Turki dalam Pusaran Konflik

| dilihat 2458

ISTANBUL, AKARPADINEWS.COM | HUKUMAN mati membayangi para pelaku kudeta di Turki. Mereka dianggap layak dihukum mati lantaran dianggap menghianati negara. Eksekusi mati akan dilaksanakan setelah amandemen konstitusi disahkan parlemen yang didominasi kader Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).

Partai besutan Recep Tayyip Erdogan yang kini menjabat Presiden Turki itu menguasai 317 dari 550 kursi di parlemen. Oposisi pun menunjukan sinyal menyetujui pemberlakuan hukuman mati.

Devlet Bahceli, pimpinan Partai Gerakan Nasionalis (MHP) Turki menyatakan, akan mendukung pemerintah jika menghidupkan lagi hukuman mati. Di parlemen, MHP menguasai 40 kursi.

Desakan pemberlakuan eksekusi mati terhadap pelaku kudeta itu menguat setelah Turki kerap kali dihadapi instabilitas politik. Kudeta militer yang gagal pada Jum'at (15/7) lalu, bukan kali pertama terjadi. Namun, kudeta yang yang kelima dalam sejarah perpolitikan di Turki. Perdana Menteri Binali Yildrim menyatakan hukuman mati dapat menjadi efek jera bagi para pelaku kudeta.

Erdogan sendirinya mengklaim tak mampu membendung desakan para pendukungnya untuk menghukum mati para pelaku kudeta. Dia dan pendukungnya juga menganggap, pelaku kudeta sebagai teroris yang layak dihukum mati. "Orang-orang sekarang memiliki ide, para teroris ini harus dibunuh," katanya.

Erdogan juga mengutip suara-suara para pendukungnya agar para penghianat itu tidak perlu diberikan makan selama di penjara. "Itulah yang orang-orang katakan karena telah kehilangan sanak saudara, anak-anak. Mereka menderita sehingga sangat sensitif. Dan, kita harus bertindak bijaksana dan sensitif," imbuhnya. Erdogan sebelumnya menegaskan, para pelaku kudeta akan membayar mahal atas tindakan penghianatannya.

Sedikitnya, 265 orang tewas akibat bentrokan saat pasukan militer yang berasal dari kesatuan Angkatan Udara melancarkan kudeta. Sebanyak 161 korban yang tewas itu adalah warga sipil dan aparat kepolisian. Sementara 104 korban lainnya adalah pendukung kudeta yang umumnya berasal dari Angkatan Udara (Baca: Pembalasan Erdogan).

Di hadapan pendukungnya di Istanbul, Erdogan juga mengklaim, Turki adalah negara demokrasi yang dijalankan oleh aturan hukum dan aspirasi rakyat. "Anda tidak bisa mengesampingkan tuntutan rakyat." Dengan begitu, jika parlemen yang merepresentasikan aspirasi rakyat memutuskan pemberlakuan hukuman mati, maka celakalah para musuh-musuh Erdogan.

Keinginan rezim Erdogan menerapkan hukuman mati ditentang Uni Eropa (UE). Turki telah menghapus hukuman mati pada tahun 2004 setelah terdaftar sebagai anggota UE. Para pejabat UE memantau rencana eksekusi mati kepada para pelaku kudeta. Jika eksekusi mati dilaksanakan, rezim Erdogan akan tercatat sebagai pembunuh massal.

Kanselir Jerman Angela Merkel telah menghubungi Erdogan via telepon. Merkel mengingatkan Erdogan jika UE dan Jerman menentang keras hukuman mati. "Kanselir juga mendesak Presiden Erdogan untuk mematuhi prinsip-prinsip proporsionalitas dan aturan hukum dalam menanggapi ini (upaya kudeta)," kata juru bicara pemerintah Berlin.

Penangkapan dan pemecatan massal warga Turki yang dianggap berseberangan dengan pemerintah juga disesalkan. "Gelombang penangkapan dan pemecatan di Turki adalah masalah keprihatinan yang serius."

Namun, peringatan UE itu kemungkinan diabaikan. Turki sendiri merasa tak nyaman bergabung dengan UE. Negara itu sepertinya ingin mengikuti jejak Inggris yang telah hengkang dari UE dengan alasan menuju kemandirian dan kedaulatan negara.

Wakil Perdana Menteri Turki Nurettin Canikli sebelumnya menyebut keputusan Inggris keluar dari UE merupakan awal perpecahan di UE. "Inggris adalah yang pertama meninggalkan kapal." Sebelumnya, Turki menuntut UE akan kesetaraan dengan negara-negara UE lainnya.

Arogansi Rezim Erdogan 

Sejak kudeta gagal pada Jum'at lalu, rezim Erdogan menggelar operasi besar-besaran, membersihkan orang-orang yang dianggap berseberangan. Kantor berita negara Anadolu melaporkan, sebanyak 8.777 pegawai pemerintahan di Kementerian Dalam Negeri Turki dipecat. Dewan Pendidikan Tinggi Turki juga memerintahkan pengunduran diri 1.577 dekan di seluruh universitas di Turki yang diduga berseberangan dengan Erdogan.

Kementerian Pertahanan Turki juga tengah melakukan investigasi terhadap kemungkinan hakim militer terlibat kudeta. Kementerian itu telah memecat 262 hakim militer dan jaksa lantaran terlibat kudeta. Rezim Erdogan juga telah mengirim ke penjara sekitar tiga ribu oknum militer yang berkhianat padanya. Seruan sang presiden pun diikuti Pengadilan Tinggi Turki dengan menahan 2.745 hakim.

Tindakan represif itu memperlihatkan rezim Erdogan kian arogan. Jauh sebelumnya, Erdogan dikritik sejumlah kalangan lantaran menampakan kepemimpinan yang otoriter. Erdogan tak kompromi dengan para pihak yang kerap mengeritiknya. Tak sedikit rakyat biasa, wartawan, seniman, intelektual, pegawai negeri, dan sebagainya, diseret ke penjara lantaran mengkritiknya, meski hanya persoalan sepele.

Belum lama ini, Merve Buyuksarac, mantan ratu kecantikan Turki tahun 2006, diganjar hukuman penjara 14 bulan lantaran mengkritik Erdogan. Hakim menyatakan Merve bersalah, telah menghina Erdogan melalui akun instagram.

Mantan Miss Turki yang juga model beken di negerinya itu mengaku tak sengaja memposting ujaran kebencian dalam bentuk puisi seorang komedian Jerman, Jan Boehmermann. Puisi satir itu dia posting begitu saja. “Isinya lucu,” ungkap Merve.

Tak ada media yang memuat puisi yang dianggap menghina Erdogan itu lantaran takut mengalami nasib serupa Merve. Boehmermann juga terancam hukuman yang sama: penghinaan kepada sang presiden.

Cara-cara represif itu mengingatkan akan derita yang pernah dialami Erdogan di tahun 1999 lalu. Erdogan pernah diseret ke pengadilan dan dipenjara oleh militer lantaran membaca puisi penyair muslim nasionalis Turki. Erdogan dijebloskan ke penjara lantaran dituduh mengasut dan menebar ujaran kebencian agama.

Militer Turki memang kala itu berupaya mencari celah menjatuhkan kubu Islam jika terindikasi melabrak konstitusi yang sekuler. Tak sedikit warganya yang dipenjara lantaran dianggap bagian dari kalangan Islam fundamentalis. Di pertengahan tahun 1997 lalu, militer juga membersihkan pegawai negeri yang berpaham konservatif. Sekitar 39 orang seniman juga diadili karena mementaskan drama yang mengisahkan militer Turki yang anti-Tuhan.

Dua Kubu Sulit Bersatu

Upaya Erdogan beserta para pendukungnya untuk membersihkan para pelaku kudeta yang gagal, termasuk membungkam para pengkritik, dengan menebar ancaman pemenjaraan, sebenarnya tidak terlepas dari persoalan ideologis.

Dua kubu: konservatif yang didukung kekuatan Islam dan sekuler yang ditopang militer, kerap kali saling serang dan saling bungkam tatkala diberikan kewenangan berkuasa.

Kudeta yang gagal pada Jum'at malam itu sebenarnya tidak terlepas dari kekhawatiran militer terhadap sosok Erdogan yang ditopang AKP yang bercorak konservantif. Namun, kudeta kali in kontraproduktif.

Tidak ada alasan yang menyakinkan pembenaran bagi militer melakukan kudeta. Kudeta agaknya lebih dicurigai karena kehawatiran militer Erdogan dan AKP berupaya mengubah wajah Turki menjadi lebih religis setelah sekian lama mengadopsi ideologi sekuler.

Lewat jalur politik, kubu konservatif berupaya mengikis pengaruh sekulerisme di Turki. Presiden Parlemen, Ismail Kahraman yang berasal dari AKP pernah menegaskan keinginan pihaknya mengubah konstitusi Turki menjadi lebih Islami. "Konstitusi harus berlandaskan agama," katanya. "Kita adalah negara Islam. Sebagai konsekuensinya, kita harus memiliki sebuah konstitusi agama."

Pernyataan itu tidak lagi sejalan dengan komitmen AKP yang didirikan Erdogan saat ingin merangkul massa sekuler. Erdogan pernah berjanji akan mempertahankan sekulerisme. Erdogan juga menegaskan AKP bukan partai Islam, namun berhaluan konservatif dan demokratis. Dia juga menolak bila Turki menghidupkan lagi nilai-nilai yang pernah diterapkan di era Kesultanan Utsmaniyah.

Baginya, demokrasi, sekularisme, dan undang-undang adalah pilar utama Republik Turki. Karenanya, dia meninggalkan cara-cara kepemimpinan yang diterapkan Necmettin Erbakan, pemimpin Partai Refah berhaluan Islam yang menjadi mentornya.

Erdogan menilai, kepemimpinan Erbakan otoriter yang menyebabkan partai Islam sulit berkembang. Karenanya, Erdogan meninggalkan Erbakan dan mendirikan AKP tahun 2001. Manuver Erdogan itu rupanya menjadi cara menjinakan militer, sekaligus merangkul massa sekuler. Dan, strategi itu berhasil. AKP sebagai partai baru kala itu, langsung menjadi kekuatan politik terbesar di Turki.

Di Pemilihan Umum tahun 2002, AKP berhasil meraih dua pertiga kursi di parlemen. Pada tanggal 10 Agustus 2014, Erdogan terpilih menjadi Presiden Turki ke-12 setelah mengalahkan dua kandidat lainnya yaitu Ekmeleddin Ihsanoglu yang merupakan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam sejak 2005, dan Selahattin Demirtas yang merupakan politisi Kurdi di Turki.

Erdogan berusaha merangkul militer karena militer Turki berafiliasi dengan kubu sekuler. Militer Turki memiliki rekam jejak merongrong kekuasaan saat dipimpin kubu Islam. Tercatat, sudah kelima kalinya militer melakukan kudeta.

Kudeta pertama dilakukan tahun 1960. Kala itu, militer yang dipimpin Jenderal Cemal Gursel, menggulingkan Presiden Celal Bayar dan Perdana Menteri Adnan Menderes. Kedua pemimpin itu dijebloskan ke bui. Menderes pun mati di tiang gantungan lantaran dianggap sebagai penghianat negara. Kekuasaan di Turki lalu diambil alih Gursel hingga tahun 1965.

Di tahun 1971, militer kembali melakukan kudeta. Kali ini, Perdana Menteri Suleyman Demirel yang menjadi korban. Demirel dilengserkan secara paksa lantaran dianggap gagal merespons kemarahan rakyat akibat resesi ekonomi. Instabilitas sosial menjadi alasan bagi militer untuk mengambil alih kekuasaan.

Demirel lalu digantikan oleh Nihat Erim dari Partai Republik sebagai perdana menteri. Kudeta berikutnya, dilakukan tahun 1980. Konflik elit politik kala itu memancing militer untuk mengambil alih kekuasaan sipil. Laksamana Bulend Ulusu mengambil alih pemerintahan hingga 1983.

Di tahun 1997, Perdana Menteri Necmettin Erbakan dipaksa mundur oleh militer dan memaksanya agar mempertahankan warisan Presiden Turki pertama, Mustafa Kemal, yang menghapuskan pengaruh Islam di Turki. Dari aspek kepemimpinan, Erbakan sebenarnya berhasil membawa Turki lebih maju. Namun, militer menganggap Erbakan sebagai ancaman lantaran merepresentasikan kekuatan Islam.

Erdogan sadar akan ancaman militer itu. Karenanya, dia berupaya merangkul militer. Namun, kudeta yang berlangsung Jum'at malam (14/7) itu menunjukan militer alergi dengan Ardogan. Kini, Erdogan dan AKP terang-terangan berhadapan dengan militer. Lantaran merasa mendapat dukungan kuat dari massa konservatif, Erdogan dan AKP pun menyatakan Turki perlu kembali mengadopsi konstitusi bercorak religis.

Nampaknya, kegagalan kudeta menjadi momentum bagi rezim Erdogan untuk mengamandemen konstitusi, dengan mengubah wajah Turki menjadi lebih religis, setelah sekian lama bercorak sekuler. Erdogan boleh saja berdalih, amandemen konstitusi berdasarkan suara-suara mayoritas rakyat Turki.

Namun, kalangan sekuler mengkhawatirkan jika amandemen tersebut diarahkan untuk memperkuat kekuasaan Erdogan. Turki yang berupaya mendorong demokratisasi bisa berubah menjadi negara otoriter. Konflik diperkirakan kian melebar lantaran Erdogan gagal menjembatani kepentingan kubu konservatif dengan sekuler.

******

Gejolak politik yang berkepanjangan menunjukan gagalnya elit Turki mencapai konsensus, yang mengakomodasi pengaruh sekuler dan Islam. Jika terus terjadi, Turki akan senantiasa dihantui konflik yang rawan mengarahkan pada konfrontasi dan anarki. Militer sendiri telah terlalu jauh mencampuri urusan politik, keluar dari batas kewenangan dan melabrak prinsip demokrasi.

Nampaknya, kegagalan militer melakukan kudeta makin menguatkan eksistensi Erdogan dan AKP untuk menancapkan pengaruhnya. Penghianatan terhadap negara dijadikan alasan bagi Erdogan untuk menghimpit gerak militer di ranah politik. Namun, ancaman hukuman mati dan pidana penjara membungkam oposisi yang membuat demokrasi di Turki mati suri.

"Tampaknya, mereka (rezim Erdogan) tidak toleran terhadap setiap gerakan, setiap kelompok, organisasi apapun yang tidak di bawah kontrol mereka," kritik Fethullah Gulen yang dituding Erdogan sebagai dalang kudeta.

Menyingkirkan Gulenisme

Gulen menetap di sebuah desa di Pennsylvania, Amerika Serikat sejak tahun 1999. Ulama moderat asal Turki itu memilih menyepi. Gulen yang menyepi di pengasingan terpaksa tampil di hadapan media setelah Erdogan menudingnya sebagai dalang yang mengorganisir kudeta militer yang gagal pada Jum'at malam (15/7) lalu. Tudingan itu dianggapnya menghinakan.

Di hadapan wartawan, Gulen membantah tuduhan Erdogan dan orang-orang dekatnya. Gulen menganggap Erdogan mengkambinghitamkannya. Gulen sendiri pernah menentang kudeta militer sebelumnya sampai harus merasakan pengapnya penjara.

"Posisi saya tentang demokrasi jelas. Setiap usaha untuk menggulingkan negara ini adalah pengkhianatan," katanya. Gulen menyakini demokrasi tidak dapat dicapai dengan cara-cara militer.

Gulen sebenarnya pernah menjalin persahabatan dengan Erdogan. Namun, di tahun 2013, keduanya pecah kongsi. Gulen pernah mempreteli kebijakan pemerintahan yang dinilainya salah. Erdogan dibuat berang dan menuding Gulen mempolitisasi dugaan korupsi yang menjerat orang-orang dekatnya.

Gulen juga dituduh memiliki "kaki tangan" di lembaga peradilan, termasuk beberapa pejabat yang berada dalam lingkaran kekuasaan Erdogan dan institusi militer maupun kepolisian.

Gulen meninggalkan hiruk pikuk politik di Turki ketika Erdogan makin menampak wajah otoriternya, dengan membersihkan orang-orang Gulen dan mengharamkan gerakan Hizmet dan menyebutnya sebagai organisasi teroris.

Padahal, di Turki, Hizmet menjaga jarak dari partai politik. Tudingan rezim Erdogan jika Hizmet sebagai gerakan teroris sangat berlebihan. "Selama lebih dari 40 tahun, Fethullah Gulen dan Hizmet telah menunjukkan komitmen untuk perdamaian dan demokrasi," demikian pernyataan Alliance for Shared Values, organisasi pendukung Gulen.

Gerakan yang dikembangkan Gulen itu sebenarnya gerakan sosial dan agama yang berorientasi demokrasi dan nilai-nilai keislaman. Gerakan ini diyakini telah menarik jutaan pendukungnya di Turki, Asia Tengah, dan di bagian lain di dunia. Gerakan ini aktif di bidang pendidikan, dengan membangun sekolah-sekolah swasta dan universitas di lebih dari 180 negara. Gerakan ini juga mendorong terlaksananya forum dialog antaragama, mengembangkan investasi di media, pelayanan kesehatan, jasa keuangan, dan nirlaba.

Hizmet juga disebut-sebut sebagai gerakan pasifisme yang berorientasi Islam dan menjadi alternatif salafisme. Gerakan ini memadukan antara Islam dengan paham moderat. Karenanya, gerakan itu menuai apresiasi dari kelompok non-Muslim dan liberal. Hizmet pun disebut-sebut sebagai gerakan Islam global terkemuka.

Soal jumlah pengikutnya, tidak ada yang tahu pasti. Ada yang menyebut berkisar delapan juta orang, yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, pengusaha, akademisi, wartawan dan kalangan profesional lainnya.

Struktur gerakan Gulen ini mengadopsi struktur modern dan mendorong afiliasi daripada melancarkan konfrontasi. Namun, ada juga yang mengkritik gerakan Gulen cenderung sentralistis, patuh dan tunduk pada pemimpinnya. Gerakan Gulen juga disebut-sebut "misionaris" yang bertujuan politik.

Bayangan Sejarah Masa Lalu

Turki yang mayoritas penghuninya beragama Islam, memang identik dengan sekulerisme yang merepresentasikan barat. Sekulerisme itu tidak terlepas dari penetrasi bangsa-bangsa Eropa ke Turki sejak kemunduran Turki Usmani di abad ke-17 dan kekalahan Turki dari bangsa-bangsa Eropa.

Kerajaan Turki Utsmani menuju jurang kehancuran di abad XXI lantaran tak mampu menghadapi serangan negara-negara Eropa. Konspirasi negara-negara barat juga turut memicu kehancuran Turki Utsmani dengan cara memancing perpecahan di internal Turki. Lewat Mustafa Kemal, negara-negara barat berupaya menyusup, mempengaruinya untuk menggulingkan Kekhalifahan Ottoman.

Mustafa Kemal mampu menancapkan pengaruhnya dengan kekuatan militer yang dipimpinnya. Dia pernah menjadi komandan Gallipoli yang berperan besar menghalau pasukan Inggris, Prancis dan Anzaz dalam pertempuran April 1915. Mustafa Kemal juga berhasil memobilisasi kekuataan militer Turki untuk mencegah ekspansi militer barat di Anafarta.

Dia pun dianugerahi gelar Pasha, dengan pangkat Brigadir Jenderal yang perannya sangat besar dalam memimpin pasukan. Mustafa Kemal lalu memimpin gerakan rakyat Turki merebut kembali wilayah-wilayah Turki yang direbut Yunani. Dia juga memobilisasi dukungan rakyat untuk merebut kemerdekaan Turki. Hingga akhirnya, Turki menjadi negara merdeka tanggal 29 oktober 1923 dan berbentuk republik.

Mustafa Kemal pun menyandang gelar Bapak Turki (Ataturk). Sejak itulah, Mustafa Kemal menjadi Presiden Turki pertama, yang mengubah tatanan kehidupan Turki menjadi negara sekuler, modern dengan sistem politik yang demokratis.

Mustafa Kemal juga mendorong reformasi di segala bidang. Dia menyakinkan rakyat Turki jika perlu mengadopsi unsur-unsur dari barat untuk mengimbangi kemajuan bangsa-bangsa Eropa.

Di bawah kekuasaan Mustafa Kemal inilah, Turki mengalami perubahan drastis. Dia melakukan pembaruan dengan mengubah karakterisik Islami Turki dengan sekularisme dan menancapkan nasionalisme yang kuat pada rakyatnya.

Dia menerapkan unsur-unsur barat dalam kehidupan berpolitik, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perubahan itu dilakukan agar Turki dapat mengimbangi kemajuan bangsa-bangsa barat dengan peradaban yang lebih modern. Mustafa Kemal mengubah sistem kekhalifahan, menghapuskan sistem kesultanan, menjadi sistem yang demokratis pada tahun 1922.

Dia menentang politisasi agama, termasuk membebaskan institusi-institusi negara, struktur hukum dan sistem pendidikan dari pengaruh agama. Hingga akhirnya, Turki benar-benar mengadopsi ideologi sekuler pada tahun 1937 hingga kini.

Upaya Mustafa Kemal yang mengubur warisan masa lalu menuai resistensi kalangan ulama konservatif. Mereka ingin Turki tetap mempertahankan identitas sebagai negara Islam. Nampaknya, rezim Erdogan saat ini, ingin mengembalikan nilai-nilai Islam yang pernah mengantarkan Turki mencapai kejayaannya di masa-masa kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.

Namun, tak mudah. Tak cukup sekadar mendapatkan dukungan para pendukungnya. Erdogan harus bisa menyakinkan militer jika konstitusi Islam menjadikan Turki lebih maju. Campur tangan militer dalam urusan negara mengindikasikan adanya kekhawatiran militer nilai-nilai sekuler dikubur rezim Erdogan.

Realitas yang terjadi di Turki menunjukan adanya kegagalan mencapai konsensus, menyebabkan dua kubu: konservatif dan sekuler, yang tak henti berseteru. Kedua kubu itu berupaya saling menghabisi pengaruh musuh-musuhnya tatkala diberikan kepercayaan kekuasaan. Benturan ideologis yang sudah mengarah ke konflik manifest ini sudah membahayakan sehingga bisa mengancam kesatuan Turki.

Turki idealnya membangun konsensus, yang mengakomodasi kepentingan kubu konservatif dan sekuler, mempertahankan demokrasi, dan memastikan tegaknya supremasi hukum. Demokratisasi di Turki dapat terwujud jika militer tidak terlalu dalam mengurusi persoalan politik. Militer harus netral dan hadir sebagai mediator tatkala konflik sipil tak lagi bisa direndam.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : CNN/Reuters/Anadolu
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1503
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya