Pilkada Serentak, Apa Urgensinya?

| dilihat 2125

AKARPADINEWS.COM | Bagaimana mungkin seorang politisi rela menghabiskan uang hingga mencapai Rp50 miliar untuk menjadi kepala daerah? Sementara gaji kepala daerah yang diincarnya tak berbanding lurus dengan modal yang digelontorkannya.

Gaji gubernur saja hanya berkisar Rp8,4 juta per bulan. Sedangkan bupati atau walikota gajinya sebesar Rp5,8 juta per bulan. Jika dikalkulasikan selama lima tahun masa kerjanya, maka total pendapatan gubernur mencapai Rp510 juta dan bupati atau walikota, sebesar Rp384 juta.

Apakah politisi itu sudah kebanyakan uang hingga rela menggelontorkan uang sebanyak itu? Apa benar dia ikhlas mengorbankan banyak uang, waktu, dan pikiran, semata-mata untuk kepentingan rakyat? Dalam politik, tidak ada makan siang gratis (there is no free lunch).

Politisi ditakdirkan untuk merebut kekuasaan. Demi mendapatkan kekuasaan, segala cara dilakukan. Dan, di era liberalisasi politik saat ini, uang menjadi senjata utama untuk menggerakan mesin-mesin politik, membayar mahar untuk mitra koalisi, termasuk memobilisasi dukungan dari masyarakat.

Di tengah kondisi rakyat yang masih sekarat, mereka yang bertarung di panggung suksesi, tiba-tiba menjadi penderma, yang menebar hartanya. Mereka membagi-bagi sembako, baju, maupun uang kepada masyarakat. Mereka juga mengajak masyarakat bersuka cita, menikmati hiburan—yang jarang sekali dinikmati masyarakat.

Lantunan musik dan goyangan erotis sejumlah artis di panggung kampanye, mampu menghipnotis masyarakat—melupakan sejenak persoalan hidup yang menderanya. Sayang, tak sedikit, kampanye ala huru-hara itu berakhir anarkis.

Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukan, sejak Pilkada langsung digelar di 2005 hingga Agustus 2013, tercatat sebanyak 75 orang meninggal dunia dan 256 lainnya cedera. Amuk massa pendukung yang jagonya kalah juga kerap terjadi sehingga mengakibat kerusakan sarana fisik yang nilainya tidak sedikit.

Ironisnya, tatkala politisi sukses menduduki kursi kekuasaan, mereka ada yang berubah menjadi buas, menggasak setiap sumber-sumber keuangan pemerintah. Sosok penderma itu berubah culas lantaran dibayangi niat jahat, mengembalikan modal kampanye yang telah dikeluarkannya. Kekuasaan pun disalahgunakan untuk mengeruk upeti sebanyak-banyaknya.

Gaji kepala daerah memang kecil. Namun, dengan kewenangan yang dimiliknya, kepala daerah dapat berkehendak sesukanya untuk mendapatkan sumber-sumber uang. Memang, tak ada data pasti yang menunjukan besarnya pemasukan ke kantong kepala daerah dari luar gajinya. Namun yang pasti, jumlah tidak sedikit.

Banyak modus yang biasa dilakukan. Kepala daerah dapat menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan proyek-proyek pemerintahan atau berkoalisi dengan pihak lain yang terlibat dalam penggarapan proyek pemerintahan. Dengan begitu, kepala daerah kecipratan fee. Inilah pangkal korupsi yang menjangkiti pemerintahan.

Itu baru biaya yang keluar dari kocek para peserta Pilkada. Belum lagi biaya yang dikeluarkan negara. Berdasarkan hitungan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), biaya peyelenggaraan satu Pilkada kabupaten atau kota bisa mencapai Rp25 miliar. Sedangkan, biaya penyelenggaraan pilkada provinsi, bisa mencapai Rp 100 miliar. Dengan demikian, total biaya yang dikeluarkan untuk menggelar Pilkada di semua daerah mencapai Rp17 triliun.  

Liberalisasi politik yang memicu biaya politik tinggi (high cost politics) harus disikapi karena menjadi akar persoalan korupsi politisi.  Opsi yang ditempuh untuk menekan biaya politik adalah menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak.

Tahun ini, kompetisi politik akbar itu mulai dilaksanakan sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang diterbitkan Susilo Bambang Yudhoyono selaku presiden waktu itu. Untuk jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2016, pilkada serentak digelar tahun 2018.

Presiden Joko Widodo telah melakukan finalisasi yang mengatur masalah teknis pelaksanaan Pilkada serentak. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno memastikan, tidak ada perubahan lagi dalam rancangan pelaksanaan Pilkada serentak.

Selain masalah teknis, finalisasi juga membahas aspek keamanan. Menteri Tedjo memastikan sudah dilakukan koordinasi dengan Polri dan TNI terkait persiapan pengamanan pelaksanaan Pilkada serentak.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) rencananya menggelar Pilkada serentak tahun ini di Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara dan Bengkulu, serta 181 kabupaten atau kota.

Segala persiapan dilakukan. KPU segera membentuk badan penyelanggara Pilkada di tingkat kecamatan (PPK) dan kelurahan (PPS) pada 19 April 2015. Selanjutnya, penyelenggara Pilkada itu menerima penyerahan syarat dukungan dari calon gubernur dan wakil gubernur pada 20 Mei 2015. Sedangkan, penyerahan dukungan calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota pada 7 Juni 2015.

Kemudian, pada 9-24 Juni, KPU melakukan pendataan pemilih, yang kemudian dilakukan pemutakhiran data pemilih pada 24 Juni- 6 November 2015. Sementara kampanye Pilkada 2015, akan dimulai pada 28 Agustus hingga 6 Desember 2015.

Lalu, pemungutan suara direncanakan akan berlangsung pada 9 Desember 2015. Tanggal 29 Februari 2016, KPU menetapkan calon bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota terpilih. Sedangkan penetapan gubernur dan wakil gubernur terpilih akan dilakukan pada 1 Maret 2016.

Bukan Sekadar Urusan Logistik

Persoalannya, suksesi politik bukan sekadar urusan logistik. Namun, yang paling penting adalah suksesi politik harus berjalan demokratis, partisipatif, damai, dan mampu menghasilkan pemimpin yang mengakar, berkualitas, dan memiliki integritas.

Pilkada yang demokratis dapat terwujud jika penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas dan fungsinya secara independen, memiliki integritas dan kompeten. Pengalaman sebelumnya menunjukan, tak sedikit petugas penyelenggara Pemilu yang “main mata” dengan salah satu kandidat.

Kecurangan penyelenggara Pemilu menjadi pemicu konflik antar kandidat—yang kemudian memacing amuk massa pendukungnya. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyidangkan 113 perkara Pilkada. Ada 84 komisioner KPU di daerah yang dipecat lantaran menyalahgunakan kewenangannya.  

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah model kampanye Pilkada yang cerdas, efektif, efisien, dan memunculkan simpati rakyat. Idealnya, kampanye tidak melulu lewat pengerahan massa atau dengan cara menghambur-hamburkan uang untuk ditebar ke masyarakat.

Tradisi kampanye dialogis harus terus dibangun. Kampanye harus membuka ruang kepada masyarakat untuk melontarkan aspirasinya tentang permasalahan yang dihadapi di lingkungannya.

Sementara para kandidat harus mampu memberikan ide-ide cerdas dan rasional guna menjawab aspirasi masyarakat itu. Lewat forum-forum dialog, kandidat juga dapat memaparkan program kerjanya ke depan.

Kampanye juga bisa dilakukan secara gratis dengan melakukan kunjungan door to door ke rumah warga. Memang agak melelahkan. Namun, dengan begitu masyarakat akan mengetahui apa yang akan diperjuangkan sang calon jika kelak menjadi kepala daerah. Selama ini, masyarakat lebih mengenal para kandidat lewat brosur, stiker, spanduk dan sebagainya, yang dibagi-bagikan tim suksesnya, dan terpampang di setiap sudut kota dan desa, saat musim-musim kampanye. 

Pelaksanaan Pilkada serentak juga harus memastikan partisipasi politik rakyat. Tingginya partisipasi politik rakyat menjadi representasi demokrasi yang menempatkan rakyat berdaulat secara politik.

           

Di ajang suksesi, rakyat harus bebas menggunakan hak pilihnya tanpa intimidasi, memilih pilihannya sesuai preferensinya. Partisipasi politik rakyat yang tinggi diperlihatkan tidak hanya saat menggunakan hak pilih.

Namun, rakyat juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengorganisiran dan mengintervensi keputusan politik strategis yang dipastikan berpengaruh terhadap kepentingan bersama. Inilah demokrasi partisipatif, di mana rakyat menjadi bagian dalam penyusunan rencana aksi dan mengembangkan keputusan bersama.

Partisipasi politik rakyat itu berlanjut tatkala suksesi berakhir, dengan memastikan menjadi pengontrol kebijakan-kebijakan kepala daerah. Ini penting agar kekuasaan dijalankan sesuai kehendak rakyat dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Partisipasi politik rakyat harus terus didorong untuk mengukuhkan demokrasi deliberatif yang memungkinkan rakyat berpartisipasi dalam setiap proses politik, tidak hanya dalam ajang suksesi, namun juga terlibat dalam proses perumusan kebijakan-kebijakan publik (public policy).

Pesta politik juga juga harus disertai kematangan partai politik sebagai instrumen demokrasi. Di negara ini, kepercayaan rakyat terhadap partai sangat rendah. Hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute) yang dirilis 9 Februari 2014 menunjukan mayoritas publik tidak mempercayai partai politik. Responden yang tidak percaya parpol mencapai 58,2 persen. Kemudian, yang menyatakan percaya 26,3 persen, dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. 

Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik karena banyaknya kader parpol yang terjerat kasus korupsi, konflik internal partai, dan adanya pelanggaran etika yang dilakukan kader parpol.

Di perhelatan politik lima tahunan, partai politik idealnya menjadi sarana rekrutmen calon pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Namun, politik oligarkis menyebabkan partai politik tak terlembaga, sebatas subordinasi kepentingan para pentolannya. Akibatnya, institusionalisasi partai politik bergerak lamban.

Akibatnya, pelaksanaan suksesi selalu menempatkan rakyat sebatas objek bagi para politisi yang bertarung merebut dan mempertahankan kekuasaan.Bagi partai politik, pertimbangan dalam menentukan kandidat lebih bersifat pragmatis. Ketergantungan uang memangkas tanggungjawab partai politik untuk melaksanakan rekrutmen politik secara baik.

Sementara rakyat ingin kandidat yang diusung partai politik memiliki rekam jejak yang baik, memiliki integritas, profesional, kompeten, kapabel, dan memenuhi kriteria pemimpin ideal lainnya, yang dapat benar-benar menjalankan mandat kekuasaan yang mensejahterakan rakyat.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 234
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 457
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 449
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 417
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya