Dinamika Politik 2016

Musim Paceklik Demokrasi

| dilihat 1373

DINAMIKA politik di sepanjang tahun 2016 bergerak fluktuatif. Tensinya naik turun. Kadang tegang, lalu meregang. Di penghujung tahun ini, tensi politik rada menurun. Namun, memasuki awal tahun 2017, kemungkinan bakal kembali memanas, seiring kian kerasnya kompetisi di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Di sepanjang tahun 2016, berbagai peristiwa politik terpapar. Konflik elit masih menjadi tontonan di panggung politik. Tak kalah seru dibandingkan tahun 2015. Bahkan, nampaknya kian memprihatinkan. Karena, konflik merembes ke level bawah, yang ditandai kian bermunculan afiliasi yang mengibarkan bendera masing-masing.

Dalam konteks demokrasi fenomena itu sah-sah saja. Namun, menjadi masalah jika sentimen kelompok yang melulu dihembuskan dan menjalar massif di ruang-ruang publik seperti di media sosial, kian membelah masyarakat. Satu sama lain saling sindir, kritik, serang, bahkan saling memperkarakan. Demokrasi memperlihatkan wajah lusuh lantaran bercampuran dengan sentimen, prasangka, dan kebencian.

Di awal tahun 2016, topik yang memompa suhu politik adalah berhembus kabar akan ada perombakan (reshuffle) kabinet Jilid II. Performa Kabinet Kerja yang kurang sejalan dengan ekspektasi menjadi pemicu munculnya desakan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar merombak komposisi menteri.

Gesekan di internal pemerintahan pun menjadi sorotan lantaran menghambat Kabinet Kerja berlari kencang mengejar target pencapaian program kerja yang sejalan dengan Visi Misi Nawacita. Masalah sinergi antarkementerian juga menjadi ganjalan.

Belum lagi polah beberapa menteri yang saling serang. Di antara gemuruh suara itu, terdengar pula nada yang menentang perombakan kabinet. Mereka yang resisten umumnya kalangan politisi yang khawatir jatah kursi menteri yang diduduki kader sesama partai dipangkas Jokowi. Seiring berhembusnya wacana reshuffle, bermunculan sejumlah nama. Sementara Jokowi sendiri, belum menunjukan sinyal akan ada reshuffle dalam waktu dekat.

Spekulasi yang bergerak liar di dunia maya pun akhirnya berakhir setelah Jokowi mengumumkan reshuffle. Keputusan Jokowi untuk merombak posisi menteri memang berhasil, setidaknya meredam gesekan di internal pemerintah.

Jokowi memberhentikan beberapa menteri yang dianggap mbalelo dan tidak cakap menjalankan tugas dan fungsinya. Namun, tidak berarti dinamika di internal pemerintahan akan adem ayem hingga akhir masa jabatan Kabinet Kerja.

Tahun ini, gesekan diyakini akan terus terjadi. Dan, bukan mustahil benturannya kian mengeras. Simak saja, di penghujung tahun 2016, berhembus lagi isu reshuffle. Dari arah yang lain, terdengar pula suara-suara yang menentangnya.

Politisi Partai Golkar Ade Komarudin disebut-sebut bakal masuk ke Istana. Setelah digantikan oleh Setya Novanto dari jabatan Ketua DPR, politisi yang karib disapa Akom itu diisukan bakal masuk ke kabinet, dengan posisi sebagai Kepala Staf Kepresidenan yang saat ini dijabat Teten Masduki, kalangan non partai.

Partai Gerindra pun kabarnya mendapat tawaran kursi menteri. Terkait isu itu, Akom mengaku akan mempertimbangkannya. Akom mengaku belum menerima tawaran dari Presiden Jokowi. Karenanya, dia tak ingin berspekulasi soal isu reshuffle.

Setiap kali isu reshuffle mencuat, dengan nada normatif, sebagian politisi menyatakan, urusan reshuffle menjadi kewenangan presiden. Mengangkat dan memberhentikan menteri memang merupakan hak prerogatif presiden. Namun, kewenangan yang diatur dalam konstitusi itu, bisa diutak-atik lantaran pertimbangan politis. Dan, di kala isu reshuffle mencuat, partai politik bermanuver dan memperlihatkan posisi tawarnya.

Partai Golkar misalnya. Selain memiliki kekuatan signifikan di parlemen, partai yang kini dinakhodai Setya Novanto itu sejak jauh hari bermanuver menyatakan dukungannya kepada Jokowi sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden 2019. Dukungan itu tentu tidak main-main. Apalagi, Golkar di era saat ini, miskin kader yang layak dijagokan di ajang suksesi.

Bagi Jokowi, sebagai partai pemenang kedua di Pemilihan Umum 2014 lalu, Golkar memiliki peran strategis dalam mengamankan kebijakan pemerintah. Tentu, dukungan itu tidak gratis. Dan, dengan modal politik yang kuat, sah-sah saja jika Golkar mendapatkan lagi kursi menteri.

Karena, partai-partai lain, meski perolehan suaranya tidak begitu signifikan, mendapatkan tiga dan empat kursi menteri. Wajar karena partai-partai itu turut berkeringat saat Pemilihan Presiden 2014 lalu. Sangat tidak adil jika Golkar yang tidak berjuang mengantarkan Jokowi ke Istana, mendapat jatah menteri yang sama jumlahnya dengan partai lain.

Di era pemerintahan saat ini, Golkar paling minim menempatkan kadernya di kementerian. Hanya satu kader Golkar yang duduk di kursi menteri, yaitu Airlangga Hertanto yang diangkat Jokowi sebagai Menteri Perindustrian.

Berbeda dibandingkan di era pemerintahan sebelumnya. Dalam urusan menambah jatah kursi menteri, Golkar jagonya. Meski jagonya kalah dalam dua kali pemilihan presiden (2004 dan 2009), Golkar tetap sukses mendudukan kadernya di pemerintahan.

Di era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I, dua kader Golkar berhasil duduk di pemerintahan yakni Aburizal Bakrie dan Fahmi Idris sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Golkar juga sukses mengantarkan Paskah Suzetta menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Andi Mattalatta sebagai Menteri Hukum dan HAM.

Lalu, di ajang Pilpres 2009, meski Jusuf Kalla dan Wiranto yang menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusung Golkar kalah dari pasangan SBY dan Boediono, Golkar tetap bisa memasukan kadernya di pemerintah. Mereka antara lain: Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat.

Masuknya kader Golkar itu tidak terlepas dari manuver politik elit Golkar. Tak menutup kemungkinan, kisah sukses itu kembali diukir Golkar. Karena, posisi tawar Golkar sangat kuat. Apalagi, sejak jauh hari Golkar menyatakan dukungan kepada Jokowi untuk menjadi calon presiden di Pemilihan Presiden 2019.

Jika manuver itu dilakoni Golkar, bukan tidak mustahil bisa mengancam kursi menteri yang diduduki partai lain. Jokowi tentu mencermati manuver Golkar, termasuk konstelasi politik mitra koalisi di sekitarnya. Bila tuntutan tidak diakomodasi, bukan mustahil, Golkar balik badan. Melakukan manuver yang berseberangan dengan pemerintah.

Manuver itu tentu merepotkan pemerintah. Jokowi memang tak bisa mengabaikan dukungan partai politik. Apalagi, dia bukan pentolan partai politik. Ketergantungan terhadap dukungan partai politik itu yang kemudian dimanfaatkan para pentolan partai politik untuk menunjukan posisi tawar.

Politik Dua Kaki

Lantaran khawatir dukungan partai politik menyusut, politik akomodatif pun dijadikan pilihan. Itu terlihat sejak Kabinet Kerja terbentuk hingga reshuffle Jilid II. Reshuffle kala itu cenderung kompromistis. Misalnya, Jokowi memberhentikan dua politisi Partai Hanura, Saleh Husin dan Yuddy Chrisnandy. Hanura rela dua menterinya itu dicopot lantaran Jokowi menunjuk Wiranto sebagai Ketua Umum Hanura, untuk menduduki jabatan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).

Jokowi tentu menyadari. Meski dipilih langsung oleh mayoritas rakyat dalam Pemilihan Presiden 2014 lalu, dukungan dari partai politik sangat penting untuk mengamankan kebijakan strategis pemerintahan yang dipimpinya, khususnya saat berhadapan dengan parlemen. Karenanya, dia berupaya menggalang dukungan maksimal dari partai politik.

Namun, Jokowi perlu berhitung untung rugi jika format para menteri diutak-atik lagi. Pengalaman sebelumnya setidaknya menjadi catatan bagi Jokowi jika opsi mengakomodasi kepentingan elit partai, tidak serta merta menekan manuver politisi. Tetap saja, mitra koalisi melakoni politik dua kaki.

Di satu sisi, mereka menunjukan loyalitasnya kepada presiden agar jatah kekuasaan tidak dipangkas. Bagi partai politik, posisi menteri sangat strategis. Pos-pos kementerian menjadi incaran karena dapat menjadi instrumen politik yang menyusup lewat program-program kementerian. Di sisi lain, mereka melakoni peran layaknya oposisi yang menyerang pemerintah seakan-akan pro terhadap kepentingan rakyat.

Di atas kertas, kekuatan partai pendukung pemerintah saat ini sangat kuat. Berbeda saat awal Jokowi memimpin pemerintahan. Namun, sekali lagi, dalam politik, hitung-hitungan di atas kertas seringkali kontras dengan kenyataan. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bagi Jokowi bisa memastikan soliditas di internal pemerintahan yang didominasi wajah-wajah politisi hingga akhir masa jabatannya.

Lihat saja nanti. Jelang suksesi, menteri-menteri sebagai petugas partai, akan nyambi menjalankan mandat partai politik. Sulit memastikan koalisi dapat langgeng hingga masa jabatan pemerintahan berakhir lantaran dibentuk atas dasar kepentingan dan orientasi kekuasaan, bukan atas dasar cita-cita dan ideologi politik.

Belajar dari pengalaman pemerintahan yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), politik akomodatif nyatanya tidak dapat menjinakan mitra koalisi. Politisi partai pendukung pemerintah di parlemen bisa menyerang kebijakan pemerintah lantaran dianggap melabrak kepentingan rakyat.

Misalnya, jika nanti harga minyak dunia naik, maka mau tidak mau---jika kondisi fiskal tidak memungkinkan, pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Lantaran dampaknya sangat signifikan bagi masyarakat, partai politik pendukung pemerintah akan berbalik arah, menolak kebijakan itu.

Dan, yang perlu juga diwaspadai adalah ketika menteri politisi, mementingkan kepentingan partai, dengan memanfaatkan program-program kementerian. Cara-cara demikian, tentu akan menghambat pencapaian visi misi, dan program kerja Nawacita yang dijanjikan Jokowi.

Karenanya, Jokowi harus memikirkan cara mengantisipasinya. Misalnya, dengan merekrut kalangan profesional untuk menjadi wakil menteri guna menutupi kelemahan menteri dari partai politik yang kinerjanya tidak seperti yang diharapkan. Meski konsekswensinya, Kabinet Kerja kian tambun.

Atau, diganti dengan kalangan profesional yang rekam jejaknya mumpuni, integritasnya tidak diragukan, dan berpengalaman di bidangnya. Misalnya, sosok seperti Sri Mulyani. Saat namanya disebut-sebut bakal menduduki jabatan Menteri Keuangan, respons pasar begitu positif. Dan, bekas Managing Director World Bank itu terbukti mampu menyakinkan pasar. Menteri Keuangan di era Presiden SBY itu juga kinerjanya patut diapresiasi.

Dalam pelaksanaan program Tax Amnesty misalnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat, realisasi uang tebusan amnesti pajak berdasarkan penerimaan surat setoran pajak (SSP) hingga 13 Desember 2016 mencapai Rp100 triliun atau sekitar 60,6 persen dari target Rp165 triliun.

Hingga pertengahan Desember 2016, DJP juga mencatat keseluruhan harta dari tebusan, berdasarkan penerimaan surat pernyataan harta (SPH) mencapai Rp4.002 triliun dengan komposisi sebanyak Rp2.870 triliun merupakan deklarasi dalam negeri, Rp988 triliun dari deklarasi luar negeri, dan Rp144 triliun adalah dana repatriasi.

Idealnya, reshuffle berbasis kinerja, bukan atas dasar politik akomodatif. Indikator penilaiannya bisa dilihat dari sejauhmana para menteri melaksanakan program-program kementerian. Presiden tentu memiliki catatan kinerja para menteri terkait realisasi agenda prioritasnya.

******

Di tahun 2016, panggung politik juga gaduh dengan konflik elit di internal partai yang berkepanjangan. Perseteruan yang melelahkan itu dialami Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Konsolidasi di internal partai sulit dibangun lantaran mediasi tak menghasilkan konsensus antar elit. Ironinya, kebuntuan dalam mengelola konflik pada akhirnya membuka celah bagi pemerintah untuk memancing di air keruh.

Imparsialitas pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly patut dipersoalkan. Karena, kebijakannya cenderung lebih mengakomodasi kubu yang menjadi pendukung pemerintah.

Keterlibatan pemerintah itu harusnya tidak boleh terjadi karena mempreteli independensi partai politik sebagai intrumen demokrasi. Di sisi lain, elit partai pun harusnya intropeksi diri jika kegagalan mengelola konflik justru berdampak bagi institusi partai.

Konflik berkepanjangan tidak terlepas dari lelaku politik patron and client yang membelah partai politik. Masing-masing kubu tak bisa bersatu lantaran mengutamakan kepentingannya masing-masing. Jika tidak, mereka terdegradasi dari struktur kekuasaan partai yang bisa mengancam karir politiknya. Namun, kerugian yang ditanggung sangat besar. Konflik di level elit pada akhirnya membuat mesin partai tak bergerak optimal dalam memobilisasi dukungan rakyat.

Lihat saja, perseteruan di internal Golkar, antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menyebabkan Golkar terpuruk. Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), 9 Desember 2015 lalu menunjukan, jago-jago Golkar pada tumbang. Golkar yang sebelumnya selalu mendominasi suksesi di daerah, hanya merengkuh kemenangan sekitar 34 persen. Itu pun sebatas menjadi pendukung kandidat yang diusung partai lain.

Kini, konflik di Golkar rada mengurai. Sementara PPP, konflik masih mengemuka. Pemerintah yang awalnya mengakui keabsahan PPP yang dipimpin Muhammad Rohmamurmizy, kini berubah haluan mendukung PPP pimpinan Djan Faridz.

Perubahan arah dukungan pemerintah itu diduga terkait keputusan PPP yang mendukung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di ajang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sementara PDIP, partainya Yasonna Laoly, mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat.

Konflik internal partai dan intervensi pemerintah, pada akhirnya melemahkan kekuatan penyeimbang. Kondisi itu tentu tidak menyehatkan demokrasi. Golkar yang awalnya berada di gerbong Koalisi Merah Putih (KMP) yang berada di luar pemerintahan, putar haluan menjadi pendukung pemerintah.

Bergabungnya Golkar ke kubu pemerintah menjadi pukulan bagi kubu oposisi. Dampaknya, checks and balances, khususnya yang dilakoni legislatif terhadap eksekutif, tidak berjalan dengan baik.

Dalam demokrasi, peran oposisi sangat penting. Parlemen yang kuat akan menguatkan daya kontrol guna memastikan pemerintah berjalan sesuai relnya (on the track). Bagi pemerintah, kontrol dan kritik kubu penyeimbang dapat menjadi vitamin untuk meningkatkan kinerjanya.

Oposisi tidak selamanya menjadi musuh pemerintah. Namun, dapat menjadi teman baik yang selalu mengingatkan agar pemerintah menjalankan titah kekuasaan sesuai mandat rakyat. Oposisi yang baik tentu tidak ingin terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dan, oposisi yang baik, senantiasa melancarkan kritik-kritik yang konstruktif kepada pemerintah. Rakyat tentu akan menilai sejauhmana peran itu dilaksanakan. Rakyat akan mengapresiasi partai politik yang serius menjadi oposisi. Dengan begitu, berpolitik di jalur oposisi adalah investasi politik bagi partai politik.

Selain melemahnya daya oposisi, demokrasi kian meredup lantaran kelompok penekan yang berada di luar institusi formal, turut dipreteli. Padahal, di kala oposisi mati suri, peran kelompok penekan sangat penting.

Untuk menekan gerakan kelompok penekan, rezim penguasa saat ini menebar jerat pidana makar seperti yang diarahkan pada Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zen, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Huzein, Eko, Alvin Indra Al Fariz, Rachmawati, dan Ahmad Dhani.

Larangan makar diatur dalam KUHP. Hukumannya sangat berat. Mereka yang diduga berupaya menggulingkan pemerintah yang sah, terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara. Jika menjadi aktor intelektual pelaksanaan makar, hukumannya lebih berat. Penjara seumur hidup.

Di alam demokrasi saat ini, agaknya terlalu berlebihan jika jerat pidana makar ditebar. Ketentuan pidana makar juga rawan disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Pasal lentur itu dapat menjadi senjata ampuh bagi penguasa untuk menekan kelompok-kelompok kritis yang berseberangan dengan penguasa.

Di jaman Orde Baru, kelompok-kelompok penekan dijerat pidana subversif lantaran diduga makar, menghina pemerintah, menolak ideologi Pancasila dan UUD 1945. Eksistensi kelompok penekan yang diorganisir kalangan aktivis pro demokrasi merupakan repsentasi kekuatan masyarakat sipil (civil society) untuk mengimbangi kekuasaan negara. Kelompok penekan yang inklusif dan bergerak secara mandiri dapat menjadi asosiasi yang kuat untuk mengontrol kekuasaan.

Karenanya, tidak lagi tepat jika gerakan yang dilakukan kelompok penekan direspons dengan tuduhan makar. Apalagi, jika sekadar berkumpul, berdemonstrasi, lalu melontarkan pernyataan pencabutan mandat kekuasaan. Pernyataan itu harus dipahami sebagai ekspresi kekecewaan dan kritik terhadap pemerintah.

Gerakan kelompok penekan, dilakoni individu-individu yang secara sadar ingin melawan hegemoni negara. Tuntutan mereka pun berangkat dari problem realitas yang tengah dihadapi negara. Mereka berbeda dengan masyarakat biasa cenderung pasif, tidak kritis terhadap kekuasaan. Mereka mampu mengorganisir diri untuk melakukan tuntutan terhadap ketidakadilan lewat cara-cara advokasi, pendampingan, ligitasi, dan memobilisasi dukungan rakyat.

Politik Kian Panas

Suhu politik diperkirakan memanas di awal tahun 2017. Tensinya meningkat seiring kian mendekatnya Pilkada. 15 Februari 2017, Pilkada serentak akan digelar di 101 daerah.

Ada kekhawatiran, suksesi mengusik hamoni sosial. Di Jakarta, konflik terlihat begitu jelas setelah meluncur pernyataan Ahok yang menyinggung perasaan umat Islam. Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua juga diprediksi rawan konflik. Di Aceh, Pilkada akan digelar di 25 kabupaten dan pemilihan gubenur. Konflik rawan terjadi lantaran masing-masing kandidat memiliki pendukung yang fanatik. Selain itu, hampir semua kandidat merupakan mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sementara di Papua, ada 11 kabupaten dan kota yang akan menggelar Pilkada, di antaranya Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi,  Kabupaten Yapen, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabuapaten Tolikara, Kabupaten Nduga, dan Kabupaten Mapp. Konflik rawan terjadi di Pilkada Papua, karena fanatik kedaerahan dan kesukuan. Massa akan mudah dibakar emosinya karena faktor hubungan emosional, yang dilatarbelakangi kesamaan suku, budaya, ras, asal, dan sebagainya.

Berdasarkan Indeks IKP 2017 yang dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada tiga aspek utama kerawanan Pilkada yang perlu mendapat perhatian, yaitu penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi. Aspek penyelenggaraan terkait peran penyelenggara Pemilu dalam memastikan Pilkada berlangsung bersih, jujur, adil, dan demokratis. Dalam hal ini, penyelenggara Pemilu dituntut untuk menjaga indepedensi, integritas, dan profesionalitas. Konflik bakal mengemuka jika penyelenggara Pemilu main mata dengan salah satu kandidat. Konflik bakal terjadi terjadi ditemukan aroma kecurangan dalam penyelenggaraan Pilkada.

Usai Pilkada serentak 2015 lalu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menghukum beberapa oknum penyelenggara Pemilu yang terindikasi memihak kepada salah satu kandidat. Sebanyak 44 penyelenggara Pemilu dipecat, empat penyelenggara Pemilu diberhentikan sementara, dan 125 orang diberikan sanksi peringatan. Di tahun 2016, DKPP juga memberhentikan sebanyak 28 orang dan memberikan sanksi peringatan kepada 88 orang penyelenggara Pemilu.

Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang dilakukan penyelenggara Pemilu, maka dibutuhkan pengawasan yang tidak hanya dilakukan Bawaslu. Pers dan masyarakat harus mengawasi betul pelaksanaan Pilkada, mulai dari penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), pemunguatan dan rekapitulasi suara.

Perlu diawasi jumlah surat suara yang tidak sah maupun surat suara kosong (tidak terpakai). Karena, rawan dikonversi ke salah satu pihak yang mungkin sudah memesannya.

Kecurangan juga biasa ditemukan di tempat pemungutan suara (TPS). Modusnya, bisa berupa jual beli suara antara saksi dengan pemilih. Ada juga oknum-oknum tertentu yang berupaya mempengarui pilihan warga saat berada di TPS.

Awasi pula oknum KPPS yang memanipulasi pemungutan suara dengan mengatur undangan pemilih (formulir C6). Formulir itu seharusnya diberikan ke semua orang yang terdaftar di DPT. Namun, banyak KPPS yang memanfaatkan formulir C6 untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

Lalu, mobilisasi pemilih fiktif, apalagi jika dikaitkan adanya masalah pada DPT. Pemilih fiktif memiliki identitas palsu, dengan mengubah nomor induk kependudukan (NIK) yang tertera di KTP asli.

Kualitas Pilkada juga sangat tergantung peserta dan tim suksesnya. Dalam hal ini, peserta dan tim sukses harus siap kalah, legowo, dan menghindari cara-cara anarkis dalam menyelesaikan masalah. Jangan pula menebar kampanye hitam yang memecah belah masyarakat. Aparat juga harus siaga mengantisipasi bila terjadi gesekan. Semua pihak, baik penyelenggara Pemilu, tokoh masyarakat, kalangan intelektual, media, aparat keamanan, dan stakeholders lainnya, mendorong mediasi jika konflik mengemuka.

Sementara aspek kontestasi menekankan pada peserta yang berkompetisi meraih posisi politik dan melihat seberapa adil dan setara proses politik yang berlangsung. Sedangkan aspek partisipasi, menyangkut sejauh mana kepedulian masyarakat dalam mengawal pelaksanaan Pilkada.

Partisipasi politik masyarakat jangan disimplifikasi terlalu sempit. Partisipasi tidak sekadar membuka ruang bagi rakyat menggunakan hak pilihnya di ajang suksesi. Namun, lebih dari itu. Partisipasi merupakan prinsip dasar berdemokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa partisipasi politik. Partisipasi politik juga mengukuhkan demokrasi deliberatif yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam politik dalam arti lebih luas.

Tidak hanya di ajang suksesi, namun juga terlibat dalam proses perumusan kebijakan-kebijakan publik (public policy). Di ajang suksesi, partisipasi politik harus menempatkan masyarakat berdaulat secara politik. Mereka dapat menggunakan hak pilihnya sesuai prereferensi, tanpa intimidasi. Mereka juga terlibat dalam memobilisasi dukungan dan mengawal suara.

Kesadaran itu pada akhirnya menempatkan masyarakat sebagai subjek penentu dan pengendali kebijakan pemerintahan. Dengan demikian, para kepala daerah yang terpilih, harus membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan diskursus sebagai acuan legitimasi kebijakan-kebijakan publik. Partisipasi politik rakyat juga diarahkan untuk mengawal laju pemerintahan agar tetap sejalan dengan ekspektasi rakyat. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 337
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya