NEGERI alias tanah air sedemikian penting bagi siapa saja yang mempunyai kesadaran berbangsa. Dan mereka, tak kan pernah sekalipun hendak menodai (apalagi merusak) negerinya. Perjalanan ke Solok, Sumatera Barat, di bawah kabut beberapa waktu berselang, kembali mengusik kesadaran tentang negeri.
Seorang ‘adik’ dan sekaligus sahabat yang sangat saya kagumi, menulis pesan singkat: “Sudah lebih 24 tahun tak pernah kukunjungi Berastagi, negeri tempat para ibu mengajarkan tentang asa kepada anak-anaknya”. Pesan singkat ini, makin mengusik kesadaran, betapa sedemikian penting makna negeri.
Indonesia adalah negeri yang selalu diungkap dengan berbagai julukan. Tak hanya ‘zamrud di khatulistiwa’. Tapi, pusat kerinduan bersulam patriotisme dan nasionalisme.
Karenanya, almarhum Proklamator Bung Hatta, dengan lantang dari gedung pengadilan Belanda, menyeru kuat, ”Nun.. di sana ada sebuah negeri, tempat aku dilahirkan dan kelak akan mati, Indonesia namanya”. Negeri, yang dalam pandangan almarhum Buya Hamka, merupakan bukti nyata, bahwa Allah SWT tak sia-sia menciptakan bumi.
Belakangan hari, silang sengketa pandangan politik dengan tujuannya masing-masing mempersoalkan kondisi negeri yang permai ini. Kedamaiannya dinodai dengan anarki. Keluhuran budayanya dikontaminasi dengan perangai yang diimport dari negeri antah berantah.
PERKAMPUNGAN DI TEPI SUNGAI MALILI - LUWU TIMUR - SULAWESI SELATAN |
Kekuatan peradabannya sedang diuji oleh proses belajar demokrasi dengan cara sesuka hati. Adab dan keadaban yang menjadi ciri negeri yang dijuluki ‘firdausi fid duniya’ oleh raja Fahd, sedang diuji oleh zaman.
Untuk dan atas nama demokrasi, negeri yang semestinya ditanami oleh optimisme ini, ditaburi pupuk pesimisme dan apatisme. Upaya mengembalikan negeri ini sebagai salah satu suar peradaban dunia yang penting, dikotori dengan perbuatan para ‘abdul buthun’ (hamba perut), yang rakus dan serakah, sehingga menebarkan bercak korupsi di mana-mana, kemudian menebarkan kemiskinan.
Ironisnya, mereka yang ambil bagian menebarkan kemiskinan, kini sibuk bersandiwara, seolah-olah menjadi pembela kaum miskin dan papa.
Negeri adalah kampung halaman. Setiap yang mempunyai kampung halaman, mestinya menyadari untuk secara kolektif kolegial memberikan sumbangsih menghidupkan kampung halaman dengan cara yang nyata.
Boleh jadi, kesadaran untuk sungguh berbuat kebajikan terhadap kampung halaman, baru akan tumbuh, bila kampung halaman itu porak peranda, dan kita kehilangan negeri.
Di Berastagi, kebanggaan tentang negeri menyeruak. Menjelma jadi semangat. Membangunkan kesadaran, betapa kita punya cara budaya yang meyakinkan, bahwa kita mempunyai apa yang baru diimpikan orang. Atau, kita mesti belajar lebih awal kepada Langston Hughes, penyair Amerika Serikat, yang selalu merindukan negeri laiknya negeri yang kita miliki.
PESAWAHAN DI KABUPATEN KARAWANG - JAWA BARAT |
Bukan kampung halaman (Amerika Serikat) yang tak sesuai dengan asa dan imajinasi Hughes. Bukan karena Hughes tak merasa Amerika Serikat sebagai negerinya, melainkan karena ia tak menemukan Amerika Serikat sebagai negeri yang selayaknya. Baginya.
Dalam salah satu puisinya, Hughes menuliskan angannya:
Kami harus punya negeri mentari,
yang gilang gemilang.
Dan negeri yang wangi airnya
Di mana samar senja :
saputangan badannya lembut,
merahmuda, dan kencana
dan bukan negeri ini
di mana hidup kelu
Kami harus punya negeri penuh pohonan
Tinggi tinggi dan besar
Runduk ditenggeri kakaktua yang ceramah
Gemilang seperti siang
Dan bukan negeri ini
Dimana burung kelabu
Akh.. kami harus punya negeri gembira
Penuh kasih dan girang,
Anggur dan lagu
Dan bukan ini
Dimana girang tak pantas.