Saling Jegal Jawara Pilkada

| dilihat 1635

AKARPADINEWS.COM | TRI Rismaharini bisa jadi urung bertarung di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Surabaya. Bukan lantaran dirinya tidak siap atau tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, Risma, demikian sapaannya, tidak ada lawan yang bersedia bertarung dengannya. Karena menjadi calon tunggal, KPU pun memperpanjang masa pendaftaran.

Jika hingga masa perpanjangan pendaftaran tidak juga ada lawan yang bersedia bertanding dengan Risma, maka KPU menyatakan Pilkada Kota Surabaya ditunda hingga 2017. Sebelumnya, KPU telah memperpanjang masa pendaftaran hingga tanggal 3 Agustus 2015 karena hingga menjelang batas waktu yang ditentukan, 28 Juli 2015, masih ada daerah yang hanya mengusulkan satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Risma, calon walikota Surabaya petahana yang berpasangan Whisnu Sakti Buana itu urung berlaga setelah pasangan Dhimam Abror-Haries Purwoko, yang awalnya diusung Koalisi Majapahit, mundur dari bursa pencalonan. Koalisi itu terdiri Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, memasuki injury time, partai-partai pendukung Dhimam-Haries tiba-tiba menarik dukungan. Tidak jelas apa dalihnya.

Namun, mundurnya Dhimam-Haries menebar motif politis. Koalisi Majapahit dianggap bermanuver menjegal Risma. Caranya, tidak mengusulkan calon sehingga hanya ada calon tunggal di Pilkada Kota Surabaya.

Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah, maka Pilkada ditunda hingga tahun 2017 jika hanya diikuti satu pasangan calon kepala daerah. Penyelenggara Pemilu dan pemerintah nampaknya abai mengantisipasi munculnya fenomena calon tunggal di Pilkada serentak yang akan digelar serentak tanggal 9 Desember 2015.

Risma diperkirakan bakal menang meski dikeroyok calon yang diusung banyak partai politik. Karena, elektabilitasnya tak terkalahkan. Wanita kelahiran Kediri, Jawa Timur, 20 November 1961 itu dinilai sebagian besar masyarakat Surabaya, sukses memimpin kotanya.

Dalam Pilkada langsung, elektabilitas, popularitas, dan rekam jejak, menjadi tolak ukur utama bagi calon untuk memenangkan pertarungan. Dalam hal ini, Risma yang terbaik dibandingkan calon-calon lain yang pernah disebut-sebut bakal bertarung di Pilkada.

Risma mampu menyulap Surabaya yang tadinya panas menjadi asri dan bersahabat dengan hiasan taman-taman kota yang indah. Selama empat tahun berturut-turut (2011-2014), di bawah kepemimpinan Risma, Surabaya meraih Penghargaan Adipura untuk kategori kota metropolitan. Surabaya juga menjadi kota terbaik tahun 2012 versi Citynet atas keberhasilan pemerintah kota dan partisipasi rakyat dalam mengelola lingkungan.  

Pada Oktober 2013, Surabaya juga meraih Future Government Awards untuk data center dan inklusi digital, mengalahkan 800 kota di seluruh Asia-Pasifik.  Pada tahun 2014, Surabaya meraih penghargaan internasional Future City versi FutureGov untuk Surabaya Single Window (SSW). Penghargaan itu diberikan untuk sistem pelayanan kemudahan izin investasi Kota Surabaya.

Tak hanya itu, Risma di tahun 2015 juga masuk dalam jajaran 50 tokoh berpengaruh di dunia versi majalah Fortune bersama tokoh-tokoh lain seperti CEO Facebook Mark Zuckerberg, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan tokoh lainnya.

Menanggapi menuver yang menghambatnya untuk kembali menjadi walikota, perempuan yang berkarakter tegas itu menjawab enteng. "Tidak merasa dirugikan, dikira enteng apa jadi Wali Kota Surabaya," katanya di Jakarta, Selasa (4/8). Berbekal rekam jejak, Risma menegaskan integritasnya dalam berpolitik. "Kalau dengan uang, masalah (calon tunggal) selesai, tapi kita mau ini benar-benar murni pemilihan, ya jadinya begini," katanya. Dia menolak transaksi, termasuk dengan partai pendukungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Nasib serupa juga dialami calon petahana, pasangan Ahyar Abduh dan Mohan Roliskana (AMAN). KPU Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan pasangan calon walikota dan wakil walikota Mataram itu urung bertarung di ajang Pilkada 2015 karena menjadi calon tunggal.

Padahal, sebelumnya, pasangan itu bakal bertarung dengan pasangan RIDO (Rosiadi dan Kasdiono). Di ajang Pilkada Kota Mataram, AMAN diperkirakan menang. Selain petahana, AMAN juga didukung sembilan partai politik yakni Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), PAN, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PKB, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sementara RIDO diusung tiga partai yakni Demokrat, PDIP, dan Gerindra serta dukungan dari Partai Perindo. Jika Risma diusung PDIP, Ahyar Abduh diusung Golkar. Ketua DPD Golkar Kota Mataram (2009-sekarang) itu mengharap, pemerintah pusat memberikan solusi atas masalah calon tunggal.

Di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur terjadi fenomena serupa. KPU setempat menyatakan, Pilkada Pacitan hanya diikuti pasangan Indartato-Yudi Sumbogo yang diusung Demokrat, PPP, PKS, dan Partai Nasdem. Indartato adalah calon walikota petahana yang diperkirakan akan menang. Dia adalah kader Partai Demokrat.

Selain tiga daerah tersebut, Pilkada dengan calon tunggal juga terjadi di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur).

Dan, bisa saja jumlah calon tunggal itu akan bertambah karena ada 83 daerah yang hanya diikuti dua pasangan bakal calon. Bisa saja, partai pendukung salah satu calon menarik dukungan sebagai bentuk menuver politik menggagalkan jawara Pilkada. Dengan demikian, gugurlah pasangan itu. Dan, bisa juga salah satu dari dua pasang calon itu hanya menjadi calon boneka agar Pilkada digelar.

Sebagian besar calon yang urung bertarung di Pilkada 2015 adalah calon petahana. Partai pendukung kandidat lain nampaknya memilih mundur dari pertarungan lantaran kemungkinan besar gagal mengalahkan petahana. Laku politik transaksional, menyebabkan mereka mencabut dukungan daripada membuang biaya dan energi, termasuk manuver menggagalkan calon petahana.

Apabila Pilkada ditunda hingga 2017, maka ada jeda waktu yang cukup panjang bagi mereka untuk melakukan pembusukan politik terhadap calon kuat yang integritas dan kompetensinya tidak lagi diragukan masyarakat. Bisa juga digunakan untuk bergaining position terhadap calon-calon kuat. Sementara di sisi lain, kekosongan kekuasaan  (vacuum of power) mengakibatkan roda pemerintahan tidak efektif sehingga rakyat dirugikan.

Dengan dalih itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tidak sepakat dengan putusan KPU yang menunda Pilkada hingga 2017. Selain karena menyangkut keberlanjutan jalannya roda pemerintahan, Tjahjo juga menekankan amanat konstusi yang menegaskan, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih. Sampai-sampai, muncul opsi ada 'bumbung kosong' atau pun penetapan langsung.

Hingga akhirnya, KPU memutuskan, waktu pendaftaran untuk tujuh daerah yang hanya memiliki pasangan calon tunggal ditambah. Opsi itu merupakan rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Jadi buat KPU, landasan dari rekomendasi Bawaslu cukup untuk kebijakan ini (menambah masa pendaftaran)," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik di Gedung KPU, Jakarta, Kamis (6/8).

Masalahnya, bagaimana jika hingga menjelang batas waktu, tidak ada partai yang mendaftarkan calonnya? Pilkada tentu akan ditunda. Lagian, buat apa Pilkada digelar jika sudah diketahui bakal ada yang menang. Sementara biaya Pilkada cukup besar.

Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, seluruh dana penyelenggaraan Pilkada bersumber dari APBD dan didukung APBN. Dan, ironisnya, defisit anggaran makin bertambah lantaran harus menopang anggaran Pilkada.

Cara-cara partai politik menarik dukungan kepada bakal calon yang telah digadang-gadangkannya, menunjukan jika partai politik menerapkan logika untung rugi. Calon petahana memang kemungkinan besar bakal menang jika selama memimpin tidak memiliki cacat seperti terindikasi korupsi atau melakukan tindakan amoral.

Calon petahana memang lebih populer dibandingkan para pendatang baru dan didukung birokrasi. Dengan dukungan birokrasi, ia mampu merealisasikan program-program yang sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat sehingga turut mendongkrak citra dan elektabilitasnya.

Beberapa fakta memaparkan, seringkali program-program sosial yang didanai APBD maupun APBN dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan diklaim sebagai bentuk program yang disusunnya. Lihat saja, banyak program-program sosial seperti bantuan sosial, selalu nongol tampang calon petahana di tengah-tengah kegiatan masyarakat.

Tetapi, bukan berarti petahana tidak dapat dikalahkan karena banyak sosok yang memiliki kemampuan mumpuni dan dikenal luas masyarakat. Idealnya, memang partai politik yang mengusulkan kadernya untuk bertarung di ajang suksesi. Masalahnya, partai politik minim kader yang berkualitas lantaran gagal melakukan kaderisasi. Partai politik terpaksa mengekor dengan partai politik lain yang kadernya dipandang lebih berkualitas dalam memimpin.

Sebenarnya banyak sosok yang layak diusung di Pilkada jika partai politik benar-benar menjadi instrumen menjaring calon pemimpin berkualitas. Namun, partai politik umumnya "alergi" untuk memberikan dukungan lantaran sosok itu tidak memiliki uang, meski tingkat elektabilitasnya tinggi.

Harusnya, partai politik memantau sosok yang memiliki kans untuk diusung di Pilkada. Sosok itu tentu yang memiliki rekam jejak yang baik, berintegritas, kompeten, dan memiliki elektabilitas yang tinggi di masyarakat. Sosok itu juga memperlihatkan komitmennya mengubah nasib rakyat agar lebih baik, misalnya terlibat dalam aksi-aksi sosial, pemberdayaan masyarakat, atau intensif melakukan advokasi bersama menghadapi persoalan yang dialami masyarakat.

Di tengah kehidupan masyarakat, banyak sekali sosok pejuang itu. Namun, peluang mereka untuk memimpin di pemerintahan tertutup lantaran partai tidak melirik mereka. Partai politik enggan mengusung mereka karena minim logistik. Partai politik berpandangan, kampanye tanpa logistik, sulit maksimal menjangkau rakyat.  Namun, seringkali publik menangkap pesan, partai politik lebih merangkul calon yang berkantong tebal karena membayar "mahar" politik dan bagi-bagi kekuasaan.

Partai politik tak ubahnya ”barang dagangan” di mana para elit menjadikan partai politik sebagai alat untuk transaksi guna merealisasikan kepentingan pragmatis. Demi meraih jatah kekuasaan, para elit mereduksi komitmen, visi dan misi, ideologi, dan program kerja partai yang idealnya untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat.

Dominasi elit menjadikan partai politik tak terlembaga, sebatas subordinasi kepentingan para pentolannya. Partai politik sulit beradaptasi dengan dinamika dan kompleksitas tantangan dan persoalan kekinian. Cara berpolitik para elit itu berbeda dengan ekspektasi rakyat yang ingin kandidat yang diusung partai politik memiliki rekam jejak yang baik, memiliki integritas, profesional, kompeten, kapabel, dan memenuhi kriteria pemimpin ideal lainnya, yang dapat benar-benar menjalankan mandat kekuasaan yang mensejahterakan rakyat.

Uang memang logistik utama dalam menghadapi pertarungan politik. Uang ibarat pelumas yang mampu menggerakan mesin politik, iklan politik, membayar mahar untuk mitra koalisi, termasuk memobilisasi dukungan dari masyarakat. Di tengah kondisi rakyat yang masih sekarat, dengan modal uang, mereka yang bertarung di panggung suksesi, tiba-tiba menjadi penderma, yang menebar hartanya. Mereka membagi-bagi sembako, baju, maupun uang kepada masyarakat.

Mereka juga mengajak masyarakat bersuka cita, menikmati hiburan—yang jarang sekali dinikmati masyarakat.

Ribuan poster dan ratusan spanduk mereka tebar ke segala penjuru, dengan mimik wajah bersahabat. Jargon-jargon yang mengatasnamakan kepentingan rakyat pun mereka kumandangkan. Persis iklan produk komersil yang menjanjikan kualitas dan kepuasan kepada konsumen.

Idealnya, pola interaksi yang dibangun politisi dengan rakyat tidak sekadar saat musim suksesi saja. Demi kepentingan politik jangka panjang, partai politik harus terus membangun hubungan dengan rakyat sehingga terbentuk massa yang mengakar.

Politik pada prinsipnya tidak sekadar berorientasi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dimensi etis politik menuntut politisi mengaktualisasikan sense of crisis dan tidak mementingkan golongan tertentu saja.  Dalam konteks ini, suksesi tidak bisa hanya dimanfaatkan sebagai momentum merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Namun, juga terkait dengan kebutuhan yang mendesak akan pentingnya regenerasi kepemimpinan guna menjaga keberlanjutan pemerintahan. Dengan demikian, jika partai politik berpikir untung rugi dalam menghadapi suksesi, atau menang kalah saja, maka upaya menghambat suksesi dengan tidak mengajukan calon, berarti pengabaian hak-hak konstitusional rakyat dalam memilih dan dipilih.

Manuver politik jelang Pilkada memang tak bisa dihindari. Jegal menjegal menjadi hal lumrah dalam suksesi. Semua partai politik pasti akan berjuang bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan. Namun, manuver partai politik untuk menghambat kemenangan calon lain dengan cara tidak mencalonkan kandidatnya di ajang suksesi, merupakan fenomena baru.

Jika mencermati konstelasi politik nasional, upaya menghambat Pilkada sudah terlihat jauh-jauh hari. Dan, ada juga kubu yang mendesak segera dilaksanakan Pilkada, meski masih ada sejumlah celah yang dapat memunculkan masalah di Pilkada. Kubu yang paling ngotot mendesak Pilkada digelar sesuai jadwal karena merasa paling siap bertarung.

Adalah Partai Golkar yang jauh-jauh hari menghembuskan wacana penundaan Pilkada. Beragam manuver dilancarkan partai beringin dalam setiap proses pembahasan persiapan Pilkada, mulai dari masalah pendanaan, pengamanan, mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada, termasuk desakan revisi Undang-Undang Pilkada. Golkar juga memperkarakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dugaan penyimpangan anggaran Pemilu 2013-2014 sebesar Rp334 miliar. BPK rencananya merampungkan hasil auditnya pada 13 Agustus mendatang. Dan, bukan mustahil, hasil audit nanti bakal meramaikan isu seputar penggunaan anggaran Pilkada yang kemudian makin meramaikan polemik jelang Pilkada.

Desakan penundaan Pilkada sebenarnya lantaran ketidaksiapan Golkar. Partai yang dibesarkan rezim Orde Baru itu tidak siap menghadapi Pilkada lantaran dililit konflik internal. Jika Pilkada diselenggarakan tahun ini, Golkar kemungkinan terseok-seok karena mesin partai tidak bergerak optimal.

Di internal Golkar, dua kubu (Aburizal Bakrie dan Agung Laksono) hingga kini masih berseteru. Perseteruan itu merembet ke pengurus daerah. Jelang Pilkada, di beberapa daerah, konflik Golkar mengemuka. Lantaran khawatir bakal kandas di ajang Pilkada, Fraksi Golkar DPR kubu Aburizal pun melakukan manuver untuk menggagalkan Pilkada. Sejumlah isu dihembuskan terkait persoalan Pilkada.

Sebaliknya, sikap ngotot pemerintah yang didukung PDIP dan mitranya di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) agar Pilkada digelar tepat waktunya karena ambisi kekuasaan. PDIP berkepentingan memastikan Pilkada digelar tahun ini karena dalam kondisi solid dan siap bertempur. Jauh-jauh hari, PDIP melakukan konsolidasi.

Namun, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada memiliki banyak kelemahan. Sejah jauh hari, politisi Partai Gerindra itu mengatakan, pemerintah sudah diperingatkan DPR agar merevisi UU tersebut. Namun, tidak direspon. 

M. Yamin Panca Setia 

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1195
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 749
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 902
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 858
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya