Pilih Pemimpin dengan Akalbudi

| dilihat 2425

Catatan N. Syamsuddin Ch. Haesy

PILKADA Serentak 2018 bakal datang menjelang. Sejak penghujung 2017 kita sudah dipertontonkan dengan perilaku partai politik yang sibuk dengan akal-akalan politik dan menanggalkan akalbudi.

Apapun alasan yang dipakai partai politik untuk menarik dan mengalihkan dukungannya dari pasangan bakal kandidat yang satu dengan bakal pasangan kandidat yang lain, biarlah menjadi urusan partai politik.

Dalam sistem demokrasi yang sungsang seperti sekarang ini, dimana pemerintahan daerah berasas desentralisasi dengan otonomi luas – nyata – bertanggungjawab didengungkan tetapi penentuan para kandidat dilakukan secara sentralistis, para petinggi partai politik memang punya banyak kepentingan.

Tentu, politik transaksional dengan segenap pargmatismenya, ikut mengalir di dalamnya, meskipun dikemas dengan berbagai cara.

Para petinggi politik sedang mempertontonkan kepada rakyat, bagaimana mereka mendorong partai politik untuk bersikap inkonsisten dan tak konsekuen menghadapi realitas yang sesungguhnya.

Karenanya, para petinggi partai kudu meminta maaf atas ketidakkonsistenannya dalam menentukan kandidat. Orang dulu bilang, itulah sikap méncla-menclé. Untuk kepentingan politik masing-masing, sebagian besar petinggi partai politik sibuk dengan alasan memenangkan kontestasi dan bukan cara menghadirkan pemimpin yang sungguh relevan dengan aspirasi rakyat.

Karenanya, meski banyak yang mengaku sebagai partai modern, masih terpenjara oleh primordialisme dan pragmatisme, oleh patronase yang dianggap sebagai sesuatu yang konstan. Salah satu alasan yang mengemuka adalah korelasi atau koneksi Pilkada dengan Pemilu 2019 dan Pilpres 2019.

Beragam analisis yang berkembang menjadi isu juga menjalar begitu rupa. Basisnya hanya presumsi-presumsi, seolah-olah sentral kekuasaan memainkan kepentingannya. Lantas, para bakal kandidat yang kadung sedang menyelesaikan masa baktinya, pun diposisikan sebagai kepanjangan tangan pusat kekuasaan.

Semua alasan politik yang mengemuka dan cenderung kekanak-kanakan dalam menentukan pasangan kandidat yang mencerminkan koalisi kepentingan, sangat menggelikan.

Meski sudah merdeka 72 tahun, bangsa ini belum sepenuhnya mempunyai partai politik (yang diatur oleh sistem berkaitan langsung dengan demokrasi yang kita pilih) yang dewasa dalam berpolitik. Apalagi, sampai kini, belum ada koalisi permanen yang juga konsisten.

Menyikapi situasi semacam itu, sebagai rakyat dan pemilih, kita harus sungguh harus dewasa, sehat dan jernih dalam menilai dan memilih pemimpin.

Patokannya bukan hasil survey dari lembaga manapun yang sejak belakangan hari menjamur. Tak juga dari analis politik yang sering tampil di layar televisi. Melainkan hati nurani kita sebagai rakyat, yang sungguh harus berdaulat.

Kesadaran ini harus dibangunkan. Sebagian besar kita harus tanpa henti melakukan kampanye serentak dan serempak untuk mewujudkan pemilih cerdas dengan partisipasi aktif dan kritis.

Kita mesti fokus kepada figur kandidat dan mengabaikan partai politik yang mengusung dan mendukungnya, termasuk beragam organisasi yang berfirqah-firqah menjadi tim pemenangan.

Kita, sebagai rakyat, harus mempunyai jarak yang sama dengan seluruh kandidat dan menilainya berdasarkan kriterium yang kita yakini benar.

Mulai dari kriterium personal yang tercermin dalam performa (nasionalisme, religiusitas, akhlak, kompetensi, dan pengalaman), maupun kriterium umum yang sesuai dengan basis nilai resam budaya di lingkungan kita masing-masing. Khasnya, yang paling sesuai dan relevan dengan masalah terbesar yang dihadapi rakyat: miskin, kurang sejahtera, diperlakukan tidak adil, dan selalu diperlakukan sebagai obyek pembangunan dan pemerintahan. Kita hanya harus memilih pemimpin yang berakal-budi. Kriteria umumnya: amanah (sekaligus berakhlak mulia), benar (termasuk jujur dan adil), cerdas, karib dengan rakyat, dan bukan pemburu jabatan.

Pengalaman kita selama ini menunjukkan, sampai September 2017 sudah 77 kepala daerah (Gubernur / Bupati / Walikota) yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menggambarkan secara nyata, betapa partai politik gagal melakukan seleksi kandidatnya dalam Pilkada. Dan kita, rakyat, akhirnya harus memilih kandidat yang dihasilkan oleh sistem seleksi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Mari kita memilih pemimpin dengan akalbudi yang berkualitas. Yaitu: kandidat yang siap berkontestasi bermodal akhlak mulia, mempunyai kualitas kepemimpinan yang tak diragukan, kompeten menyelenggarakan manajemen pemerintahan – pembangunan – penguatan peran masyarakat yang berujung pada kesejahteraan kolektif yang adil, berani memutuskan sesuatu dengan tegas dan jelas.

Bila dia seorang muslim, ukurannya sederhana saja: salatnya benar, sehingga dia paham bagaimana menebar kebajikan sekaligus memberantas kemunkaran.

Pemimpin dengan akalbudi berpegang pada integritas pribadi yang kuat, rendah hati dan melayani rakyat bersungguh-sungguh, tidak pongah, tetapi tegas kepada siapa saja yang hendak menggunakan kekuasaannya (politik dan ekonomi) dengan beragam cara. Dia bersama rakyatnya menghadapi siapapun yang hendak menebar ketidakadilan dan menghambat kesejahteraan rakyat.

Pemimpin dengan akalbudi bekerja dengan cara, bukan dengan berjuta alasan. |

 
(Penulis seorang jurnalis dan penggiat budaya)

Editor : sem haesy
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya