Pernyataan Pandir Ihwal Agama vs Pancasila

| dilihat 1042

Bang Sèm

Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang terjerembab ke dalam fantacy trap, hanya akan merekrut petinggi obsessif, ambisius, pemburu dan penikmat kekuasaan, yang tak menggunakan akal budi ketika menyampaikan pernyataan.

Dari pandangan ini, saya tak terkejut ketika Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang juga Rektor Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi menyatakan musuh terbesar Pancasila adalah agama. (detik.com, Rabu: 12/02/20).

Ikuti seluruh wawancaranya, simak dengan baik ritme dan aksentuasi bicaranya dengan pewawancara, yang kita dapatkan adalah potret personalitas yang sesungguhnya tak cukup patut dan pantas menyandang jabatan publik. Terutama, jabatan untuk memimpin institusi yang berkaitan dengan nilai-nilai, dan sejak puluhan tahun dipandang sebagai dasar (sekaligus) tujuan negara.

Ada sesuatu yang dubieus pada orang ini. Di satu sisi ingin mengesankan diri sebagai mujtahid dengan mengintroduksi aliran tertentu dalam tariqat (entah apa), setarikan nafas juga mengesankan eksistensi dirinya sebagai orientalis.

Lelaki penyandang jabatan akademik guru besar, yang konon telah menerbitkan lebih dari 50 buku, tak satupun yang terkait dengan Pancasila.

Saya tak tahu persis, apakah di Indonesia berlaku pemeringkatan guru besar seperti di Eropa dan Australia. Tapi saya yakini, pasti bukan Profesor level E alias Endowmen Profesor, seperti saya temukan di beberapa kampus, termasuk di lingkungan UIN.

Profesor level E adalah guru besar panutan di bidang keilmuannya yang terlibat dan memainkan peran dalam komite ahli dalam berbagai bidang keterlibatan dan konstelasi nasional dan internasional. Bukan sekadar memikul amanah sebagai Presiden asosiasi institusi pendidikan agama di peringkat kawasan Asia Tenggara.

Maknanya, status dan jabatan akademiknya, setara dengan pemburu dan penikmat jabatan yang enggan terikat dengan kaidah-kaidah norm dan code of conduct.

Antara lain, tidak melontarkan sesuatu pernyataan hanya berdasarkan presumsi dan meyakini presumsi itu sebagai suatu kebenaran, tanpa pernah mengujinya dengan suatu penelitian substansial. Termasuk melakukan uji akademik presumsi yang diyakininya sebagai suatu kebenaran faktual.

Dalam konteks ini adalah presumsi, bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Karena pernyataan presumtif yang belum teruji secara akademik, di forum akademik, dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang harus diragukan kebenarannya.

Saya menilai pernyataan, "agama sebagai musuh terbesar Pancasila," yang disampaikannya dalam kapasitas sebagai Kepala BPIP -- yang dinyatakannya sendiri (dengan pendekatan strukturalis) setingkat Menteri --  adalah penyesatan yang sangat berbahaya bagi bangsa ini.

Salah satu hal substantif yang dapat disebut penyesatan adalah rantai argumentasi pernyataannya dalam wawancara yang menyebut kasus Ijtima' Ulama dalam memilih Wakil Presiden, sebagai intuitive reason.

Pernyataan itu sangat tendensius dan menunjukkan, bahwa dia tidak mempunyai way of think untuk melihat realitas. Dengan realitas ini, kita boleh meragukan kapasitas dan kompetensinya untuk mengelola institusi strategis terkait dengan Pancasila yang dipandang sebagai ideologi.

Saya tidak melihat sikap dan pandangan Kepala BPIP itu sebagai sesuatu yang 'gila,' baik secara konotatif maupun denotatif. Pernyataan yang dikeluarkannya tak berbeda dengan pernyataan kaum pandir yang selama ini rajin memproduksi berbagai 'pernyataan wadul' - rumors, hoax dan slander -- melalui media sosial, hanya untuk menebar kesesatan.

Karenanya, saya menilai, pernyataan yang disampaikan itu hanyalah pernyataan pandir, seseorang yang kadung diberi jabatan akademik guru besar dan menyandang jabatan Rektor.

Pernyataan pandir itu tidak saja mereduksi nilai dan positioning Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sekaligus mendegradasi keberadaan BPIP secara fungsional. Berbeda kelas dengan Yudi Latif, Kepala BPIP sebelumnya, yang memutuskan diri meletakkan jabatan, tanpa penjelasan kepada publik.

Saya masih menilai, dalam konteks pernyataan pandir, bahwa agama merupakan musuh terbesar Pancasila, Presiden Joko Widodo tidak menganut asas kehati-hatian.

Saya belum sampai pada penilaian, bahwa penempatan yang bersangkutan untuk memimpin BPIP merupakan hidden agenda terkait sekularisasi Pancasila.

Penyataan pandir, itu bagaimanapun mesti dicermati. Setidaknya sebagai isyarat dini untuk mencermati secara obyektif dan krktis, sekaligus meneliti berbagai fakta dan peristiwa aktual, untuk memprediksi, apa sungguh  yang akan terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan sampai tahun 2024, atau setelahnya.

Yang harus dikonfirmasi oleh pemimpin umat beragama adalah bagaimana BPIP mempromosikan Pancasila sebagai ideologi negara, tanpa harus mengklasifikasi dan saling mengucilkan sesama umat beragama. Pikiran harus dikembalikan ke otak dalam kepala, bukan disimpan di dalam perut yang lapar kekuasaan (jabatan). Jabatan akan menjadi sumber kerumitan dan kegaduhan ketika diberikan kepada siapapun yang belum selesai dengan dirinya..., meskipun dia sesumbar berjuang demi bangsa dan negara.. |

Editor : Web Administrator
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 276
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 138
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya