Strategi Politik Lama Politik Luar Negeri Malaysia Baru

| dilihat 1085

Sem Haesy

Malaysia Baharu (baca: Baru) di bawah kendali koalisi pemerintahan Pakatan Harapan (PH) yang dipimpin Tun Dr. Mahathir Mohamad (Dr.M), masih tetap berpegang pada strategi politik luar negeri yang lama.

Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengisyaratkan hal itu, dalam kuliah umum bertajuk, "Landasan Luar Negeri Malaysia dalam Malaysia Baharu," di Universitas Paramadina, Jakarta, Sabtu, (20/7/19).

Dikemukakannya, strategi politik luar negeri Malaysia untuk menentukan dasar-dasar politik Malaysia, relatif tidak ada yang berubah. Titik beratnya pada namun peningkatan kualitas strategi itu melalui sustainabilitas prinsip-prinsip dasar politik luar negeri.

Seperti pernah dikemukakan Perdana Menteri Tun Dr. M luar negeri di kantornya, Maret lalu, Malaysia memainkan peran sebagai negara yang bisa berkawan dengan negara-negara lain. Termasuk sikap, tak akan mencampuri urusan dalam negeri negara sahabat.

Kendati demikian, tidak bermakna Malaysia akan memungkinkan perkawanan dengan Israel yang merampasan hak dan kemerdekaan rakyat Palestina. Dan tetap kritis dalam menyikapi berbagai persoalan yang meletup di kawasan serantau, Asia Tenggara. Umpamanya ihwal tekanan Pemerintah Myanmar atas kaum muslim Rohingya di Rahine.

Strategi politik luar negeri ini mirip-mirip dengan strategi politik luar negeri Indonesia yang dikenal dengan prinsip bebas aktif, berpijak pada keyakinan, satu musuh terlalu banyak.

Strategi politik itu sangat bisa dimaklumi, karena Malaysia hendak menaikkan posisi perannya dalam pergaulan antara bangsa, terutama dalam konteks perubahan orientasi yang kuat dari poros Amerika Serikat - Eropa ke Asia Pasifik. Kendati demikian, sebagai satu di antara negara-negara persemakmuran, Malaysia beda format dengan kebanyakan negara-negara jirannya serantau.

Pada masa kepemimpinannya yang pertama (1981 - 2003). Tun Dr.M relatif telah meninggalkan 'warisan' politik luar negeri Malaysia. Sikap dan pandangan personal Tun Dr.M., sangat memengaruhi strategi politik luar negeri Malaysia. Antara lain dengan memainkan peran partisipasi aktif di kancah dunia, bergandengan tangan dengan sikap dan pandangan mitranya dari Indonesia, Presiden Soeharto.

Pada masa itu, Tun Dr.M, sempat membuat Amerika Serikat dan sekutunya, negara-negara yang tergabung dalam NATO (The North Atlantic Oceans: Albania, Belgium, Bulgaria, Canada, Croatia, Czech Republic, Denmark, Estonia, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Italy, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Netherland, Norway, Poland, Portugal, Romania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Turki, British) tersentak.

Tun seolah memperpanjang pekikan kemerdekaan Tunku Abdurrachman dengan bahasa aksi perlawanan Malaysia terhadap sekutu negara-negara yang pernah menjajahnya.

Cara yang ditempuh Tun Dr.M, kala itu adalah mengalihkan orientasi dan titik pandang ke Timur, yang dipandangnya sesuai dengan agenda pembangunan yang dilakukan pemerintahannya.

Politik luar negeri Malaysia, serta merta condong ke Asia Timur Laut, terutama Jepang dan Korea Selatan. Perubahan orientasi itu, bukan tanpa sebab. Sebagai Perdana Menteri, Tun Dr.M., melihat Jepang dan Korea Selatan sebagai contoh 'raksasa tidur' dari Timur, yang bangkit selepas Perang Dunia II.

Orientasi politik luar negeri itu berdampak baik ke lingkungan domestik Malaysia, antara lain terkait dengan perubahan minda dan budaya, terutama etika kerja, kemampuan penguasaan sains dan teknologi, dan manajemen bisnis. Perubahan ini mendorong pencapaian Malaysia yang luar biasa, meninggalkan negara-negara jiran serantau. Khasnya, sejak Wawasan 2020 Malaysia ditabalkan.

Masa itu, terkenal Pidato Tun Dr.M. pada Konferensi Tahunan Gabungan ke 5 MAJECA - JAMECA di Kuala Lumpur - 8/2/82) : "Anda mungkin sadar bahwa akhir-akhir ini saya telah mendorong rakyat Malaysia untuk meniru Jepang, terutama dalam etika kerja dan nilai-nilai etika. Orientasi ulang ini sangat penting pada saat ini dalam perkembangan negara ... Kami telah lama mencari Barat, seperti halnya Jepang pada masa awal perkembangannya. Namun Barat bukan lagi model yang cocok. Mereka kehilangan kendali."

Penguatan hubungan bilateral Malaysia - Jepang masa itu, dipandang Amerika dan sekutunya di Barat sebagai aksi radikal politik luar negeri Malaysia. Karenanya mereka berupaya 'menghentikan,' lewat Anwar Ibrahim - Wakil Perdana Menteri yang disiapkan Tun Dr.M., menggantikannya. Ketidaksabaran Anwar membuatnya terbaling ke luar pemerintahan.  

Malaysia bahkan aktif menginisiasi pembentukan Kaukus Ekonomi Asia Timur. Gagasan ini membuat AS dan sekutunya gusar, karena gerakan Tun Dr.M akan membawa serta reorientasi politik luar negeri negara-negara Asia tenggara. Amerika Serikat dan Barat bereaksi dengan mencetuskan NAFTA (North America Free Trade Agreement) - perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara, yang kemudian menjadi koalisi baru Amerika Serikat - Kanada - Meksiko.

Kaukus Ekonomi Asia Timur (EAEC - East Asia Economic Caucus) dirancang untuk mempromosikan ekonomi regional, kendati konotasi proteksionisnya tak disepakati seluruh negara Asia Tenggara, seperti Singapura yang menjadi kepanjangan tangan Amerika dan Barat di Asia Tenggara. Terutama menyusul reaksi negatif Australia dan Selandia Baru.

Malaysia via Tun Dr.M dianggap telah memainkan sikap defensif terhadap Barat dan sikap tanpa kompromi yang dimanifestasikannya dalam aksi politik luar negeri dianggap menyebarkan eksklusivitas dalam perlawanan terhadap ketidakseimbangan ekonomi politik internasional yang terus menerus.

Orientasi Malaysia yang pro-Jepang selama dekader 1980-an dan 1990-an telah dipersepsikan sebagai sikap 'anti-Barat.' Terutama, karena Tun Dr.M dengan gencar melontarkan kritiknya yang kuat terhadap dominasi politik dan ekonomi AS di ajang internasional.

Sikap ini diikuti oleh perubahan cara dalam menyikap kebijakan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment - FDI) dari Barat. Hal tersebut, seirama dengan keteguhan sikap Tun Dr.M., sebagai pemimpin visioner, dan menghadirkan kebijakan-kebijakan industrialisasi memainkan peran penting dan besar dalam mempengaruhi pandangan kebijakan luar negerinya.

Menyadari, bahwa keperluan mengadopsi teknologi tinggi tak cukup hanya dari Jepang dan Asia Timur Laut, tetapi juga dari Barat, Tun Dr.M bersiasat dengan membuka sedikit celah bagi Barat. Khasnya dalam mewujudkan sejumlah prioritas pembangunan infrastruktur sebagai mesin pertumbuhan ekonomi (seperti Jembatan Penang, Multimedia Super-Corridor - MSC), Menara Kembar PETRONAS - KLCC), Bandara Internasional Kuala Lumpur - KLIA) Putrajaya dan lain-lain yang mempopulerkan Malaysia di peta dunia.

Siasat Tun Dr.M., diwujudkan dalam prasyarat tertentu dalam konteks mendorong FDI, karena pembangunan infrastruktur menyediakan prasyarat yang diperlukan. Namun, pendekatan pro-FDI diarahkannya untuk memicu industrialisasi berorientasi ekspor (EOI) ditambah dengan retorika anti-Barat yang keras atas nama nilai-nilai Asia. Efeknya adalah terbuka luas lapangan kerja, tak hanya bagi rakyat Malaysia, melainkan juga untuk sejumlah negara jirannya, terutama Indonesia, Filipina, dan negara sahabat penyedia tenaga kerja murah, Banglades.

Kata kunci kebijakan politik luar negeri Malaysia ketika itu adalah keperluan utama mewujudkan keadilan dalam pergaulan dunia, dengan titik berat pada upaya mengimbangi hubungan yang tidak adil, yang masih tersisa dari era paska kolonial.

Tun Dr.M., tidak mempersoalkan terjadinya bifurkasi atau sikap ganda dalam konteks strategi dalam dimensi geo-politik dan geo-ekonomi dari kebijakan luar negeri Malaysia. Namun demikian, sekeras apapun sikapnya terhadap Barat, Tun Dr.M., tidak mengutuk Barat karena berkuasa dominan dengan kekayaannya. Karena dia lebih menentang persepsi kemunafikan Barat dengan standar ganda, terutama dalam pengaturan multilateral yang sangat bias terhadap hak dan kepentingan negara-negara berkembang dan kurang berkembang.

Tun Dr.M pun berteriak, menuntut reformasi PBB, yang dipandang banyak kalangan sebagai ekspresi sikap tidak mempercayai pandangan materialisme formal dunia, tentang Barat, yang bertentangan dengan apa yang disebutnya, 'nilai-nilai Asia' dan budaya-budaya di Timur.  Sikap ini yang menjadi pangkal perselisihannya dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan 'Konsensus Washington' pada puncak Krisis Keuangan Asia (1997).

Tetapi sejarah mencatat, dengan sikap Tun Dr.M., dan politik luar negeri Malaysia dengan strategi perkawanan Asia Timur dan Selatan-Selatan, membuat Malaysia menggeliat dan tumbuh menjadi negara termaju di Asia Tenggara.

Kebijakan dan sikap itu tidak diikuti oleh penerusnya, Tun Abdullah Badawi (Pak Lah) dan Dato Seri M. Najib Tun Razak, sehingga Malaysia menghadapi berbagai masalah yang menyeruak kuat dalam politik domestik. Termasuk soal rasuah, korupsi. Kondisi deklainasi Malaysia itulah yang membuat Tun Dr.M, memainkan peran sebagai 'kakek cerewet di rumah kita' dan bertemu arus kepentingan dengan para pembangkang, khasnya Anwar Ibrahim (Partai Keadilan Rakyat) dan Lim Kit Siang (Democratic Action Party), kemudian Mat Sabu (Partai Amanah) - yang hengkang dari Partai Al-islam Se-Malaysia (PAS). Persekutuan mereka, berhasil menumbangkan Barisan Nasional (BN) dan sekaligus Najib dari kursi Perdana Menteri. Dan Tun Dr.M., kembali ke Putrajaya dalam usia lanjut (92 tahun).

Dalam kuliah umumnya, Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah lebih banyak bicara normatif dalam dimensi kekinian dan masa depan, tanpa mengulang syarahan tentang perubahan orientasi strategi politik luar negeri Malaysia di era kepemimpinan Tun Dr.M., pada fase pertama. Mungkin, karena Tun Dr.M., kerap menyampaikan tak akan lama lagi memimpin Malaysia dan akan menyerahkan kepemimpinan kepada Anwar Ibrahim - kendati belum akan sungguh terjadi karena persoalan internal di lingkungan Anwar Ibrahim (PKR) sendiri.

Akankah arah strategi politik luar negeri Malaysia di era kepemimpinan Tun Dr.M., kini berubah orientasi menjadi : berkawan dengan semua negara? Boleh jadi memang begitu, tetapi dengan reserve. Hal itu tampak pada sikap Tun Dr.M., yang merupakan representasi utama Malaysia menyikapi OBOR (One Belt One Road) yang diinisasi China dan TPP (Trans Pacific Partnership) yang diinisasi Amerika Serikat dan kawanannya di Pasifik ( dimotori Australia - Selandia Baru).

Di KTT China dan KTT ASEAN, Tun Dr.M bicara lugas ihwal penguatan kerjasama regional mengukuhkan ASEAN dengan penguatan hubungan perdagangan serantau, terutama karena pemerintahan sebelumnya sudah membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Saya memahami esensi Strategi Politik Lama Malaysia Baru dalam komnteks luar negeri Malaysia, tak sepenuhnya akan tebebas dari sikap dan integritas Tun Dr.M., yang terkenal keras sekaligus kritis, itu. Apalagi kini, dia merupakan pemimpin tertua di dunia yang disegani kawan dan lawan.

Keputusan Tun Dr.M., melantik diplomat karir sebagai Duta Besar Malaysia untuk Indonesia adalah salah satu cara siasat (political way) politik luar negeri Malaysia, memperkuat ASEAN. Terutama, karena Menteri Luar Negeri Republik Indonesia juga merupakan diplomat karir. China dan Amerika Serikat mesti mencari siasat baru untuk mengukuhkan dominasinya di Asia Tenggara, selama Tun Dr.M masih memimpin Malaysia. |

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 238
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 408
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 256
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 227
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 322
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya