Pertaruhan Putra Mahkota

| dilihat 2647

PANGERAN Muhammad bin Salman disebut-sebut sebagai aktor utama yang mengarahkan bandul kekuasan Kerajaan Arab Saudi. Pengaruhnya sangat besar dalam mempengarui kewenangan ayahnya, Raja Salman bin Abdulaziz Al-Saud. Kala mendapatkan mandat sebagai putra mahkota dari ayahnya, mengantikan sepupunya, Pangeran Muhammad bin Nayef pada Juni 2017 lalu, Muhammad bin Salman menebar janji pembaharuan.

Pangeran berusia 32 tahun itu bersumpah akan memerangi ekstrimisme, menentang konservatisme religis, dan mencita-citakan Saudi menjadi negara Islam yang moderat, terbuka bagi semua negara dan agama. Dia juga tidak pandang bulu memerangi korupsi yang melibatkan keluarga kerajaan. Muhammad bin Salman juga memiliki agenda ambisius dalam mereformasi perekonomian Saudi dengan menekankan privatisasi dan diversifikasi. Dia mengakomodasi kepentingan investasi agar Saudi tidak melulu bergantung pada produksi minyak.

Agenda perubahan yang diusungnya menuai apresiasi. Apalagi, setelah dia menyeret ke penjara belasan pangeran, pejabat dan mantan pejabat yang diduga melakukan korupsi. Muhammad bin Salman menjawab keresahan raja dan masyarakat yang jengah dengan laku culas korupsi yang melibatkan elit kerajaan dan pemerintahan.

Tetapi, manuvernya memunculkan spekulasi. Dia terlalu berani memperkarakan saudaranya yang juga berjuluk pangeran. Tindakannya yang pandang bulu kemungkinan bakal memperuncing konflik di internal kerajaan. Dampaknya, mempengarui stabilitas sosial dan politik di negara yang kaya minyak itu. Apalagi, terkait sikapnya yang menentang konservatisme.

Kelompok konservatif tentu tidak akan diam. Mereka akan kian nyaring menuding rezim Salman telah menyimpang dari ajaran Islam, tak lagi menabukan nilai sekuler dan gaya hidup bercorak kebarat-baratan.

Saudi selama ini mengadopsi aturan Islam konservatif setelah kelompok militan mengepung Masjidil Haram di Mekah tahun 1979. Sejak itu, rezim Wahabi melarang segala kegiatan hiburan. Para ulama diberi kewenangan untuk mengontrol sekolah, pengadilan, dan kehidupan masyarakat.

Karenanya, rencana rezim Salman memangkas nilai dan aturan lama serta membuka ruang penetrasi nilai-nilai dan gaya hidup kebarat-baratan, dikhawatirkan memicu goncangan sosial dan politik. "Anda tidak bisa menghapus dasar-dasar fundamental kerajaan lama. Ini seperti melompat dari satu kereta yang masih bergerak, dan mencoba menuju ke kereta lain," kata Kamran Bokhari, analis senior Geopolitik Futures.

Namun, dengan kekuasaan yang digenggamnya, pangeran tak peduli. Dia yakin masa depan Saudi akan lebih baik jika mengadopsi nilai-nilai religis yang lebih moderat dan terbuka. Dia tak ingin Saudi seperti Korea Utara yang terisolasi di era globalisasi saat ini.

Karenanya, dia mendirikan otoritas yang menangani penyelenggaraan hiburan, pariwisata, dan mengakomodasi kepentingan orang asing yang ingin menetap di Saudi. Dalam sebuah wawancara dengan al Arabiya beberapa waktu lalu, dia melontarkan ide untuk memberikan "kartu hijau" yang memudahkan orang asing menetap di Saudi.

Bahkan, saat acara di Riyadh, 27 Oktober lalu, pangeran mengumumkan rencana pembangunan kota baru di pesisir Laut Merah dengan investasi lebih dari US$500 miliar. Kelak, di kawasan itu, penghuninya dapat mengadopsi gaya hidup yang selama ini ditabukan kerajaan Saudi.

Muhammad bin Salman yang juga menjabat Menteri Pertahanan memahami resistensi yang bakal muncul. Dia tentu telah melakukan konsolidasi kekuatan dengan sekutunya di Abu Dhabi untuk menghalau resistensi, sekaligus mengukuhkan kekuasaan rezim Salman. Meski usianya relatif muda, dia berpengalaman dalam mengelola pemerintahan setelah dipercaya ayahnya untuk menduduki berbagai jabatan strategis.

Dia juga menyakini ambisinya akan didukung masyarakat Saudi yang sebagian besar kalangan pemuda yang ingin perubahan. Karenanya, dia berani menganulir aturan larangan bagi perempuan untuk mengendarai kendaraan dan membatasi kewenangan kepolisian agama. Bahkan, dia menuding doktrin Wahabi sebagai penyebab tidak normalnya negara selama 30 tahun terakhir.

Pernyataannya menohok ke kelompok ultrakonservatif religius yang keberadaannya ditolerir oleh keluarga Al Saud. "Kami tidak akan menyia-nyiakan 30 tahun hidup kami untuk menghadapi ide ekstremisme. Kami akan memberantas ekstremisme," tegasnya dalam sebuah acara di Riyadh beberapa waktu lalu.

Pangeran menyadari jika gebrakannya bakal menuai resiko. Apalagi sebelumnya, pihak kerajaan kerap dituding telah menyimpang dari ajaran Islam. Sampai-sampai, serangan bersenjata diarahkan ke pihak kerajaan. Kelompok konservatif dan para pengikut al-Qaeda maupun Islam State, melancarkan serangan ke pasukan keamanan kerajaan dan muslim Syiah di kawasan bagian timur yang kaya minyak. Tak sedikit pula yang bertempur menghabisi kelompok ekstremis Sunni di Irak dan Suriah.

Pihak kerajaan tentu punya alibi. Kepentingan investor harus diakomodasi agar perekonomian Saudi bergerak lebih baik, tanpa melulu bergantung pada produksi minyak yang semakin menyusut. Apalagi, saat ini, harga minyak cenderung menurun. Belum lagi gejolak geopolitik di Timur Tengah yang berpengaruh terhadap pembangunan domestik.

Muhammad bin Salman pun tidak ingin melanggengkan Wahhabisme, ajaran fundamentalis Islam Sunni di Saudi, yang dituding mengilhami kelompok ekstremis, termasuk al-Qaeda dan Islam State, yang menjadi musuh utama negara-negara barat. Sikap pangeran yang menentang ultrakonservatisme itu menjadi taktik untuk merangkul dukungan dari negara-negara barat. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan respons positif. Trump memberikan kepercayaan besar terhadap penguasa di negara yang menjadi sekutu utama AS di kawasan Timur Tengah tersebut.

Konflik Internal Kerajaan

Gebrakan Muhammad bin Salman yang paling menuai sorotan adalah kala memenjarakan belasan pangeran, pejabat dan mantan pejabat yang diduga korupsi. Pihak kerajaan sudah lama gerah menyimak laku culas sejumlah pangeran. Mereka mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik, menyalahgunakan kekuasaan, dan mencuri dana publik.

Perang terhadap korupsi dilancarkan karena korupsi telah menghambat pembangunan dalam beberapa dekade terakhir. Upaya sapu bersih itu diinisiasi Raja Salman dengan memprakarsai pembentukan komisi antikorupsi. Selain melakukan penangkapan, komisi itu diberikan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, mengeluarkan larangan perjalanan, melacak dan merampas aset yang diduga dari korupsi.

Raja Salman mempercayai Pangeran Muhammad bin Salman untuk memimpin komisi antikorupsi tersebut. Tak lama mendapatkan mandat dari raja, pangeran memenjarakan 11 pangeran, pejabat, dan mantan pejabat yang diduga korupsi.

Salah satunya adalah pengusaha tajir, Pangeran Alwaleed bin Talal, cucu Abdulaziz al Saud, raja Saudi pertama. Majalah Time memasukan namanya dalam daftar 100 tokoh berpengaruh di tahun 2008. Dia memiliki 95 persen saham di Kingdom Holding, yang bisnisnya menyasar ke sektor jasa keuangan, pariwisata dan perhotelan, media massa, hiburan, ritel, pertanian, petrokimia, penerbangan, teknologi, dan properti.

Dia juga memegang saham Citigroup, Twitter, Apple, dan News Corp. Alwaleed juga memiliki saham terbesar kedua di 21st Century Fox, pemilik Hotel Four Seasons dan Hotel George V di Paris, dan Hotel Plaza. Pada November 2017, Majalah Forbes menempatkannya sebagai orang terkaya ke-45 di dunia, dengan perkiraan kekayaan bersih sebesar US$18 miliar.

4 November 2017 lalu, Al-Waleed bersama pengusaha terkemuka, Waleed bin Ibrahim Al Ibrahim dan Saleh Abdullah Kamel ditangkap lantaran diduga korupsi. Hukuman berat bakal ditanggung Pangeran Al-Waleed. Selain pidana korupsi, dia juga dijerat pidana pencucian uang, penyuapan, dan pemerasan pejabat.

Muhammad bin Salman juga menangkap dua anak kandung Raja Abdullah, yaitu Pangeran Miteb bin Abdullah dan Pangeran Turki bin Abdullah. Pangeran Miteb, 64 tahun, sebelumnya dipercaya sebagai Kepala Pengawal Nasional. Sedangkan Pangeran Turki pernah menjadi Gubernur Riyadh. Keduanya disebut-sebut sebagai pesaingnya dalam merebut takhta kerajaan.

Pangeran Waleed Ibrahim al-Ibrahim yang juga ditangkap adalah adik ipar mendiang Raja Fahd. Dia pemilik Middle East Broadcasting Company (MBC) yang merupakan salah satu jejaring satelit paling berpengaruh di dunia Arab.

Beberapa tokoh agama konservatif, seperti Salman al-Awdah dan Awad al-Qarni juga ditangkap. 38 orang pejabat dan mantan pejabat juga sebelumnya ditangkap atas tuduhan korupsi.

Dilakukan pula pergantian menteri. Menteri Ekonomi dan Perencanaan Adel bin Muhammed Faqih, digantikan Muhammad bin Mazyad Al-Tuwaijri, Menteri Garda Nasional Pangeran Miteb bin Abdullah bin Abdulaziz, digantikan Pangeran Khalid bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ayyaf Al Muqren, dan Panglima Angkatan Laut, Laksamana Abdullah bin Sultan bin Muhammad Al-Sultan, digantikan Wakilnya Laksamana Fahd bin Abdullah Al-Ghifaili.

Dibidiknya sejumlah pangeran dengan pidana korupsi menuai pro kontra. Ada yang menilai, langkah berani yang dilakukan Muhammad bin Salman akan berdampak positif bagi perekonomian Saudi. Masyarakat Saudi tentu akan mendukungnya, apalagi di kala pertumbuhan ekonomi melesu.

Namun, muncul pula spekulasi Muhammad bin Salman ingin menyingkirkan pengaruh anggota kerajaan dari garis keturunan raja-raja sebelumnya. Kecurigaan itu sudah muncul jelang suksesi posisi putra mahkota berlangsung. Sejak Desember 2015, Muhammad bin Salman disebut-sebut sudah dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota. Pangeran Muhammad bin Nayef yang digulingkan dari posisi sebagai putra mahkota juga jarang terlihat di depan umum. Nayef dikabarkan berada dalam tahanan rumah.

Muncul pula anggapan jika upaya rezim Salman menggusur pengaruh keluarga Al-Saud, sebagai awal terbentuknya otoriterianisme. Selain memperuncing perpecahan di internal kerajaan, cara tersebut akan berdampak pada stabilitas politik dan keamanan.

Bruce Riedel, mantan CIA dan direktur Intelijen Brookings menilai, penangkapan massal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya. Menurut dia, internal kerajaan selama ini mengedepankan konsensus, menjaga kesopanan dan kehormatan. Karenanya, dia memprediksi, akan muncul goncangan di Saudi. "Akan ada banyak ketidakpuasan di dalam keluarga (kerajaan), dan kerajaan menuju ketidakstabilan."

Madawi Al-Rasheed, yang menulis beberapa buku tentang Arab Saudi menilai, penangkapan itu memunculkan ketakutan. Karena, sebelumnya, beberapa penulis, intelektual dan ulama dijebloskan ke penjara karena mengkritik Muhammad bin Salman. Mereka yang ditangkap tersebut juga menolak untuk memuji setiap langkah yang telah dilakukan Muhammad bin Salman. Para pencela juga menyebutnya impulsif dan tidak menentu.

Akademisi dari Durham University, Christopher Davidson menilai, penangkapan sejumlah pengeran itu memberikan sinyal jika Muhammad bin Salman dan sekutunya tengah melakukan konsolidasi kekuatan. Muhammad bin Salman seakan ingin menunjukan, tidak ada seorang yang berada di luar kendalinya.

Sementara Robert Jordan, mantan Duta Besar AS untuk Arab Saudi mengatakan, Saudi dihadapi masalah korupsi selama bertahun-tahun. Sebagian masyarakat Saudi tidak senang dengan para pangeran yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, dengan memanfaatkan uang negara untuk pembiayaan sejumlah proyek. Meski demikian, Jordan menambahkan, tak menutup kemungkinan, Muhammad bin Salman sengaja menyingkirkan saingannya untuk mengukuhkan kekuasaannya.

John Defterios, Editor Emerging Markets CNN, yang meliput di Arab Saudi sejak tahun 1990-an mengatakan, upaya pembersihan itu merupakan bagian dari pelaksanaan Visi 2030 yang mendorong reformasi ekonomi. Dia juga menilai, telah lama pihak kerajaan mengkhawatirkan korupsi. Terkoreksinya harga minyak juga telah mengubah strategi bisnis Saudi, dengan mengembangkan bisnis non minyak. "Itulah alasan mengapa mereka ingin melakukan diversifikasi ekonomi dan melakukan upaya berani membasmi korupsi."

Perseteruan Saudi-Iran

Robert Richer, mantan Wakil Direktur Operasi CIA mengatakan peristiwa penangkapan itu menandai adanya perselisihan sengit dalam pengambilan keputusan di negara tersebut. Richer yang pernah bertugas di sejumlah negara Timur Tengah juga mengkhawatirkan, penunjukan Muhammad bin Salman sebagai putra mahkota, dapat meningkatkan ketegangan antara Saudi dengan Iran.

Spekulasi itu bisa saja benar. Karena, Muhammad bin Salman sangat resisten dengan Iran. Kepada Guardian, Muhammad bin Salman pernah menyalahkan Revolusi Iran yang dimotori Syiah lantaran meningkatkan ekstremisme. Syiah merupakan saingan utama Sunni yang disponsori Saudi, dalam menancapkan pengaruh politik di Timur Tengah. "Orang-orang ingin menyalin model ini ke berbagai negara, salah satunya adalah Arab Saudi," katanya.

Resistensi Muhammad bin Salman terhadap Iran juga terlihat saat menjalankan kewenangannya sebagai Menteri Pertahanan tahun 2015. Maret 2015, tentara Saudi melancarkan serangan ke pemberontak Houthi di Yaman, yang didukung Iran. Muhammad bin Salman menuding Iran memasok senjata ke pemberontak Houthi.

Saudi-Iran memang sudah begitu lama dibayangi perseteruan yang turut memicu munculnya faksi-faksi di Irak, Suriah, Yaman, Lebanon, dan Bahrain. Raja Abdul Aziz Al-Saud mengklaim, kepemimpinannya atas dunia muslim. Dinasti Saud, dan ulama Wahhabi ultrakonservatif melegitimasi konsep Islam abad pertengahan, di mana seluruh muslim wajib taat kepada pemimpinnya selama menerapkan hukum Islam. Pandangan ini tidak mentolerir perbedaan pendapat. Dinasti Saud juga ingin mengasosiasikan Islam dengan identitas Arab. Paham Sunni akhirnya mendominasi hingga 90 persen populasi muslim dunia, terutama karena pergerakan Wahhabi.

Klaim Dinasti Saud itu ditentang Iran, terutama sejak Revolusi Islam pada tahun 1979. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini, menganggap monarki Saudi bid'ah. Hubungan diplomatik kedua negara pun terputus selama empat tahun. Perseteruan kian memanas setelah Saudi mengeksekusi ulama terkemuka Syiah, Sheikh Nimr al-Nimr. Rezim Saudi menganggapnya sebagai teroris. Namun, bagi Iran, Nimr, adalah ulama yang sangat dihormati karena memperjuangkan hak-hak Syiah, kelompok minoritas yang termarginal di Saudi.

Eksekusi terhadap ulama vokal yang kerap menyerukan penggulingan rezim Kerajaan Saudi itu memicu kecaman internasional. Aksi protes terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah. Demonstran menyerbu dan membakar kedutaan Saudi di Teheran. Di Irak, dua masjid muslim Sunni dihancurkan. Dua orang dilaporkan tewas dalam insiden tersebut. Kemarahan Iran itu disambut Saudi dengan memutuskan hubungan diplomatik pada 3 Januari 2016.

Agenda Ambisius

Sementara dalam upaya mereformasi ekonomi, Muhammad bin Salman, memiliki agenda ambisius yang cenderung menekankan privitasasi dan diversifikasi. Dalam Visi 2030 yang diluncurkannya pada April 2016 lalu, reformasi ekonomi diarahkan untuk mengurangi ketergantungan pada produksi minyak, dengan mengembangkan sektor lain seperti pariwisata, kesehatan dan pendidikan.

Taruhan terbesar yang diembannya adalah mengembalikan dominasi Saudi di pasar minyak dunia. Negara itu juga telah menghabiskan dana US$100 miliar setahun untuk mempertahankan layanan subsidi, memangkas produksi minyak secara signifikan dan meminta negara-negara OPEC melakukan hal yang sama.

Bagi Fawaz Gerges, profesor hubungan internasional dari London School of Economics, dunia tengah menyaksikan lahirnya orde baru di Saudi. "Putra Mahkota Muhammad bin Salman tidak hanya mengkonsolidasikan kekuatan. Tetapi juga meletakkan visinya untuk kerajaan dan menerapkannya," katanya.

Banyak kalangan yang meragukan kemampuannya. Tidak hanya terkait konsolidasi kekuatan, namun juga dalam membenahi struktur perekonomian negara. Namun, Gerges menilai, Muhammad bin Salman menerapkan gagasannya, dengan tidak hanya menindak oposisi, namun juga mencegah pendarahan ekonomi dan migrasi sumber daya dari Saudi ke negara lain. "Saudi sedang mengalami transisi besar. Butuh beberapa saat agar tatanan baru ini menjadi mapan dan jelas," katanya.

April 2016, Muhammad bin Salman menerapkan pajak baru, memangkas subsidi, menyiapkan rencana diversifikasi, penciptaan dana kekayaan pemerintah Saudi senilai US$2 triliun dan serangkaian reformasi ekonomi strategis yang disebut Program Transformasi Nasional (National Transformation Program). Muhammad bin Salman juga berencana meningkatkan modal untuk dana kekayaan negara dengan menjual saham Saudi Aramco, perusahaan minyak dan gas milik negara, untuk dijadikan modal yang diinvestasikan ke sektor lain. Namun, The Economist menilai, rencana IPO Aramco pada Oktober 2017 lalu berantakan.

Dia juga memangkas anggaran negara, membekukan kontrak pemerintah dan mengurangi gaji pegawai sipil sebagai bagian dari langkah-langkah penghematan drastis. Bukan mustahil cara-cara tidak populer itu memicu reaksi masyarakat Saudi.

******

Muhammad bin Salman lahir di Jeddah 31 Agustus 1985. Karirnya tidak terlepas dari pengaruh ayahnya. Berbagai jabatan strategis didudukinya atas restu raja Salman. Dia pernah menjadi Wakil Perdana Menteri Pertama Arab Saudi, dan Menteri Pertahanan termuda di dunia.

Dia juga menjabat Presiden Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan. Berbagai jabatan strategis yang didudukinya dalam usia muda memunculkan persepsi sejumlah kalangan. Dia disebut-sebut dipersiapkan oleh sang raja agar kelak menggantikannya.

Muhammad bin Salman adalah anak Raja Salman dari isteri ketiga, Fahda binti Falah bin Sultan bin  Hathleen. Fadh adalah cucu Rakan bin Hithalayn, yang merupakan kepala suku Al Ajman. Dia meraih gelar sarjana hukum dari King Saud University.

Setelah lulus kuliah, dia sempat menekuni pekerjaan di sektor swasta. Hingga kemudian, dipercayai menjadi asisten pribadi ayahnya. Dia bekerja sebagai konsultan komite ahli, yang bekerja untuk pemerintah Saudi.

Di pertengahan Desember 2009, dia mulai merambah ke dunia politik. Dia menjadi Gubernur Riyadh. Karirnya semakin merangkak naik seiring kian tingginya jabatan ayahnya. Pada Oktober 2011, Salman ditunjuk menjadi Wakil Perdana Menteri kedua dan Menteri Pertahanan pada November 2011. Dan, Muhammad bin Salman dipercaya menjadi penasihat Salman.

23 Januari 2015, Raja Abdullah meninggal, Salman naik takhta menjadi raja dan Muhammad bin Salman diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Dia juga ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Royal Court.

Gejolak keamanan di Yaman menjadi momentum baginya unjuk kebolehan sebagai Menteri Pertahanan. Dia memerangi pemberontak Houthi yang menguasai Yaman utara. Dia menggalang koalisi negara-negara barat untuk melakukan intervensi lewat serangan udara agar dapat  menghancurkan Houthi, menyusul serangkaian pemboman bunuh diri di Sanaa.

Maret 2015, Arab Saudi memimpin koalisi negara-negara yang bersekutu melawan pemberontak Houthi. Namun, Muhammad bin Salman dianggap melancarkan serangan pada Maret 2015 tanpa koordinasi. Menteri Pertahanan Nasional Saudi, Pangeran Mutaib bin Abdullah, yang berada di luar negeri, mengaku tidak berada dalam lingkaran operasi. Menteri Pertahanan AS, Ash Carter juga mengaku kesulitan mencapai kawasan itu selama beberapa hari setelah serangan pertama.

Sedangkan Muhammad bin Salman mengklaim berhasil menaklukan pemberontak Houthi dengan cepat. The Economist menyebutnya sebagai arsitek peperangan di Yaman. Namun, dia menolak sebutan itu. Menurutnya, pemberontak Houthi menguasai Sana'a sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Peperangan telah mengakibatkan biaya kemanusiaan yang tak ternilai di Yaman. Negara itu juga menderita akibat blokade Saudi dan serangan udara yang menghancurkan rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur sipil lainnya. Sekitar 20 juta orang di Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Negara itu hingga kini masih dililit krisis kemanusiaan. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Al Jazeera/CNN/The Independent/Vox
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 278
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 140
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang