Terbayang Pamplet Rendra Usai Debat Capres-Cawapres 2019

| dilihat 1246

Catatan Sem Haesy

Saya kecewa menyaksikan program bertajuk Debat Calon Presiden - Wakil Presiden (Capres-Cawapres) 2019, yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis (17/1/19) di Hotel Bidakara, Jakarta, dan disebarluaskan melalui siaran televisi dan radio.

Program debat KPU ini merosot secara kualitatif dibanding dengan Pemilu 2009, yang antara lain menghadirkan Anies Baswedan sebagai Rektor Universitas Paramadina sebagai moderator. Pun ketika hendak dibandingkan dengan program yang sama tahun 2014.

Bahkan, Debat Pilkada DKI Jakarta 2016, jauh lebih bermutu dan memberikan referensi kepada rakyat sebagai konstituen untuk menentukan pilihannya.

KPU nampak tak ambil pusing dengan berbagai pandangan dan masukan yang berkembang beberapa hari sebelum program debat ini berlangsung. Khasnya, ketika melalui berbagai programa siaran televisi, sejumlah kalangan pakar mempersoalkan ihwal 'kisi-kisi' bagi kedua pasang kandidat Capres-Cawapres.

Kemerosotan kualitas program debat ini, terasa tak hanya karena pilihan format, yang masih di lingkup Middle High School Student Debate dalam terminologi Douglas Glenn Whitmen (California State University, Amerika Serikat). Bahkan, ketika KPU menetapkan panelis dan moderator dari kalangan newscaster programa siaran televisi, yang tidak tempatnya memandu Debat Capres-Cawapres.

Mencerdaskan belum, menghiburpun tidak.

Yang dikuatirkan pun akhirnya menjadi kenyataan. Interaksi debat kehilangan substansi terstruktur tentang masalah, solusi, dan resolusi. Bila saja Sandiaga Uno tidak mengucapkan kalimat, "Bapak Presiden" yang ditujukan kepada Jokowi, nyaris tak terasa yang berada di balik podium ada petahana dan oposan.

Elaborasi dua sisi yang mendukung dan yang menentang resolusi, pun tak terasa. Yang mengemuka justru pesan kekuatiran tersembunyi partai di balik pasangan Jokowi - Ma'ruf (seperti dilontarkan) Jokowi terhadap Partai Gerindra, yang dipimpin Prabowo. Dan, Sandiaga, tangkas ketika dia menolak untuk menambahkan jawaban Prabowo, karena bukan bagian struktural dari Partai Gerindra.

Pun kekuatiran partai pendukung dan pengusung Jokowi - Ma'ruf tentang radikalisme, yang disuarakan Ma'ruf Amin yang secara konotatif dan denotatif, hendak melakukan stigmatisasi radikalisme dengan kalangan Islam.

Tak terbayangkan, seorang petahanan bersoal tentang keberadaan perempuan dalam komposisi struktural Partai Gerindra untuk bicara tentang kesetaraan dan keadilan gender. Dan alpa menyebut Puan Maharani sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sebagai salah satu perempuan dalam kabinetnya.

Ooo.. Ho'o Huwo'o.. Debat Capres - Cawapres 2019, boleh dicatat sebagai program debat paling tak menarik sepanjang proses konsolidasi demokrasi berlangsung di negeri ini.

Selain program debat itu tak mencerminkan kemampuan dan pengalaman dua kandidat dalam mengeksplorasi pemikiran untuk memahami, menemukan solusi dan cara menyelesaikan masalah.

Dalam konteks lain, program debat KPU itu, tidak memberikan nilai tambah bagi kedua kandidat, bahkan menurunkan performa petahanan. Tidak memberikan pemahaman lebih mendalam tentang para kandidat.

Kalau saja pasangan Prabowo - Sandi tak memberikan gimmick di penghujung acara, dan Sandiaga Uno tidak memberikan beberapa aksentuasi atas saling lontar pernyataan yang pasilingsingan (alias tidak nyambung: 'apa' ditanya, 'bagaimana' jadi jawaban, ditanya 'bagaimana' menyoal 'siapa.')

Dan biasa, reaksi selepas programa itu, para kaum taklidi pendukung petahana, lebih sibuk mengeksplorasi hal-hal non substantif. Tak cukup tanggap, misalnya, ihwal junjungan mereka terperangkap dalam 'jebakan pertanyaan,' Prabowo ihwal kesan ketidaksinkronan sejumlah menteri ihwal ketersediaan dan import beras.

Kalau boleh memberi saran kepada KPU, lakukanlah evaluasi menyeluruh. Pilih panelis dan moderator yang paling tepat, sehingga mampu menghimpun pertanyaan yang asasi, namun terasa langsung di masyarakat.

Khasnya pertanyaan yang memungkinkan para kandidat berbicara notitia fundatur (berdasarkan data aktual), agar banyak hal yang dirasakan rakyat terkonfirmasi.

Bila hendak menggunakan jurnalis sebagai moderator, pilih yang sekaliber Karni Ilyas, dari kalangan akademisi, sangat banyak guru besar independen dari UI dan UNHAS, UNCEN dan UNSYIAH, ITB dan ITS, UNPAD dan UNLAM (Lambung Mangkurat), UNRI dan UDAYANA atau IPB dan Univ LAMPUNG, misalnya.

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Jokowi Ma'ruf dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Sandi, pun perlu melakukan evaluasi untuk melakukan elaborasi, sehingga performa kedua kandidat makin tajam, fokus, mencerahkan, dan mampu mempengaruhi minat konstituen menggunakan hak pilihnya.

Baik dengan pendekatan afirmatif maupun korektif, sehingga para kandidat bisa memberikan resolusi spesifik untuk dikembangkan.

TPN Jokowi - Ma'ruf dan BPN Prabowo-Sandi, kudu lebih serius bekerja, mendalami aturan perdebatan, termasuk jadwal; meneliti topik dan menyiapkan argumen logis; mengumpulkan bukti dan contoh pendukung untuk posisi yang diambil; merespon dan mengantisipasi argumen balasan dan menyiapkan bantahan. Termasuk menetapkan people hope sebagai pamungkas untuk merasuk ke dalam pikiran konstituen.

Debat, mesti membuka ruang bagi pemenuhan selasar merdeka dan demokratis di pikiran konstituen.

Jokowi - Ma'ruf mesti siap dengan argumen-argumen afirmatif dengan resolusi yang obyektif: menjelaskan pencapaian optimum, mengakui realitas berubahnya janji kampanye masa lalu yang tak terpenuhi, dan langkah yang akan dicapai untuk mewujudkannya.

Prabowo - Sandi mesti siap dengan argumen-argumen penolakan dan tawaran-tawaran solusi atas berbagai masalah nyata berbasis data dan parameter, sekaligus obyektif yang akan dicapai.

Rakyat juga kudu paham seluas-luasnya perbedaan nyata dari Indonesia Maju dan Indonesia Menang secara substantif. Rakyat juga ingin tahu, seberapa besar esensi Indonesia Hebat yang diluahkan pada Pilpres 2014 telah mewujud?

Rakyat juga ingin tahu kebijakan-kebijakan dan kebajikan-kebajikan apa yang disuguhkan Prabowo - Sandi yang lebih bernilai dari repetition promise (pengulangan janji) Jokowi.

Di penghujung program Debat Capres Cawapres 2019 - KPU, seketika melintas puisi Allahyarham Rendra bertajuk Aku Tulis Pamplet Ini dari kumpulan Potret Pembangunan dalam Puisi (1978) :

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring laba-laba
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 274
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 137
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya