Pak Ketua, Mundur Sajalah

| dilihat 2208

AKARPADINEWS.COM | IBARAT laga tinju, Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berhasil memukul telak Ketua DPR Setya Novanto. Bukan tidak mustahil, jika pukulan itu terus dilancarkan, Setya bisa-bisa terpental dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Senayan. 

Politisi Golkar yang akrab disapa Setnov pun memilih bertahan, seraya menepis serangan Sudirman yang menyebutnya sebagai politikus yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait urusan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Padahal, urusan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kewenangannya sebagai pimpinan DPR. Apalagi, disertai embel-embel kepentingan pribadi dan pihak lain.

Sudirman memperkarakan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Senin (16/11) lalu. Dia melaporkan "tindakan tidak terpuji" sang ketua ke mahkamah yang tugasnya menjaga dan menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR itu.

Menurut Sudirman, tidak sepatutnya anggota DPR yang terhormat menjanjikan sesuatu cara penyelesaian kepada pihak yang sedang bernegosiasi dengan pemerintah, seraya meminta saham perusahaan dan saham proyek pembangkit listrik. "Itu tindakan yang tidak patut dilakukan,” ucap Sudirman.

Awalnya, dia tidak bersedia menyebut identitas anggota DPR yang mencatut nama orang nomor satu di republik ini. Dia hanya menyebut ada "politikus yang sangat berkuasa" berinisial SN yang mencatut nama Presiden terkait proses perpanjangan kontrak Freeport.

Namun, identitas politikus itu terbongkar setelah bukti transkrip percakapan yang disampaikan Sudirman ke MKD, dengan cepat bocor ke publik. Sudirman pun mengiyakan jika SN itu adalah Setya Novanto saat diwawancarai dalam program Mata Najwa, Metro TV.

Bukti transkrip percakapan itu dilakoni tiga aktor yakni Setya Novanto, petinggi PT Freeport Indonesia berinsial MS dan seorang pengusaha berinsial R. MS diketahui adalah Presdir PT Freeport Indonesia (PTFI) Maroef Sjamsoeddin, dan R adalah pengusaha minyak yang sudah lama melintang di bisnis perminyakan, Riza Chalid.

Percakapan itu mengesankan adanya persekongkolan ketiganya terkait perizinan PT Freeport. Setya menyakini Maroef, dengan menyebut-nyebut nama Presiden yang akan memastikan adanya perlindungan dari Presiden. Dalam transkrip itu, disebut pula nama Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Pandjaitan. Sementara Riza sepertinya melakoni peran sebagai broker.

"Saya yakin juga karena presiden kasih kode begitu berkali-kali, segala urusan yang kita titipkan ke presiden selalu kita bertiga, saya, Pak Luhut, dan Presiden setuju sudah. Saya ketemu Presiden cocok. Artinya, dilindungi keberhasilan semua ya. Tapi, belum tentu kita dikuasai menteri-menteri Pak yang begini-begini," kata SN dalam percakapan itu.

Lalu, R menimpali, "Freeport jalan. Bapak itu happy, kita ikut happy. Kumpul-kumpul, kita golf, kita beli private jet yang bagus dan representatif." Atas penjelasan itu, MS pun yakin Freeport pasti jalan. Tetapi, SN mengingatkan, "Jadi kita harus banyak akal. Kita harus jeli, kuncinya ada pada Pak Luhut dan saya."

Percakapan ketiganya juga menohok nama Luhut Pandjaitan. Luhut diduga terlibat soal kepemilikan saham Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang menyebut-nyebut nama Luhut. "PLTA, yang mau miliki sahamnya siapa?" tanya MS. Lalu, dijawab R, "Nomininya Pak.... dari Pak Luhut."

Lalu, MS bertanya, "Dari pak Luhut?" Dan, R pun menjawab, "Saham itu juga memang kemauan Pak Luhut juga gitu. Cari referensi Freeport dari pengusaha seperti yang dulu dilakukan oleh kita kepada pengusaha." Menyimak percakapan itu, Luhut pun harus diverifikasi seputar dugaan rencananya memiliki saham PLTA.

Meski transkrip itu menohok jelas perannya, Setya Novanto, tetap menampik mencatut nama Presiden. Dia berdalih, sebagai pimpinan DPR, dirinya banyak menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak. Namun, dia menegaskan, bersama pimpinan DPR lainnya, tidak pernah membawa nama Presiden. "Kita tentu harus hati-hati, membawa nama presiden, karena kepala negara kita, dan kita harus menyampaikan dengan jelas. Kita sangat hati-hati. Kita, semua pimpinan DPR, hal-hal yang menyangkut presiden, kita selalu membicarakan secara bersama-sama," katanya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon membela Setya. Dia tak percaya bukti yang disodorkan Sudirman. Politisi Partai Gerindra itu menilai, bukan persoalan jika rekaman percakapan itu sekadar obrolan pribadi. Dia justru curiga motif Sudirman dan menganggap bukti rekaman yang disodorkan rekayasa.

Setya Novanto dan beberapa anggota DPR lainnya diketahui memang menggelar pertemuan dengan pengusaha asing, khususnya dari Amerika Serikat (AS). 10 September 2015 lalu, Setya Novanto memimpin delegasi DPR menemui pengusaha perusahaan terkemuka di Washington DC, AS. Anggota delegasi DPR yang ikut serta dalam pertemuan itu antara lain: Fadli Zon, Nurhayati Aseegaf, Roem Kono, Robert Kardinal, dan Markus Nari. Mereka bertemu pimpinan korporasi Coca Cola, Philip Moris, General Electric, dan Freeport. US-ASEAN Business Council terdiri dari 140 perusahaan terkemuka AS.

Pertemuan itu membahas seputar kerjasama dan upaya meningkatkan peluang-peluang kerjasama ekonomi. Delegasi itu mendengar keluhan para pengusaha AS soal kondisi ekonomi dan politik Indonesia. Mereka juga mempersoalkan masih adanya berbagai kendala investasi di Indonesia, khususnya terkait regulasi yang kurang kondusif maupun kurangnya kepastian investasi.

Kepada para pengusaha, delegasi DPR itu menyakinkan jika Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi, termasuk melakukan pemangkasan proses investasi dan deregulasi kebijakan.

Pertanyaan, mengapa Setya Novanto dan anggota DPR lainnya harus bertemu dengan pengusaha terkemuka di AS dengan tujuan meningkatkan kerjasama ekonomi? Bukankah itu menjadi kewenangan pemerintah, khususnya yang menggawangi bidang ekonomi?

Setya Novanto berhak membantah tudingan mencari untung dari Freeport. Namun, publik tentu tidak cukup percaya jika sekadar bantahan semata. Publiki menunggu MKD memproses laporan Sudirman. Jika benar terbukti Setya memanfaatkan posisinya sebagai Ketua DPR untuk melobi Freeport demi kepentingan pribadi atau segelintir pihak, maka posisinya berada di ujung tanduk.

Persoalannya, apakah MKD benar-benar dapat objektif mengadili dugaan pelanggaran kode etik sang ketua? Belum lama ini, MKD terbukti bak macan ompong saat menangani dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya dan Fadli Zon lantaran menghadiri kampanye Donald Trump yang berencana maju di ajang Pemilihan Presiden AS.

Perilaku keduanya dianggap sejumlah kalangan telah mencoreng kehormatan institusi DPR karena terkesan merepresentasikan DPR memihak salah satu calon presiden AS. Lagian, apa pula manfaatnya bagi rakyat Indonesia, pimpinan DPR hadir di sana?

Tetapi, MKD seakan tak berdaya mengusut dugaan pelanggaran kode etik itu. Sampai-sampai, MKD mengancam akan meminta polisi memanggil paksa Setya dan Fadli jika sampai tiga kali mangkir dari panggilan untuk menjalani pemeriksaan mengenai skandal Donald Trump. Rupanya, proses pemeriksaan berlangsung tertutup sehingga publik tidak bisa memantau prosesnya.

Karenanya, Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri memperingatkan MKD agar pengusutan terhadap Setya harus transparan dan akuntabel. Publik menyoroti kasus tersebut karena menyangkut martabat dan kepercayaan rakyat terhadap institusi DPR.

Dia juga mendesak Setya mengundurkan diri untuk mempermudah proses pemeriksaan oleh MKD. "Kami mendesak Setya untuk sementara mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR, sampai ada putusan dari MKD," katanya seperti dikutip Antara, di Jakarta, Selasa (17/11).

Karena MKD seperti macan ompong, publik pun pesimistis. Wajar jika kemudian muncul desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. Juru bicara KPK, Yuyuk Andriati Iskak, mengatakan pihaknya siap mengusut dugaan permintaan saham Freeport dengan mencatut nama Presiden Jokowi. Namun, dia mengatakan, KPK baru bisa melakukan penyelidikan jika ditemukan dugaan korupsi. Dia juga memastikan, KPK menunggu laporan lengkap terkait kasus tersebut.

Jika merujuk UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait tanggung jawab yang dijalani.

Artinya, bisa saja KPK turun tangan untuk membuktikan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan Setya dengan memanfaatkan posisinya sebagai Ketua DPR untuk kepentingan pribadi terkait proses perizinan Freeport itu. Dia percakapan itu terkesan ada persengkongkolan antara Setya, Maroef, dan Riza, dalam mendorong kepentingan Freeport. Apakah persengkongkolan itu dapat berdampak merugikan bagi kepentingan rakyat? 

Dugaan keterlibatan Maroef pun harus dibeberkan. Sebagai petinggi Freeport, dia telah merusak kredibilitas investor AS. Investor AS akan dijatuhi sanksi Foreign Corruption Practice Act (FCPA) jika terbukti menyuap untuk memperlancar kepentingannya saat berurusan dengan birokrasi di negara lain.

Dalam Konvensi PBB (United Nation Against Corruption 2003), selain mengarah ke pejabat publik, termasuk pejabat publik asing dan pejabat publik dari organisasi internasional, larangan suap berlaku kepada swasta dalam kegiatan komersial, ekonomi, dan finansial, termasuk suap yang dapat mengganggu proses peradilan yang jujur dan independen.

Secara etis, Setya Novanto telah melanggar kode etik sebagai pimpinan DPR. Jika pelanggaran etika itu tidak disertai sangsi tegas, maka secara institusi, DPR dirugikan. Pasalnya, kepercayaan rakyat makin runtuh terhadap DPR. Karenanya, tepat kiranya jika politisi Partai Gerindra Desmon Mahesa mendesak Setya mundur dari jabatannya, apabila terbukti menjual jabatan untuk mendapatkan saham PT Freeport. "Harus mundur dari pimpinan DPR," katanya kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/11).

Jika mencermati isi percakapan itu, Setya nampaknya berupaya menyakinkan Freeport dan terkesan menggunakan pengaruh politiknya untuk mempengarui Presiden dan menyakinkan Freeport. Sementara Riza memainkan peran sebagai broker yang menghubungkan swasta dengan politisi dalam urusan perpanjangan izin usaha.

Politisi, apalagi selevel pimpinan lembaga legislatif, tentu memiliki  pengaruh yang besar dalam mempengarui urusan pemerintah. Dalam modus korupsi, biasanya mereka memperdagangkan pengaruh dengan para pihak yang memiliki kepentingan untuk menekan eksekutif agar mengabulkan kepentingannya.

Pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan besar, tentu berupaya melakukan penetrasi ke kekuasaan eksekutif, yang salah satunya dengan memanfaatkan jasa politisi yang memiliki pengaruh. Mereka membangun hubungan yang personal, yang biasanya dengan menebar janji akan memberikan keuntungan besar yang tidak akan didapat si politisi jika hanya mengandalkan gaji.

Dengan iming-iming janji itu, pengusaha berupaya menunggangi politisi untuk melakukan intervensi agar kepentingan bisnisnya tidak diutak-atik pemerintah. Inilah yang namanya trading in influence atau memperdagangkan pengaruh, yang merupakan korupsi kerelasian trilateral (politisi, pengusaha, dan broker). 

Jika dibiarkan, praktik ini dapat merusak iklim investasi, merugikan keuangan negara, mendistrosi penegakan hukum, dan mengabaikan aspek  transparansi. Para pemburu rente inilah yang menyebabkan terjadinya state capture, yaitu pengambilan wewenang negara oleh kelompok tertentu.

Secara etika, Setya harusnya mundur. Meski menampik segala tudingan, sebagai pejabat publik, Setya terikat oleh ketentuan yang diatur dalam Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Tap MPR itu menegaskan, seorang pejabat publik harus berhenti dari jabatannya jika membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan keresahan atau sorotan publik. Seorang pejabat harusnya mundur jika dirinya melakukan sesuatu yang berdampak ketidakpercayaan publik.

Tap MPR itu harus dilaksanakan sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.

Dalam Tap MPR tersebut jelas bahwa setiap pejabat negara atau pemegang kekuasaan yang membuat kebijakan dan mendapatkan sorotan publik karena diduga melakukan tindakan korupsi maka harus mundur dari jabatannya tanpa harus dibuktikan lebih dahulu kesalahannya di pengadilan.

Namun, TAP MPR itu diacuhkan begitu saja oleh banyak pejabat negara dengan dalih prosedur formal belum membuktikan dirinya bersalah atau melakukan korupsi. Politisi maupun pejabat publik di negara ini harusnya mencontoh Jepang. Mereka membangun budaya legowo untuk mundur dari jabatannya tatkala kinerjanya disorot publik.

Menteri Pertanian Jepang Seiichi Ota misalnya, pada 19 September 2008 lalu dia mundur dari jabatannya karena ditemukan beras yang tercemar pestisida dan jamur. Ota mundur karena masalah itu sangat serius disorot masyarakat. Pejabat Jepang konsisten dengan budaya apologetic yang bersedia meminta maaf jika melakukan kesalahan, dan mundur dari jabatannya. Pengunduran diri dari jabatan publik adalah cerminan dari pertanggunjawaban etis seorang politisi. Politisi yang mengabaikan etika, cenderung hanya memanfaatkan jabatan untuk kepentingannya pribadi atau pihak lain. 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 524
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1045
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 265
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 739
Momentum Cinta
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 238
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 461
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 452
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 422
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya