ASEAN

Politisi Rindu Kuasa Abai Krisis Kesehatan dan Resesi Ekonomi

| dilihat 617

Fadhillah

COVID 19 merebak, usai Malaysia menggelar Pilihan Raya Negeri (PRN) Sabah untuk memilih anggota Dewan Undangan Negeri (di Indonesia disebut DPRD) dan Ketua Menteri (Gubernur) Negeri Sabah.

Sabah yang menjadi negeri otonom dalam Negara Persekutuan Malaysia, masih menjadi salah satu cluster abah Covid-19 ketika PRN diselenggarakan.

Meski para petinggi partai politik yang terjun ke sana mengaku mengikuti protokol Covid-19 dengan ketat, tak urung, ketika mereka pulang, berlaku aturan untuk melakukan karantina mandiri.

PRN Sabah memicu lonjakan kasus baru sampai 260.  Noorhisam Abdullah, Direktur Jendral Ketahanan Kesehatan Malaysia yang juga ketua satgas pemberantasan Covid-19 mengemukakan kepada media, peningkatan kasus baru merupakan isyarat awal dari gelombang baru serangan Covid-19.

Dia mendesak seluruh rakyat Malaysia diam dan bekerja di (dari) rumah, menjauhi kontak fisik dan mendatangi kerumunan, sekaligus menggunakan pelitup (masker), dan mencuci tangan dengan benar.

Aturan tentang sanksi bagi siapa saja yang tidak menggunakan pelitup (RM1.000), belum dicabut. Di beberapa titik tertentu yang menjadi kluster baru penyebaran wabah, bahkan diberlakukan hukuman tambahan.

Para pelanggar aturan penggunaan pelitup di tahan sementara dan di bawa ke kuburan tengah malam, diminta merenung hakekat kematian dengan proses pemakaman yang tak biasa.

Pemaksaan kehendak para politisi untuk memenuhi syahwat politiknya, seperti diduga Tun Mahathir Mohammad, yang juga dokter, terbukti telah membawa persoalan baru merebaknya wabah. Padahal, negara jiran itu sedang memasuki tahap pemulihan kesehatan, sosial, dan ekonomi dengan belanja sosial yang tak kecil.

Pada Maret 2020, Malaysia menggelontorkan 250 miliar ringgit (US $ 57 miliar), untuk meningkatkan fasilitas pembiayaan yang sudah ada, yang diterbitkan dalam paket stimulus sebelumnya.

Tujuannya untuk mendukung dunia usaha, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), membantu rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah, serta memberikan suntikan fiskal guna memperkuat perekonomian nasional.

Pemerintah juga akan menyediakan internet gratis bagi penduduk selama periode lockdown serta meningkatkan jaringan telekomunikasi negara.

Pemerintah Malaysia serius memerangi dampak langsung wabah Covid-19 pada sektor rumah tangga, yang paling rentan di negeri itu.

Dampaknya positif, ketika kurva penularan wabah melandai, angka kesembuhan terus meningkat, dan korban yang mati menurun bilangannya sampai di bawah satu digit.

Tapi, para politisi lebih suka mengurusi kepentingan syahwat politik mereka, hasilnya adalah meningkatnya kembali tren penularan wabah itu.

Apa yang terjadi di Malaysia itu, mestinya menjadi pelajaran berharga bagi politisi di negara-negara jirannya, terutama bagi Indonesia -- yang sedang bergelindan dengan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Serentak di beberapa daerah. Juga, bagi Thailand yang masih berkutat dengan friksi antara mereka yang berkuasa dengan kaum pembangkang (oposan).

Prinsip 'keselamatan nyawa manusia' sebagai hukum tertinggi, bagi para politisi, nampaknya tak berlaku. Karena bagi mereka, kekuasaan adalah segalanya, sambil tak juga jelas bagaimana kelak mereka mengelola kekuasaan dan bagaimana pula dampak positifnya bagi rakyat.

Melihat kasus PRN Malaysia, Pilkada dapat menjadi kluster baru penyebaran wabah nanomonster yang berdampak kematian, ini. Terutama, karena omongan para pemburu kuasa tentang komitmen mereka terhadap keselamatan jiwa rakyat adalah bumbu retorika semata. Omongan yang disampaikan begitu saja, tanpa menggunakan nalar.

Tak ada jaminan para penyelenggara dan peserta Pilkada mampu menghindari kerumunan dan kontak fisik. Tak ada jaminan juga mereka peduli dengan kapasitas infrastruktur dan suprastruktur kesehatan yang relatif tak sanggup melawan serangan nanomonster Covid-19.

DI sisi lain, kita juga tak yakin, mereka mafhum dengan realitas dampak ekonomi Covid-19 yang sedang melemahkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Situs ASEAN Briefing mengabarkan informasi mutakhir di Brunei per 25 September, 146 kasus - tak ada kasus baru; di Kamboja per 2 Oktober, 278 kasus; di Indonesia 4.007 kasus baru dan 83 kematiaan per 3 Oktober, sehingga jumlah korban menjadi 299.506 kasus dan 11.055 kematian; di Laos 22 kasus; di Malaysia pada 3 Oktober 317 kasus baru dengan 1 kematian, sehingga total menjadi 12.088 kasus dan 137 kematian.

Di Myanmar, per 2 Oktober, terdapat 1.142 kasus baru dan 32 kematian, sehingga total menjadi 15.525 kasus dan 353 kematian. Filipina, per 3 Oktober mengalami 2.674 kasus baru dan 62 kematian, sehingga total menjadi 319.330 kasus dan 5.678 kematian. Singapura melaporkan enam kasus baru pada 3 Oktober, sehingga total menjadi 57.800.

Di Thailand, per 3 Oktober, terdapat delapan kasus baru, sehingga total menjadi 3.583 dan 59 kematian. Hanya Vietnam yang per 3 Oktober 2020, tak mengalami penambahan kasus baru.

Pemerintah Filipina dan Myanmar bersikap tegas dalam menunjukkan konsistensinya memerangi wabah sebagai cara untuk menanggulangi dampak ekonomi yang ditimbulkan. Indonesia?

Para petinggi negeri ini, agaknya masih senang 'berbalas pantun' dan menunjukkan kuatnya memproduksi alasan menyembunyikan realitas, katimbang sibuk berkolaborasi melakukan sinergi menemukan cara mengatasi masalah. Simpang siur informasi dan infodemi, menyebabkan timbul sikap skeptis masyarakat (hampir separuh) atas keberadaan nanomonster, ini.

Sebagian terbesar rakyat Indonesia, terkesan tak dipandu untuk melihat koneksi antara krisis kesehatan akibat Covid-19 dan kondisi resesi ekonomi yang terus merayap. Semangat pencitraan lebih menguasai jalan pikiran para petinggi di Indonesia, sehingga abai terhadap berbagai isyarat luruhnya perekonomian kawasan serantau, yang sudah memberi lampu kuning sejak beberapa bulan terakhir.

Terjangan krisis kesehatan dan krisis ekonomi yang merangsek secara hipodermis sejak organisasi kesehatan dunia (WHO) mengtumumkan pandemi global, 11 Maret 2020, terkesan dianggap sebagai fenomena krisis ekonomi biasa.

Bahkan, ketika 9 April 2020, wabah COVID-19 yang berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, China, ini telah menjangkau 203 negara, menulari 1.476.819 orang, dengan 87.816 kematian (84.477 di antaranya di luar China), sejumlah petinggi di Indonesia masih merespon dengan senda gurau.

Belakangan, baru tersengat, ketika beberapa petinggi dan seorang menteri terpapar. Pada bulan September 2020, lebih banyak lagi petinggi dan menteri yang tertular.

Para ekonom kritis -- meski tak didengar suaranya -- tak kenal lelah mengingatkan, bagaimana pemerintah harus bersikap dan memilih prioritas, karena Covid-19 sungguh berdampak negatif pada ekonomi ASEAN dan seluruh dunia pada tahun 2020.

Seperti analisis ASEAN Briefing, sektor-sektor utama telah terpengaruh, terutama sektor transportasi dan pariwisata, ritel dan jasa lainnya; operasi bisnis sehingga rantai pasokan terganggu; pekerjaan dan mata pencaharian terancam; sedangkan kepercayaan konsumen menurun. Analisis itu, yang juga dirasakan realitasnya oleh semua kalangan masyarakat miskin, wabah COVID-19 telah mengurangi prospek pemulihan ekonomi dari perlambatan global yang luas tahun lalu.

Selaras dengan itu, maklumat awal analisis para ekonom di media mainstream di seluruh dunia, memperkirakan dampak singkat dan terbatas pada ekonomi global, sejalan dengan penyebaran eksponensial wabah ke Eropa, AS, dan dan negara-negara ASEAN, memicu penurunan prospek pertumbuhan ekonomi.

Ironisnya, sejumlah negara, termasuk Indonesia termakan 'jebakan fantasi' IMF (International Monetery Fund), dengan iming-iming rating dan prospek pertumbuhan ekonomi. Padahal, IMF sebelumnya telah meremehkan dampak ekonomi nanomonster Covid-19, sambil mengharapkan pemotongan 0,1 poin persentase (ppt) menjadi 3,2persen.

IMF akhirnya merevisi prospeknya, pada 4 Maret 2020, ke tingkat yang lebih rendah dari pertumbuhan global 2,9persen kwartal pertama pada 2019, sebelum mengumumkan bahwa ekonomi global akan menghadapi resesi (23 Maret 2020).

Akanhalnya OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dalam berbagai laporan tentang dampak wabah COVID-19 (2 Maret), memperkirakan penurunan 0,5 ppt dari perkiraan awal 2,9 persen pertumbuhan global untuk 2020, menjadi 2,4 persen, atau hampir setengahnya menjadi 1,5 persen pada kasus wabah global yang berkepanjangan.

Bank Pembangunan Asia (ADB) merilis Asian Development Outlook 2020, terkait dengan wabah COVID-19, dan memperkirakan pertumbuhan 2,2 persen untuk Asia Berkembang, dan pertumbuhan 1,0 persen untuk Asia Tenggara, didukung oleh ekonomi China kehilangan kecepatan. (Tabel 1). Dengan asumsi bahwa pandemi dapat diatasi tahun ini dan tidak memiliki efek riak yang serius pada sistem keuangan, pemulihan dapat dilakukan tahun 2021 dan negara berkembang Asia bisa tumbuh 6,2 persen.

Indonesia -- entah dengan pertimbangan apa -- memprediksi pertumbuhan akan mencapai 5 persen. Adakah karena pertimbangan faktor China yang merupakan mitra dagang dan investor eksternal terbesar ASEAN. Atau karena terperangkal dalam iming-iming analisis IMF dengan segala varian dampaknya, seperti munculnya gagasan menghilangkan independensi Bank Indonesia (bukan justru melikuidasi OJK - Otoritas Jasa Keuangan) yang juga tak efektif dalam mengawasi industri jasa keuangan, sejak berdiri.

Sempoyongannya perekonomian Indonesia dan negara-negara ASEAN, antara lain disebabkan oleh sektor transportasi dan pariwisata yang tersungkur drastis. Terutama, karena perekonomian Asia Timur yang juga mengalami krisis dan resesi. Padahal, Asia Timur merupakan salah satu sumber utama wisatawan terbesar ke ASEAN.

Situasi ini nampak dengan jelas pada bisnis hotel, restoran, maskapai penerbangan, dan juga usaha kecil. Kendati di beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, rakyat yang terkena dampak diberikan keringanan pajak, pinjaman darurat, subsidi bantuan tunai bagi pekerja.

Malaysia menempuh langkah-langkah mitigasi tambahan, selain menerapkan dengan ketat penerapan protokol, khasnya dalam pemberlakuan aksi pembatasan sosial berskala besar (PDBB); penutupan sementara sekolah, kantor, dan bisnis yang tidak penting; dan pemberlakuan karantina.

Dampak ekonomi dan konsumsi juga meningkat akibat penghentian produksi, terganggunya operasi bisnis, dan pembatasan pergerakan orang secara luas yang memicu kemiskinan persisten dengan penambahan jumlah rakyat miskin baru.

Semua ini, hanya masuk dari kuping kiri ke kuping kanan dan tak mampir di nalar dan nurani para politik yang sibuk dengan romantisme personalnya, rindu kuasa. |

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya