komisioner KPK ke depan juga dihadapi tantangan yang pelik. Selain karena beragam modus korupsi makin canggih, KPK juga menghadapi lemahnya dukungan politik. Publik menyimak lemahnya kemauan politik dari mereka yang memiliki kekuasaan, baik di pemerintahan, legislatif maupun yudikatif dalam memberantas korupsi. Di kala dukungan politik masih rendah, komisioner KPK harus menjaga ekspektasi masyarakat. Meski dianggap KPK di era kepemimpinan Abraham Samad dituding asal tangkap dan berorientasi kepentingan politik, masyarakat tetap lebih percaya kepada KPK dibandingkan Polri maupun kejaksaan dalam memberantas korupsi.

Realitas sosiologis menunjukan masyarakat sudah jenuh dengan korupsi akibat ketidakmampuan institusi penegak hukum dalam memberantas korupsi. Karenanya, masyarakat aktif mengawal upaya pemberantasan korupsi. Korupsi memicu kemarahan sosial lantaran melanggar hak asasi manusia (HAM), melabrak supremasi hukum, dan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karenanya, ekspektasi yang begitu besar dari masyarakat terhadap KPK harus dipertahankan dengan menjaga integritas, independensi dan konsistensi menegakan hukum, tanpa pandang bulu.

Hingga kini, ekspektasi masyarakat terhadap KPK sangat besar. Lihat saja, tatkala masyarakat menyimak ada dugaan kriminalisasi yang dilakukan Polri terhadap dua komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sehingga KPK lumpuh, mendapat perhatian masyarakat. Sejumlah aktivis tak hentinya mendesak Jokowi untuk menggunakan kewenangannya sebagai kepala negara agar menghentikan upaya kriminalisasi itu. Mereka juga menggalang kekuatan rakyat guna melakukan perlawanan kepada para pihak yang menghalau upaya pemberantasan korupsi.

Sementara institusi Polri, kejaksaan dan pengadilan, dinilai masyarakat masih tumpul memberantas koruptor. Ironinya, tak sedikit oknum di institusi penegak hukum itu terlibat dalam pusaran korupsi. Karenanya, KPK bersama-sama Polri, dan Kejaksaaan, harus mampu menjaga ekspektasi rakyat dengan memaksimalkan tugas dan fungsinya.

Keterlibatan masyarakat harus ditingkatkan dalam mengawal KPK. Peran masyarakat dapat bersifat perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum atau KPK. Masyarakat bersama organisasi sipil tidak bisa bergerak sendiri. Perlu dibangun koalisi dengan politisi-politisi yang antikorupsi, akademisi, atau tokoh masyarakat

Partisipasi masyarakat cukup besar dalam mengawal eksistensi KPK itu menjadi energi dalam upaya pemberantasan korupsi. Dan, dengan sumberdaya manusia KPK yang sangat terbatas, masyarakat dapat berperan sebagai mitra KPK untuk mengawasi, melaporkan, dan memberikan informasi seputar dugaan korupsi.

Masyarakat juga perlu menjatuhkan sanksi sosial kepada para koruptor. Contohlah Jepang. Di Negeri Matahari Terbit itu, koruptor yang tampil di depan publik, akan dicemooh masyarakat. Koruptor di Jepang terpaksa memilih terisolasi. Bahkan, banyak juga pejabat-pejabat Jepang yang terbukti korupsi memilih harakiri alias bunuh diri lantaran tak kuasa menanggung rasa malu.

Tak kalah penting, komisioner KPK juga harus membangun partisipasi swasta. Apalagi, dari sejumlah fakta yang terungkap, swasta turut andil dalam korupsi. Mereka terpaksa melakukan penyuapan demi memuluskan kepentingan bisnisnya tatkala berurusan dengan pejabat birokrasi. Swasta tentu ingin menekan korupsi, gratifikasi, pemberian fasilitas atau uang pelincin kepada pejabat. Karenanya, swasta perlu terus membangun mitra dengan KPK dan menerapkan cara-cara bisnis yang tidak disertai suap.

 

Komisioner KPK yang baru diharapkan juga mampu melakukan evaluasi kinerja KPK. Evaluasi bisa terkait proses pencapaian tujuan, tantangan dan hambatan dalam pemberantasan korupsi ke depan. Identifikasi perlu dilakukan guna merancang perencanaan program antikorupsi yang lebih efektif dan efisien serta menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain, baik yang bersifat politik maupun hukum, yang kemungkinan terjadi di luar prediksi dalam upaya pemberantasan korupsi.

M. Yamin Panca Setia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 497
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1580
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1371
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Energi & Tambang