Pilkada dan Ironi Demokrasi

| dilihat 2161

AKARPADINEWS | 9 DESEMBER 2015, pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar di sejumlah daerah. Perhelatan politik kali pertama yang digelar serentak itu diharapkan bukan sekadar panggungnya politisi merebut dan mempertahankan kekuasaan. 

Pilkada harus menjadi panggung bagi rakyat untuk mengaktualisasikan kehendak politiknya dalam menentukan pemimpin yang diharapkan dapat melanjutkan roda pemerintahan guna mewujudkan cita-cita pembangunan yang sejalan dengan aspirasi rakyat.

Karenanya, rakyat perlu jeli memilih pemimpin dengan tidak sekadar mempertimbangkan aspek popularitas, namun juga kompetensi, integritas, rekam jejak yang mumpuni, serta visi misi maupun program kerja para kandidat. Jangan sampai rakyat memilih calon pemimpin "abal-abal" maupun yang "buruk laku", yang dipoles sedemikian rupa saat tampil di hadapan rakyat.

Di ajang suksesi, rakyat mendapatkan posisi terhormat. Rakyatlah yang menjadi penentu karir politik politisi maupun partai politik. Rakyat dapat dengan bebas menggunakan hak pilihnya tanpa intimidasi, memilih orang-orang berdasarkan preferensi politiknya. Namun, jika mencermati realitas politik, jelang dan saat Pilkada, rakyat masih sebatas objek yang dibidik para politisi untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan.

Di ajang Pilkada langsung, politisi boleh saja mengklaim didukung banyak partai. Namun, dukungan itu tidak serta merta dapat mempengarui pilihan politik rakyat. Dengan kata lain, koalisi multipartai tidak menjamin akan mengantarkan sang kandidat mencapai puncak kekuasaan.

Dukungan dari partai politik memang menjadi syarat prosedural yang harus dipenuhi calon kepala daerah. Sang calon minimal mendapatkan dukungan 20 persen kursi DPRD atau 25 suara sah partai politik.

Namun, syarat itu seringkali dimanfaatkan partai politik untuk menarik mahar dari sang calon. Koalisi juga bermotif mendapatkan kue kekuasaan jika kelak calonnya memenangkan pertarungan. Idealnya, koalisi dibangun atas dasar kesamaan visi, misi dan ideologi. Koalisi dipastikan rapuh jika motifnya hanya kekuasaan.

Adalah harapan semua, Pilkada dapat berlangsung secara demokratis, jujur, dan adil. Namun, harapan itu akan sulit terwujud jika hanya mengandalkan peran Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pemerintah, apalagi berharap dari petualang politik. Pilkada dapat berlangsung sesuai harapan jika didukung partisipasi politik rakyat.

Partisipasi rakyat menjadi indikator untuk menilai kualitas Pilkada. Tanpa partisipasi, Pilkada tak memiliki makna. Tingginya tingkat partisipasi politik rakyat sekaligus menunjukan jika praktik demokrasi di negara ini benar-benar menempatkan kedaulatan politik rakyat di posisi yang terhormat.

Untuk mendorong partisipasi politik rakyat di Pilkada,  Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah mempertimbangkan agar tanggal 9 Desember menjadi hari libur nasional. Jika tidak diliburkan, Tjahjo khawatir, masyarakat umumnya lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan menggunakan hak pilihnya. Ketua KPU Husni Kamil Malik setuju dengan usulan tersebut. Secara lisan, Husni juga mengabarkan, Presiden Joko Widodo juga mengamininya.

Namun, partisipasi rakyat tidak sekadar diaktualisasikan dengan cara menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS). Namun, rakyat harus didorong untuk terlibat aktif mengawasi dan mengawal setiap proses tahapan Pilkada guna mencegah laku kotor yang mendistorsi demokrasi.

Realitas politik selama ini menunjukan jika tradisi suksesi masih menempatkan rakyat sekadar objek yang dibidik elit politik. Di era liberalisasi politik saat ini, kekuataan modal yang ditebar para pemburu kekuasaan, mampu membius rakyat, khususnya rakyat yang tingkat pendidikan politiknya rendah.

Masalahnya, tak mudah membangkitkan partisipasi rakyat. Banyak negara yang sudah mapan berdemokrasi, termasuk juga negara-negara yang tengah menjalani transisi demokrasi seperti Indonesia, dihadapi persoalan rendahnya partisipasi politik rakyat.

Di negara ini, sebagian rakyat masih alergi dengan politik. Apatisme itu muncul lantaran masyarakat kecewa dengan realitas politik yang menampakan wajah semrautnya. Belum lagi laku culas politisi yang banyak tersandung korupsi. Bagi sebagian besar masyarakat, politik identik dengan sesuatu yang negatif, kotor, dan konflik kekuasaan.

Jelang Pilkada, partisipasi politik rakyat belum terlihat menggeliat. Berbeda dengan antusiasme para petualang politik. Jauh-jauh hari, para politisi sudah gencar menebar tampang senyumnya lewat spanduk atau baliho di tempat-tempat strategis. Mereka berupaya mendongkrak popularitas dengan cara-cara instan.

Mereka turun gunung, menyambangi rakyat dan melakoni peran layaknya sinterklas yang baik hati membagi-bagikan sesuatu untuk menarik simpatik rakyat. Kandidat juga rela menggelontorkan uang banyak untuk menyuguhkan hiburan kepada masyarakat.

Sebenarnya, ada model kampanye yang lebih murah, efektif dan efisien. Namun, agak melelahkan, yaitu mengunjungi warga dari satu kampung ke kampung lain. Cara tersebut akan memudahkan komunikasi antara politisi dengan rakyat. Momen pertemuan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh kandidat untuk menyakinkan rakyat tentang program kerjanya. Kampanye door to door itu idealnya dilakukan sebelum jadwal kampanye dimulai.

Model kampanye juga tidak melulu harus dengan cara pengerahan massa. Selain rawan konflik, kampanye pengerahan massa yang biasanya diramaikan hiburan justru membuat masyarakat larut oleh suguhan para artis yang dibayar para kandidat. Hiburan menjadi senjata ampuh bagi politisi untuk menarik minat masyarakat agar berbondong-bondong meramaikan kampanye. Namun, cara itu kurang mendidik rakyat. Rakyat akan lebih serius menikmati hiburan daripada menyimak penyampaian misi dan visi para kandidat.

Akan lebih baik jika kampanye digelar lewat diskusi atau sekadar ketawa-ketawi bersama masyarakat. Cara itu lebih menyehatkan demokrasi dan memunculkan simpati rakyat. Para kandidat dapat menyambangi forum-forum diskusi di tengah-tengah masyarakat, yang membuka ruang bagi masyarakat melontarkan aspirasi.

Saat berinteraksi dengan masyarakat, kandidat juga dapat mengidentifikasi permasalahan. Dan, forum itu juga dapat dijadikan panggung bagi kandidat untuk menunjukan kompetensinya dalam menjawab persoalan masyarakat. Cara tersebut akan lebih mempengarui pilihan politik rakyat. Tergantung, bagaimana cara komunikasi dan pendekatan yang dilakukan kandidat guna menyakinkan rakyat jika dirinya layak untuk dipilih.

Tradisi suksesi selama ini masih jauh dari yang diharapkan. Politisi cenderung mencari jalan pintas, dengan menerapkan politik transaksional. Politisi harusnya sadar jika cara-cara itu justru akan menyebabkan biaya politik sangat tinggi dan tidak menyehatkan demokrasi.

Sungguh tak habis pikir tatkala ada seorang kandidat yang menghabiskan uang hingga mencapai Rp50 miliar untuk menjadi kepala daerah. Sementara gaji kepala daerah tak berbanding lurus dengan modal yang digelontorkannya. Gaji gubernur saja hanya berkisar Rp8,4 juta per bulan.

Sedangkan bupati atau walikota gajinya sebesar Rp5,8 juta per bulan. Jika dikalkulasikan selama lima tahun masa kerjanya, maka total pendapatan gubernur mencapai Rp510 juta dan bupati atau walikota, sebesar Rp384 juta.

Politik uang (money politic) banyak ditemukan saat suksesi. Tim bayangan yang dikerahkan kandidat biasanya bergerak secara diam-diam (silent operation) saat menebar uang untuk mempengarui pilihan politik rakyat. Dengan uang, tak menutup kemungkinan adanya 'perselingkuhan' antara salah satu pasang kandidat dengan penyelenggara Pilkada dengan tujuan memanipulasi suara rakyat agar memenangkannya.

Politik uang yang kerap meramaikan Pilkada menunjukan, partai politik gagal membangun dukungan basis di akar rumput. Idealnya, dukungan itu dipupuk jauh-jauh hari, bukan dengan cara-cara instan melalui tebar baliho, uang, sembako, dan sebagainya.

Dalam masyarakat yang melek politik, uang tidak akan mempengarui pilihan politiknya. Pilihan politik lebih ditentukan dari penilaian mereka seputar informasi kandidat, kinerja, program, misi dan visi, integritas, dan rekam jejak lainnya. Pilihan politik mereka bukan pula karena ikut-ikutan. Namun, mereka mencari informasi seputar kandidat.

Disfungsi Partai Politik

Minimnya partisipasi politik rakyat tidak terlepas dari kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya. Partai politik tidak sekadar menempatkan rakyat sebagai objek jelang suksesi. Lebih dari itu, partai politik harusnya menjadi rumah bagi rakyat untuk merealisasikan hak-haknya, baik politik, ekonomi, maupun sosial.

Namun, rakyat merasa terasing lantaran partai politik gagal membangun hubungan dengan rakyat. Adanya gap antara rakyat dengan partai politik lantaran partai politik lebih berorientasi kepada kepentingan elit dan ketidakmampuan dalam mengkonversikan beragam aspirasi dan kepentingan. Hubungan pun berjarak lantaran partai politik dan rakyat seringkali berseberangan dalam menentukan arah kebijakan politik yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat.

Akibatnya, rakyat cenderung memilih turun ke jalan dalam menyampaikan aspirasinya daripada harus mengadu ke partai politik.

Sebagai instrumen yang memperjuangkan kepentingan rakyat, partai politik harusnya mengoptimalkan fungsi sosialisasi politik (instrument of political socialization) guna menancapkan pengaruhnya di masyarakat, baik terkait dengan misi, visi, program dan ideologinya.

Dalam hal melaksanakan fungsi rekrutmen politik, partai politik juga tidak mampu memproduksi kader-kader berkualitas yang diharapkan mampu menjadi pemimpin. Partai politik cenderung mengusulkan pentolannya atau calon yang berkantung tebal, meski rakyat minim informasi seputar kompetensi, integritas, kapasitas, dan rekam jejaknya. Dominasi elit juga memaksa rakyat untuk tidak memiliki banyak pilihan politik. 

Padahal, dominasi elit menyebabkan pelembagaan partai politik bergerak stagnan. Seharusnya, partai politik adaptif dengan realitas politik dengan segala kompleksitas masalahnya. Publik juga menangkap kesan partai politik tidak mampu mengelola konflik (conflict of management) akibat terlalu kuatnya pragmatisme politik yang seringkali melabrak etika, aturan main, dan platform politik. Ketidakmampuan melaksanakan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan sering kali menyebabkan partai politik terbelah. Di tengah laku politisi demikian, sulit rasanya bagi rakyat mengharap partai politik benar-benar menjadi instrumen yang memperjuangkan kepentingannya.

Peran Masyarakat Sipil 

Di tengah krisis kepercayaan terhadap partai politik, maka peran masyarakat sipil (civil society) sangat penting dalam memobilisasi rakyat mengawasi Pilkada agar berlangsung demokratis.

Masyarakat sipil yang di dalamnya terdapat unsur aktivis, akademisi, pers, pengusaha, politisi, dan sebagainya, perlu melakukan penetrasi ke ruang-ruang publik guna menyadarkan rakyat untuk melawan hegemoni elit politik, termasuk mengawasi setiap proses dan tahapan Pilkada. Peran-peran yang bisa dilakoni antara lain melakukan advokasi, pendampingan, maupun peran kontrol terhadap penyelenggaraan Pilkada. Lewat advokasi dan gerakan massa, maka akan menggusur monopoli dan hegemoni elit yang selama ini menyingkirkan kedaulatan rakyat.

Masyarakat sipil perlu terus menyadarkan rakyat agar kritis dalam menyikapi distorsi dan mengingatkan para pengambil kebijakan untuk tanggap dengan persoalan yang membayangi prosesi politik. Dalam konteks ini, masyarakat sipil melakukan edukasi politik yang seharusnya dijalankan partai politik. Masyarakat sipil juga dapat menutup kelemahan partai politik dalam merespon aspirasi rakyat, dengan membangun mekanisme konversi atas segala tuntutan dan kebutuhan rakyat yang diabaikan partai politik, lalu disuarakan dalam bentuk aksi massa.

Partisipasi politik merupakan prinsip dasar dalam berdemokrasi. Tidak ada demokrasi, tanpa partisipasi politik. Karenanya, partai politik sebagai instrumen demokrasi harus terus mengembangkan demokrasi deliberatif, yang membuka akses bagi rakyat mengaktualisasikan sikap dan pandangan politiknya dalam setiap proses politik.

Partisipasi politik rakyat idealnya tidak boleh berhenti usai suksesi. Namun, rakyat dapat menjadi pengontrol kekuasaan agar menjalankan mandat sesuai titah yang diberikan rakyat. Dalam konteks ini, rakyat menjadi aktor mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Rakyat juga dapat mendorong inisiatif pemerintah untuk merespons tuntutannya, baik dalam bentuk penyusunan maupun pelaksanaan kebijakan atau program pemerintah. Di sini pentingnya membangkitkan kesadaran masyarakat untuk selalu mencermati dinamika, khususnya terkait tugas-tugas pemerintahan.

M. Yamin Panca Setia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 537
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1060
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 289
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 754
Momentum Cinta
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 748
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 902
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 857
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya