Politisi Pewaris Gen Korupsi

| dilihat 1815

RITA Widyasari pernah disebut-sebut sebagai kepala daerah terbaik. Dia dianggap berhasil menata kelola pemerintahan. Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur yang dipimpinnya, pernah menjadi percontohan supervisi pencegahan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kinerjanya dalam mengelola keuangan pemerintahan pun diacungi jempol. Selama lima tahun berturut-turut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan penilaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Pemerintah Kabupaten Kukar yang dipimpinnya.

Bupati Kukar yang menyukai musik rock itu pun dinobatkan sebagai figur pemimpin bersih dan melayani dari Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI). Penghargaan itu rencananya akan disematkan padanya 27 September 2017 di Hotel Santika, Tangerang, Banten.

Tetapi, sehari sebelum menerima penghargaan itu, Rita menjadi tersangka KPK. Politisi Golkar kelahiran Tenggarong, 11 November 1973 itu diduga menerima gratifikasi lebih dari Rp6 miliar. Uang haram itu diterima dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima Hery Susanto Gun alias Abun pada Juli dan Agustus 2010.

Gratifikasi yang diterima Rita diduga untuk mempermulus terbitnya izin lokasi keperluan inti dan plasma perkebunan kelapa sawit di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman. Khairudin, Komisaris PT Media Bangun Bersama juga ditahan KPK. Orang dekat Rita itu disebut-sebut mengorganisir Tim 11, yang mengendalikan proyek pemerintahan di kabupaten yang kaya sumberdaya alami itu.

Di hadapan wartawan, Rita mengaku, uang yang diterima dari Abun, bukan terkait perizinan sawit. Namun, terkait jual beli emas yang transaksinya berlangsung 2010. "Emasnya sebanyak 15 kilogram. Emas itu diberikan dari bapak saya, lalu dijual. Ini murni penjualan emas," kata bakal calon gubernur Kalimantan Timur yang diusung Partai Golkar itu. Dia juga membantah keberadaan Tim 11 yang dikomandoi Khairudin.

Dengan nada rada bercanda, Rita mengatakan, "Saya cuma ada kesebelasan (tim sepakbola) yang bernama Mitra Kukar." Rita boleh saja membantah. Tetapi, publik memaklumi bantahan orang-orang yang berurusan dengan KPK. Alibi para tersangka korupsi umumnya begitu sempurna. Atas nama Tuhan, mereka juga bersumpah tak melakukan dosa.

Dua hari sebelum dijebloskan ke penjara, Rita teringat pesan ayahnya, Syaukani Hasan Rais, yang wafat tahun lalu. Lewat akun facebook, dia menulis, "Teringat pesan bapak ku, badan boleh terpenjara, tapi tidak pikiran dan pendukung ku. Dunia ini hanya lintasan sejenak. Penjara itu tempat khusuknya ibadah." Mungkin, pesan ayahnya tersebut yang membuat Rita terlihat tenang saat digelandang petugas KPK ke penjara, meski sebelumnya mangkir dari pemeriksaan KPK.

Rita nampaknya mewarisi gen korupsi dari ayahnya, yang pernah berurusan dengan KPK karena korupsi. 28 Juli 2008, Pak Kaning, sapaan Syaukani, divonis enam tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) karena menyalahgunakan jabatannya sebagai Bupati Kunkar periode 1999-2004. Karena terbukti korupsi, jabatannya sebagai bupati untuk periode kedua (2005-2010) pun dibatalkan.

Sepanjang tahun 2001 hingga 2005, Syaukani terbukti menggasak dana perangsang pungutan sumber daya alam migas, dana studi kelayakan pembangunan Bandara Kutai, dan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp113 miliar.

Gen jahat yang diwarisi orang tua kepada anaknya juga nampak dalam perkara yang menyeret Tubagus Iman Ariyadi. Wali Kota Cilegon, Banten itu ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, 22 September 2017. Dia diduga menerima suap ratusan juta rupiah terkait perizinan kawasan industri.

Tubagus Iman diketahui anak Tubagus Aat Syafaat, Wali Kota Cilegon periode 2000-2005 dan 2005-2010. Sang ayah pernah divonis tiga tahun enam bulan penjara oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena korupsi proyek dermaga Trestle Kubangsari di Cilegon tahun 2012. Aat yang wafat 10 November 2016, terbukti merekayasa lelang dan mengelembungkan harga (mark up) proyek pembangunan dermaga. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp11,5 miliar.

Marlina Moha Siahaan, mantan Bupati Bolaang Mongondow juga mewarisi gen jahat kepada anaknya, Aditya Anugrah Maho. Aditya, politisi muda Partai Golkar yang terpilih sebagai anggota DPR dua periode (2009-2014 dan 2014-2019), harus mendekam di penjara karena menyuap Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado, Sulawesi Utara, Sudiwardono.

Pria kelahiran Kotamobagu, 21 Januari 1982 itu, menggelontorkan suap sebesar 64 ribu dollar Singapura kepada Sudiwardono, untuk mempengarui putusan banding agar membebaskan ibunya dari penjara. "Saya berusaha maksimal demi nama seorang ibu," katanya usai diperiksa penyidik KPK, 6 Oktober 2017.

Marlina merupakan mantan Bupati Bolaang Mongondow dua periode (2001-2006 dan 2006-2011), yang divonis lima tahun penjara karena korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa sebesar Rp 1,25 miliar. Meski sudah divonis, Marlina diketahui bebas berkeliaran.

Keterlibatan orang tua dan anak dalam kasus korupsi juga terjadi dalam proyek pengadaan laboratorium dan Al Quran. Dalam perkara itu, mantan anggota Komisi VIII DPR dari Partai Golkar, Zulkarnen Djabar divonis 15 tahun penjara. Dia terbukti korupsi proyek yang dilaksanakan Kementerian Agama tahun 2011-2012 itu.

Putranya, Dendy Prasetya turut divonis delapan tahun penjara dalam kasus tersebut. Sungguh tak habis pikir kelakuan ayah dan anak ini menggasak proyek kitab suci Al-Quran.

Perkara korupsi yang menyeret Rita, Tubagus Iman, Aditya maupun Dendy, menunjukan ada korelasi gen jahat orang tua terhadap anak-anaknya. Pengaruh lingkungan keluarga kian menyebabkan gen jahat itu bersemayam. Karenaya, hukuman penjara yang pernah dirasakan orang tuanya, tak menyadarkan mereka untuk tak melakukan dosa yang sama.

Gen busuk itu disembunyikan lewat penampakan. Mereka terlihat religis, memperlihat sikap dan perilaku berempati serta sering melontarkan retorika bernada moral. Ada juga uang hasil korupsi digelontorkan untuk pembangunan rumah ibadah, menyumbang anak yatim maupun fakir miskin. Mungkin, sumbangan dari korupsi dianggap bisa mengikis dosa. Jika logika itu diyakini, sama saja menjungkirbalikan nilai-nilai agama.

Kala perilaku koruptif terungkap, alibi mereka begitu sempurna. Di hadapan juru warta, mereka pun tak ada rasa malu menebar senyum. Ada juga yang merengek karena merasa tidak bersalah. Upaya menempuh jalur hukum pun dilakukan seperti mengajukan pra peradilan dan memperkarakan komisioner KPK.

Mereka juga enggan mundur dari jabatannya. Padahal, ada ketentuan yang mewajibkan pejabat mundur dari jabatannya karena diduga terlibat kejahatan seperti diatur dalam Tap MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Tap MPR itu menegaskan, seorang pejabat publik harus berhenti dari jabatannya jika membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan keresahan atau sorotan publik. Etika pemerintahan juga mengamanatkan kepada pejabat publik untuk siap mundur apabila telah melanggar kaidah dan sistem nilai maupun dianggap tidak mampu memenuhi amanat masyarakat.

Mereka harusnya mundur dari jabatannya tanpa harus dibuktikan lebih dahulu kesalahannya di pengadilan. Itu merupakan cerminan pertanggunjawaban etis seorang pejabat publik. Budaya mundur juga untuk menjaga citra institusi negara di hadapkan rakyat.

Namun, dengan dalih prosedur formal yang belum membuktikan kesalahannya, mereka tidak bersedia mundur. Mereka tetap ingin berada dalam pusaran kekuasaan, meski di pengadilan berkali-kali namanya disebut terlibat dalam kasus korupsi.

Adanya pengaruh gen jahat yang diwarisi orang tua terhadap kejahatan yang dilakukan keturunannya, mungkin sebatas hipotesa. Karena, korupsi juga dilatari berbagai aspek, baik sosiologis, psikologis, politik maupun ekonomi. Fakta juga mengurai, tidak ada korelasi antara rekam jejak orang tua, dengan kejahatan korupsi yang dilakukan anak-anaknya.

Seseorang yang orang tuanya penjahat, belum tentu melakoni profesi sebagai penjahat. Sebaliknya, orang tua yang religis, belum tentu anaknya mengikuti kesolehannya. Perkara korupsi yang menyeret Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron misalnya. Fuad adalah cucu Kiai Haji Syaikhona Kholil atau Mbah Kholil, ulama yang sangat dihormati di Bangkalan.

Hamzah Haz, mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyebut, Kiai Kholil sebagai wali. Idealnya, genetika baik Mbah Kholil diwarisi Fuad. Nyatanya, Fuad yang juga bergelar kyai, divonis 13 tahun penjara oleh MA karena menerima suap jual beli gas alam di Bangkalan. Harta kekayaanya yang mencapai Rp414 miliar dirampas negara karena tidak dapat dijelaskan asal-usulnya.

*****

Literasi mengenai kajian korupsi dari prespektif hukum, politik, sosiologi, psikologi, maupun ekonomi, banyak ditemukan. Praktik pembenahannya pun sudah dilakukan. Era demokratisasi saat ini mendorong birokrasi lebih mengedepankan transparansi dan akuntabilitas sebagai prinsip penerapan sistem pemerintahan yang bersih (good and clean government).

Namun, praktik korupsi masih sering terjadi. Bahkan, kian parah. Sosiolog Selo Soemardjan mengambarkan, korupsi di negara ini sudah tumbuh ke atas dalam hierarki dan mendatar ke daerah-daerah. Bahkan, korupsi sekarang bergandengan dengan kolusi yang melibatkan pejabat pemerintah dan pengusaha kaya untuk mendapatkan keuntungan bersama (Klitgaard, 2005). Di tambah lagi dengan praktik suap dan pungutan liar (pungli) yang disetorkan kepada pejabat pemerintah yang memegang jabatan strategis.  Pendapat itu mengibaratkan korupsi bak kangker yang terus menjalar. Jika tidak ada upaya mengamputasi, korupsi akan makin menggerogoti daya tahan bangsa ini.

Pembenahan sistem nampaknya sia-sia karena gen jahat masih mengidap dalam diri mereka yang berkuasa. Dengan mengakali sistem dan aturan yang ada, mereka mencari celah korupsi. Aspek individu nampaknya lebih dominan menjadi penyebab korupsi. Dalam konteks ini, penting mengkaji faktor genetis yang memicu kejahatan korupsi.  

Thomas Aquinas (1226-1274) telah mengingatkan tentang perilaku buruk orang-orang kaya yang hidup untuk kesenangan dan memboroskan kekayaannya. Jika suatu kali jatuh miskin, mudah baginya menjadi pencuri. Demikian pula pendapat Abdul Rahman Ibn Khaldun (1332-1406). Dalam tulisannya di abad ke-14, Khaldun menganggap, nafsu untuk hidup bermewah-mewah di kalangan kelompok yang berkuasa merupakan akar penyebab korupsi.

Manusia juga memiliki kehendak bebas (free will). Dalam bertingkah lalu, manusia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan tindakannya berdasarkan keinginannya. Dengan kata lain, manusia berperilaku jahat dipengarui oleh penderitaan dan kesenangan. Asumsi itu bisa dipahami bahwa korupsi itu ibarat pisau bermata dua. Korupsi dapat muncul dari kemakmuran, namun dapat pula karena kemiskinan.

Sementara Edwin Sutherland dalam pidatonya di depan American Sociological Society tahun 1939, menyebut, korupsi sebagai kejahatan yang dilakukan oleh "orang-orang terhormat” dan memiliki status yang tinggi dalam kaitan dengan jabatannya.

Istilah yang populer disebut kejahatan kerah putih (white collar crime). Mereka yang terjebak dalam kubangan korupsi itu adalah para elit, orang kuat, orang berpendidikan, pengusaha, pejabat negara, bahkan mereka yang dianggap publik memiliki tingkat pemahaman agama yang baik sehingga mampu membedakan antara dosa dan pahala.

Tesis Sutherland itu mempreteli anggapan jika korupsi lebih didasari faktor kemiskinan. Seseorang memang berpotensi melakukan korupsi tatkala dihadapi kebutuhan hidup. Jenis korupsi ini biasanya disebut korupsi kecil-kecilan (petty corruption).

Umumnya dilakoni pegawai bawahan, tidak menerima gaji atau gajinya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Sementara politisi melakukan korupsi besar-besaran. Namanya, korupsi kekuasaan (corruption of power).  Jenis korupsi skala besar ini terjadi akibat keserakahan (Stuecelberger, 1999). Dampaknya sangat luar biasa, merusak sendi-sendi kehidupan di negara ini.

Genetika korupsi juga dapat dipahami sebagai warisan kekuasaan korup kepada pada generasi berikutnya. Semakin kuat rezim korup itu menancapkan kroninya, maka semakin menjalar gen korupsi ke rezim berikutnya. Dan, gen busuk itu yang menyebabkan politisi alergi dengan pemberantasan korupsi.

*****

Di akhir abad ke-19, ketika teori genetik diterima luas dalam menganalisa fenomena kejahatan, pernah dilakukan sterilisasi yang tidak manusiawi, menyingkirkan orang-orang jahat, idiot, bodoh, dan pemerkosa. Itu dilakukan karena khawatir gen jahat dalam dirinya, tertular ke keturunannya. Cara demikian sulit diterima akal sehat. Itu sama saja menyimpulkan kejahatan karena genetis tidak dapat diobati.

Meski demikian, dalam kriminologi, analisa berbasis genetika, dapat kian menerangkan asal-usul kejahatan seseorang, apalagi dikaitkan dengan aspek psikologi dan lingkungan. Kajian terkenal yang menghubungkan faktor genetik dengan kejahatan yakni studi tentang orang kembar (twin studies), adopsi (adoption studies).

Dari hasil penelitian yang dilakukan Karl Cristiansen dan Sarnoff A.Mednick terhadap 3.586 pasangan kembar di Denmark antara tahun 1981-1910, ditemukan pada identical twins (kembar indentik) jika pasangannya melakukan kejahatan, maka 50 persen pasangannya juga melakukan hal sama. Sementara pada fraternal twins (kembar tidak identik), angka tersebut hanya 20 persen. Temuan itu mendukung hipotesa jika pengaruh genetika meningkatkan resiko perilaku jahat seseorang.

Studi tentang adopsi juga pernah dilakukan terhadap 14.427 anak di Denmark antara tahun 1924-1947. Penelitian itu menunjukan sebanyak 13,5 persen dari anak-anak yang orang tua angkat dan orang tua asli tidak tersangkut kejahatan, terbukti melakukan kejahatan.

Lalu, sebanyak 14,7 persen dari anak-anak yang orang tua angkatnya terlibat kriminal, tetapi orang tua asli tidak, terbukti melakukan kejahatan. Sementara anak-anak yang orang tua angkatnya tidak melakukan kejahatan, tetapi orang tua kandung melakukan kejahatan, 20 persen terbukti melakukan kejahatan.

Kemudian, sebanyak 24,5 persen dari anak-anak yang orang tua angkat dan orang tua asli kriminal, terbukti melakukan kejahatan. Temuan itu mendukung klaim bahwa kejahatan orang tua kandung memiliki pengaruh lebih besar terhadap anak dibanding kriminalitas dari orang tua angkat.

Meskipun teori genetik diragukan validitasnya, pemahaman tentang kejahatan berbasis genetik, dapat dikonseptualisasikan secara rasional dengan membandingkan pengaruh lingkungan. Lingkungan keluarga salah satunya, diyakini cenderung mewarisi gen jahat. Pandangan ini menyakini perkembangan perilaku dan mental seseorang dipengarui gen orang tua dan lingkungan keluarga, tempat mereka dibesarkan.

Fakta memang mengurai. Dalam beberapa kasus korupsi, pelaku tidak bergerak sendiri. Selain melakukan persekongkolan jahat dengan rekan atau mitra kerjanya, pelaku juga melibatkan pihak lain yang memiliki pertalian darah seperti isteri, adik, kakak, saudara ipar, dan sebagainya. Perannya sebagai pengaman dan penyamar aset korupsi. Bisa pula menjadi penghubung antara pejabat yang bertalian darah dengannya dengan pihak lain yang berkepentingan.

Dalam urusan mengamankan aset jarahan, koruptor yang berlatarbelakang pejabat, memang kesulitan menyimpan uangnya di bank atas nama pribadinya. Karena, perbankan menerapkan Customer Due Dilligence (CDD) kepada mereka yang berisiko tinggi (politically exposed person) melakukan kejahatan pencucian uang (money laundering). Aturan itu tidak bisa menjamin kerahasiaan dana yang disimpan di bank. Apalagi, dana itu mencurigakan.

Untuk mensiasatinya, aset korupsi pun dialihkan ke pihak lain, yang umumnya ke keluarga dekat. Cara itu dilakukan karena lazimnya, isteri, anak, maupun saudara kandung, cenderung tidak ingin borok korupsi yang dilakoni bapak maupun anggota keluarganya menguap. Mereka berupaya menyimpan aib keluarga.

Dalam kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) yang menyeret Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov) misalnya. Dari dokumen yang didapat jaksa, terungkap jika isteri dan anak-anak Setnov diduga berada di dalam pusaran kasus itu.

Saat menghadirkan Setnov sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, (3/11), terungkap jika isteri dan anak Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor dan Reza Herwindo, diduga memiliki saham mayoritas (80 persen) di PT Mondialindo Graha Perdana yang menjadi peserta proyek e-KTP.

Setnov mengaku pada tahun 2002, menyerahkan sahamnya di PT Mondialindo kepada Heru Taher. Karena Heru meninggal dunia, dia menyerahkannya kepada Deniarto Suhartono, yang pernah menjabat Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera. Setnov pun dicecar pertanyaan soal alih saham itu. Menurut jaksa penuntut umum KPK, Taufiq Ibnugroho, dari dokumen yang didapat, kepemilikan saham dialihkan dari Heru ke Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Direktur PT Murakabi Sejahtera tahun 2008-2011.

Irvanto diketahui keponakan Setnov. Dari Irvanto, lalu dialihkan ke istri Setnov. Soal itu, Setnov mengaku "Tidak tahu." Jaksa juga menanyakan soal posisi Dwina sebagai komisaris di PT Murakabi tahun 2011. Lagi-lagi, Setnov mengaku, "Tidak tahu."

Setnov dihadirkan dalam persidangan itu sebagai saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi Narogong didakwa mendapatkan keuntungan US$1,499 juta dan Rp1 miliar dalam proyek pengadaan KTP-e yang merugikan keuangan negara Rp2,3 triliun.

Begitu juga dalam kasus korupsi yang melibatkan Fuad Amin Imron. Dia menyamarkan aset jarahan atas nama istrinya, Siti Masnuri, dan mengalirkan uang ke rekening anaknya, Makmun Ibnu Fuad, serta sejumlah kerabatnya

Ada juga yang berupaya mempertahankan sanak saudara di episentrum kekuasaan. Demi mengukuhkan kekuasaan, mereka membangun dinasti politik. Di Banten, Ratu Atut Chosiyah misalnya, berhasil membangun dinasti politik. Bekas Gubernur Banten yang kini mendekam di penjara karena korupsi, berhasil menempatkan kerabatnya dalam struktur kekuasaan.

Adik iparnya, Airin Dahmayani kini menjabat Wali Kota Tanggerang Selatan. Adik Atut, Ratu Tatu Chasanah menjadi Bupati Serang, dan adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman menjabat Wali Kota Serang. Lalu, Andhika Hazrumy, anak pertama Ratu Atut, kini menjabat Wakil Gubernur Banten.

Konstitusi memang tidak melarang warga negara menduduki jabatan politis. Masalahnya, politik kekerabatan menciptakan parasit demokrasi. Seorang anak atau isteri gubernur yang maju sebagai calon bupati, cenderung mengunakan kekuasaan yang berada dalam kendali suaminya, untuk menggerakan birokrasi agar mendukung pencalonannya. Dinasti politik juga menyuburkan oligarki politik, di mana kekuasaan dikuasai segelintir orang yang bertalian darah.

Korupsi di Banten menjadi bukti bahayanya politik dinasti. Seperti diketahui, Wawan, adik Atut, memainkan peran sebagai pemburu rente dari proyek-proyek yang didanai APBD Banten maupun APBD Kota Tangerang Selatan. Wawan, suami Airin, menggunakan kekuasaan untuk menguasai proyek yang dibiayai negara, dengan menunjuk kontraktor yang menjadi kroninya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Transparansi Anggaran (Mata) Banten (2013) mencatat, kroni Atut menguasai sedikitnya 175 proyek pengadaan barang dan jasa di Kementerian Pekerjaan Umum dan pemerintahan di Banten. Total nilai kontraknya mencapai sekitar Rp1,148 triliun.

Wajar jika hidupnya bergelimpang harta. Berdasarkan Laporan Kekayaan Harta Penyelenggara Negara (LHKPN) tanggal 24 Agustus 2010, kekayaan Wawan dan Airin, mencapai Rp103 miliar, di antaranya berupa mobil-mobil mewah, tanah dan bangunan di Tangerang, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Cianjur, Sumedang, Bandung, Bogor, dan Serang. Kekayaan Atut tak kalah fantastis. Jumlahnya mencapai 41,93 miliar.

Karenanya, di tahun 2010, sempat muncul wacana untuk menghukum keluarga koruptor yang terseret dalam perkara korupsi. Namun, wacana itu mandeg. Ironisnya, mantan narapidana, termasuk narapidana korupsi, masih berpeluang menjadi wakil rakyat maupun kepala daerah. Peluangnya menduduki jabatan strategis terbuka setelah Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun 2015, membatalkan aturan pelarangan mantan narapidana yang telah dihukum lima tahun penjara atau lebih, untuk menjadi calon legislatif (caleg) maupun calon kepala daerah.

Siapa pun memang berhak memilih maupun dipilih seperti dijamin dalam konstitusi. Namun, apakah azas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) layak diterima kepada koruptor? Apa tidak ada lagi di negeri ini yang lebih cakap dan berintegritas daripada mereka? 

Mereka memoles citra dengan uang, retorika bernada moral, dan perilaku layaknya dermawan. Mereka juga melakukan dramaturgi agar dikesankan pro pemberantasan korupsi atau pemimpin yang melayani. Padahal, mereka menyembunyikan watak asli dan motifnya, untuk mendapatkan dukungan masyarakat agar dapat merebut dan mempertahankan kekuasaan.  

*****

Bibit Samad Rianto dalam bukunya, Koruptor Go To Hell. Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia (2009) mengibaratkan korupsi di negara ini seperti gunung es di permukaan air laut. Walaupun berhasil menghancurkan permukaannya, selalu muncul lagi gunung es yang baru. Sebab, di bawah permukaan air laut, masih terdapat bongkahan es yang lebih besar. Meski berhasil memenjarakan koruptor sebanyak-banyaknya, akan tetap muncul koruptor baru sepanjang akar masalah korupsi (bongkahan es yang berada di bawah air laut) tidak dihancurkan.

Bongkahan es di bawah permukaan air laut itu disebut kerawanan korupsi (corruption hazard), meliputi lokasi, manusia, barang, dan kegiatan. Lokasi yang rawan korupsi seperti  perpajakan, Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk lokasi pengeluaran uang negara dimulai dari perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggungjawaban dan pengawasan anggaran.

Sementara manusia terkait faktor bawaan, campuran bakat maupun lingkungan. Korupsi juga tidak sekadar terkait perilaku, moral, mental, gaya hidup, lingkungan, dan kebutuhan. Namun, seperti dijelaskan John Girling dalam buku Corruption, Capitalism and Democracy (1997), korupsi terkait masalah sistem politik dan ekonomi.

Korupsi tidak hanya menyangkut aspek penyimpangan perilaku sosial yang diidentifikasikan oleh institusi hukum. Korupsi juga lebih dari masalah kejahatan. Namun, korupsi merupakan produk sistem ekonomi politik serta dorongan budaya yang terlihat dalam sikap permisif masyarakat.

Dalam konteks politik, korupsi mencerminkan kegagalan sistem politik yang menciptakan ketidakseimbangan proses akuisisi kekuasaan politik antara masyarakat dengan elit dan lemahnya hak-hak warga dalam mengontrol kekuasaan. Karenanya, diperlukan sistem yang memastikan keseimbangan fungsi checks and balances di lembaga-lembaga politik.

Dan, disadari atau tidak, korupsi patalogis yang mengidap di struktur dan kultur kekuasaan maupun birokrasi, menjalar ke masyarakat yang terlihat dari padangan dan sikap yang permisif. Mereka enggan konfrontasi. Bukan lantaran tidak berani, tetapi karena dikondisikan oleh sistem politik dan birokrasi yang korup. Orang-orang yang tadinya jujur, tiba-tiba terseret korupsi lantaran birokrasi, tempat bekerja, mengajarkannya berperilaku korup.

Ada pula yang menganggap korupsi sebagai bagian dari budaya dan sekadar perilaku menyimpang biasa. Padahal, tidak ada masyarakat manapun yang mengamini korupsi. Ada juga yang menganggap korupsi kecil-kecilan tidak merugikan dan kadang dianggap perlu dilakukan untuk memperlancar kepentingan. Dalam kondisi demikian, kanker yang bernama korupsi akan terus menjalar.

Gen korupsi hanya bisa dimutilasi jika hukum tidak pandang bulu dan kuatnya komitmen pertobatan orang-orang yang memegang kekuasaan. Penegakan hukum juga harus lebih tajam kepada mereka yang punya kuasa. Tidak seperti saat ini, oknum aparat hukum justru banyak yang terlibat dalam pemufakatan jahat untuk sama-sama menikmati uang korupsi. Dalam kondisi abnormal saat ini, dibutuhkan penerapan hukum progresif. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 237
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 461
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 452
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 421
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya