Meredam Makar Tanpa Mengebiri Demokrasi

| dilihat 1601

AKARPADINEWS.COM | PERINGATAN tegas disampaikan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian terkait kabar adanya demonstrasi tanggal 25 November dan 2 Desember 2016. Pasalnya, Kapolri mengindikasikan, ada upaya makar di balik rencana demonstrasi itu.

Tito mengontongi informasi jika demonstrasi 25 November akan menguasai DPR. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum. Jika ada upaya menggulingkan kekuasaan pemerintahan yang sah, Kapolri tidak akan kompromi.

Pelaku bakal dijerat pasal makar. "Kalau bermaksud menggulingkan pemerintah, itu ada (bisa dijerat) pasal makar. Kita akan tegakkan hukum, baik yang melakukan maupun yang menggerakkan," tegasnya di Mabes Polri, Jakarta, Senin (21/11).

Terkait kabar demonstrasi 2 Desember, Kapolri menyebut, ada sejumlah elemen yang menyebarkan rilis untuk menggelar demonstrasi Bela Islam Ketiga itu, dengan menggelar sajadah, Salat Jumat di Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, dan Bundaran HI. Menurut Kapolri, meski demonstrasi diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat, namun, ketentuan itu tidak bersifat absolut.

Karena, menurut Tito, demonstrasi tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain, termasuk memakai jalan, apalagi jalan protokol. Menurut Kapolri, jika jalan protokol itu diblokir, maka akan mengganggu aktivitas warga. "Ibu-ibu yang melahirkan, mau berangkat ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) bisa terganggu. Yang sakit bisa terganggu, yang mau bekerja bisa terganggu. Sopir taksi, angkutan, dan lain-lain bisa terganggu, bisa memacetkan Jakarta. Itu menganggu ketertiban publik," kata Kapolri.

Karena itu, Kapolri melarang kegiatan tersebut. Jika tetap dilaksanakan, aparat bertindak tegas. Membubarkan demonstrasi. Jika tidak mau membubarkan aksinya, para demonstran bisa dijerat Pasal 221, 212 sampai 218 KUHP terkait upaya melawan petugas. Ancamannya, lebih dari lima tahun penjara. Kapolri juga mengeluarkan maklumat kepada Kapolda Metro Jaya dan Kapolda lainnya, yang menjadi kantong-kantong massa, untuk tidak mengirim demonstran ke Jakarta.

Di tempat yang sama, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan, jika ada upaya makar, maka tidak hanya menjadi tanggungjawab Polri. "Tetapi, sudah menjadi urusan TNI juga." Panglima memastikan, seluruh prajurit TNI, bersama aparat kepolisian, siap menjaga keamanan, ketertiban, dan melindungi masyarakat.

Panglima memerintahkan prajuritnya dengan "tidak menggunakan senjata", menghadapi kelompok "jihad" yang menggunakan senjata. "Kita lawan dengan tidak bersenjata. Dengan tangan kosong. Sama-sama berjihad. Tetapi, saya perintahkan, rampas senjatanya, kembalikan, supaya tidak melanggar HAM."

Menurut Gatot, kejadian saat ini tidak boleh berlarut-larut karena dapat menghambat masyarakat untuk hidup tenang. "Jangan karena sekelompok atau segelintir masyarakat yang tidak bertanggungjawab, membuat masyarakat tidak tenang," tegas Gatot. Panglima juga memperingatkan jika di Indonesia yang berlaku adalah undang-undang nasional, tidak ada undang-undang lain.

Terkait pernyataan Kapolri dan Panglima TNI tersebut, Presiden Joko Widodo menyatakan, sudah menjadi tugas Polri dan TNI untuk mewaspadai segala hal yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan demokrasi. “Tugasnya Polri dan TNI, dan semuanya harus merujuk pada ketentuan-ketentuan hukum yang ada," kata Presiden. Kepala Negara juga mengingatkan jika kondisi saat ini aman-aman saja. "Kemarin saya ke mall juga tidak ada apa-apa, ya ramai saja, enggak ada apa-apa,” ujarnya.

Apa benar ada upaya makar? Apakah demonstran berencana menggulingkan kekuasaan yang sah? Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengingatkan Kapolri agar lebih terukur dalam melontarkan pernyataan. Misalnya, dia mencontohkan, tidak langsung menuding ada upaya makar makar terkait rencana demontrasi. "Jangan langsung belum apa-apa, (disebut) makar, dan sebagainya. Jaman sudah berubah. Orang yang punya keyakinan dan turun dengan keyakinan itu, tidak bisa ditakut-takuti. Malah nanti semakin radikal," katanya

Fadli menegaskan, hak menyatakan pendapat, termasuk berdemonstrasi, dijamin konstitusi. Namun, Fadli mengingatkan, jangan ada tindakan pelanggaran hukum dan hal-hal yang bersifat destruktif saat demonstrasi. Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu pun menilai, situasi saat ini tidak ada kegentingan. 

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah juga merasa tak habis pikir dengan larangan demonstrasi tersebut. "Heran saya, setelah 18 tahun demonstrasi tumbuh dan hilang karena kinerja, sekarang mau dibungkam." tulisnya lewat akun twitternya. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengingatkan, larangan itu akan membuat citra Presiden Jokowi tambah hancur. "Tambah hancur citra Presiden Jokowi karena membiarkan aparat yang mengancam demonstran."

Menurut Fahri, 18 tahun demonstrasi damai terjadi, tiba-tiba sekarang aparat merasa sangat terancam. "Lalu mau mencari aktor dan dalang. Mereka ini mirip Harmoko atau pejabat-pejabat Orba (Orde Baru) zaman dulu. Saya ingin memberitahu Presiden Jokowi bahwa ini semua salah...!"

Politisi Partai Demokrat, Andi Arief lewat akun twitternya juga menilai, aksi damai dengan jumlah massa yang besar tidak akan mengarah pada tindakan makar. "Pak Tito, rakyat dengan aksi damai jumlah besar tak mungkin bisa makar. Tugas anda menjaga dan memastikan tidak ada kejahatan dalam aksi," tulisnya.

Andi pun mengingatkan jika demonstrasi dijamin konstitusi sehingga tidak bisa dilarang. "Pak Tito, konstitusi jamin siapa pun dengan jumlah berapapun dengan cara damai, lakukan protes bersamaan, bahkan meminta Presiden mundur."

Andi lalu mengaitkan car free day yang menutup jalan yang diizinkan pemerintah dan aparat. "Masak rakyat yang mau pemerintah jadi bener malah, dengan menutup jalan dimasalahkan. Dia juga mengingatkan jika pelarangan demonstrasi dapat menimbulkan ketegangan baru yang tidak perlu, bahkan dapat memicu radikalisme.

Dia juga mengkritik Polri yang dipimpin mantan Komandan Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror yang cara berfikirnya sudah terformat secara politik. "Pak Tito, belajarlah pada kepolisian yang sabar dalam mengawal aksi-aksi besar dan damai setelah 1998-1999. Kuncinya sayang pada rakyat."

Kritik itu sangat beralasan. Demonstrasi adalah bagian dari warna demokrasi. Bangsa ini akan kembali ke belakang jika setiap demonstrasi dicurigai, apalagi direspons dengan intimidasi maupun tindakan represif. Namun, beralasan pula jika muncul kecurigaan ada motif lain dibalik rencana demonstrasi yang menuntut penegakan hukum pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang diduga melakukan penistaan terhadap agama. Toh, tuntutan demonstran untuk memproses hukum Ahok sedang ditangani Polri. Saat ini, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri tengah memeroses kasus tersebut.

Kapolri menjanjikan, akan segera menuntaskan berkas penyidikan Ahok untuk diserahkan ke kejaksaan yang melakukan penuntutan. Di kala proses penyidikan tengah berlangsung, maka wajar bila muncul kecurigaan ada motif lain di balik demonstrasi itu. Spekulasi pun berhembus jika ada kelompok tertentu yang mengancam NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Namun, pelaku dan dalangnya, hingga kini belum jelas. Kelompok radikal disebut-sebut menunggangi aksi tersebut.

******

Demonstrasi merupakan warna di alam demokrasi. Demonstrasi menjadi salah satu cara masyarakat dalam menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi. Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberikan kemerdekaan kepada setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan dan sebagainya. Hak menyatakan pendapat juga sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat.

Namun, dalam menyampaikan pendapat di muka umum, wajib hukumnya menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian, menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, dan mentaati hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak menyatakan pendapat juga boleh mengusik persatuan dan kesatuan bangsa.

Masalahnya, kadangkala demonstrasi diwarnai tindakan anarkis. Itu terjadi lantaran provokasi di lapangan, bagian dari setting agenda, dan tersumbatnya komunikasi antara demonstran dengan aparat keamanan.

Di alam demokrasi, demonstrasi harusnya dianggap sebagai reaksi khalayak lantaran kurangnya kepercayaan dan lambatnya pemerintah dan aparat penegak hukum dalam merespons suara-suara yang mengema. Apalagi, kasus dugaan penistaan agama terhadap Ahok, rada sensitif. Persoalan kian pelik lantaran bersatu padu dengan urusan politik. Aparat kepolisian dan pemerintah, di satu sisi harus berhadapan dengan desakan massa. Sementara di sisi lain, berhadapan pula dengan kepentingan politik karena Ahok adalah kandidat gubernur DKI Jakarta yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)---partai yang tengah berkuasa, dan partai pendukung pemerintah lainnya: Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Golkar, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Namun, lambatnya proses penanganan perkara Ahok, apalagi muaranya pada putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan kehendak khalayak, akan menstimulan demonstrasi lanjutan, yang bisa saja jumlah massanya jauh lebih besar dibandingkan aksi 4 November lalu. Perkara penistaan agama yang sensitif, tak membuat masyarakat, khususnya umat Islam berhenti berdemonstrasi untuk menuntut secara hukum.

Karena, seperti dinyatakan KH Hasyim Muzadi, di Republika (9/11), di kalangan umat Islam seluruh dunia, yang tidak boleh disinggung yakni Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Kitab suci Alquran. Apabila salah satu dari hal itu disinggung dan direndahkan, maka akan mendapat reaksi spontan dari umat Islam, tanpa disuruh siapa pun. Reaksi tersebut akan segera meluas tanpa bisa dibatasi oleh sekat-sekat organisasi, partai, dan birokrasi. Kekuatan energi tersebut akan bergerak dengan sendirinya tanpa dibatasi ruang dan waktu. Hasyim menilai, demonstrasi 4 November 2016 lalu lebih didasari pembelaan umat Islam terhadap kesucian Al Quran.

Dengan demikian, upaya melarang demonstrasi terkait dugaan penistaan agama, akan sulit menekan masyarakat, khususnya umat Islam yang menuntut penegakan hukum terhadap Ahok. Dan, secara politis, demonstrasi yang digelar secara terus menerus, akan mendelegitimasi rezim yang berkuasa saat ini.

Pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentu tidak ingin dinistakan sebagai pemimpin yang tidak pro terhadap umat Islam, sebagai pemeluk agama mayoritas di negara ini.

Aksi 4 November lalu, dengan jumlah massa luar biasa banyak, diakui atau tidak, membuat "shock" pemerintah. Demonstrasi itu sepertinya di luar dugaan. Semula, intelijen menyebut, aksi itu hanya akan diikuti sekitar puluhan ribu demonstran.

Nyatanya, bisa dikatakan, aksi 4 November merupakan aksi dengan jumlah massa terbesar yang pernah terjadi selama ini. Wajar jika kemudian Presiden Jokowi sibuk melakukan safari, mengunjungi dua organisasi agama besar di Indonesia: Pengurus Besar Nadtahul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Presiden pun menyambangi institusi TNI dan Polri guna memastikan kesiapan menghadapi demonstrasi bela Islam lanjutan yang dikhawatirkan ditunggangi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki motif ideologis yang berseberangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Demonstrasi dengan jumlah massa yang besar, jika dibiarkan, juga akan menghambat implementasi program pemerintah, mengusik stabilitas sosial, mempengarui stabilitas ekonomi, dan mengancam ketertiban umum. Kalaupun tidak diarahkan pada upaya mengguling kekuasaan, demonstrasi bela Islam itu dapat menyebabkan kian tergerusnya legitimasi pemerintah saat ini, yang tentunya akan merugikan jelang kontestasi politik 2019 nanti.

Tak hanya itu, demonstrasi juga dapat bermuara pada pada tumbangnya kekuasaan rezim. Gerakan mahasiswa tahun 1998 misalnya, mampu menggulingkan kekuasaan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Presiden Soeharto dipaksa lengser dari kekuasaan lantaran tak lagi mampu mengelola pemerintahan. Aksi mahasiswa juga merepresentasikan suara-suara rakyat yang marah dan kecewa terhadap rezim Orde Baru yang melanggengkan kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Apakah benar ada aktor yang memiliki motif politik dan ideologis di balik gerakan bela Islam? Memang, sejauh ini, jawaban yang menggema masih bersifat spekulatif. Bisa saja ada pihak-pihak atau kelompok tertentu yang memiliki motif lain, selain mendesak aparat penegak hukum untuk tidak melindungi Ahok. Namun, bisa juga dipahami sebagai reaksi umat Islam yang ingin menjaga kemuliaan Al Quran. Ada pula lantaran ketidaksukaan terhadap personal Ahok yang dianggap arogan.

Aksi 4 November lalu yang nampak lebih berorientasi pada tuntutan penegakan hukum. Prosesnya pun berjalan damai. Meski dinodai insiden anarkis, aksi jutaan massa itu secara umum, terorganisir dengan baik. Tuntutan yang menggema pun tidak diarahkan dengan tujuan makar, menggulingkan pemerintah yang sah saat ini. Aksi itu juga tidak menebar kebencian terhadap etnis tertentu, apalagi mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Demonstran yang berasal dari sejumlah daerah itu disatukan dalam sebuah gerakan penegakan hukum terkait kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok. Ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, 27 September lalu yang mengutip Al-Quran Surat Al Maidah 51, memang mematik kemarahan sebagian umat Islam.

Meski demikian, aparat keamanan patut pula mencurigai motif kelompok tertentu yang dapat mengancam NKRI, merongrong Pancasila dan UUD 1945. Bisa saja, kasus yang menyeret Ahok menjadi momentum kebangkitan kelompok garis keras untuk melawan rezim dan mempreteli ideologi sekuler yang diadopsi negara saat ini. 

Sebelum aksi 4 November, ada kekhawatiran jika aksi itu dilakoni kelompok radikal. Pengamat terorisme, Sydney Jones sebelum memprediksi, demonstrasi anti-Ahok kemungkinan ditunggangi kelompok radikal, Jaisy Al Fath. Alasannya, kelompok itu mengancam akan membunuh Ahok jika tuntutan untuk menghukum Ahok tidak ditindaklanjuti. Ancaman itu disiarkan lewat video dan foto yang tersebar di dunia maya, yang menunjukan sosok militan yang dilengkapi senjata otomatis dan terdapat tulisan berbunyi, 'Tangkap Ahok atau Peti Mati Ahok". Foto itu disebutkan berasal dari kelompok Jaisy Al-Fath, bagian dari kelompok yang dulunya adalah Front Al Nusra yang terafiliasi kepada Al Qaida.

Dugaan keterlibatan adanya Islam garis keras tak bisa dihindari jika dikaitkan dengan sejarah. Saat reformasi bergulir yang membuka katub demokrasi, siapapun dapat bersuara, termasuk kelompok Islam yang di era Orde Baru pernah mengalami kekerasan. Namun, terdengar suara-suara yang menginginkan tegaknya syariat Islam.

Mereka memimpikan kejayaan dunia Islam masa lalu yang dipandang sebagai jaman keemasan (golden age) untuk dijadikan rujukan gerakan politik Islam kotemporer. Mereka juga merujuk pada piagam Madinah sebagai landasan justifikasi pandangannya.

Misalnya, seperti yang diperjuangkan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dalam perjalanannya, organisasi Islam yang diketuai Ustad Abubakar Ba’asyir itu bergerak dengan semangat militansi dan tidak mengenal kompromi. Saat era reformasi bergulir, MMI bersama ormas Islam lainnya seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Ikwanul Muslimin Indonesia, Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah dan Laskar Jihad, mendesak syariat Islam diberlakukan.

Di Indonesia, gerakan Islam sudah ada sejak periode penjajahan Belanda. Diawali munculnya Sarekat Islam (SI) yang dipelopori Haji Oemar Sait (HOS) Cokroaminoto, yang kemudian bergabung Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H Samanhudi. Setelah SDI berubah menjadi Syarikat Islam (SI), pergerakan politik yang dipimpin Cokroaminoto makin besar.

Awalnya, organisasi itu dibentuk untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi China dalam urusan perdagangan. Namun, Cokroaminoto memimpin pergerakan dan makin memperjelas tujuan politiknya, yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia dan memberlakukan syariah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di era Orde Baru, gerakan Islam militan menjadi sasaran rezim dari tahun 1960-an sampai 1980-an karena dianggap menentang diterapkannya Pancasila. Cara-cara represif pun dilakukan seperti dalam peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989).

Hingga saat ini, pergerakan Islam radikal diyakini masih kuat. Orientasi gerakan masih terkait dengan perubahan ideologi negara. Tentu, Indonesia yang majemuk, yang sudah sekian lama hidup dalam harmoni sosial dengan berbasis pada Pancasila dan UUD 1945, tidak ingin kembali lagi ke masa-masa sebelumnya, di kala terjebak dalam pergulatan ideologis yang menyebabkan konflik berdarah-darah antar sesama anak bangsa.

Karenanya, dalam menyikapi demonstrasi, aparat keamanan tidak bisa begitu saja memvonis para demonstran yang terlibat aksi demonstrasi dengan tuduhan makar. Cara-cara itu persis dengan cara-cara rezim Orde Baru yang menuding kelompok-kelompok tertentu yang berseberangan dengan pemerintah, sebagai gerombolan massa yang berupaya melakukan tindakan makar. Dengan dalih menjaga stabilitas, mereka yang dicurigai bertindak makar, ditindak secara represif.

Ingat kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan sebagainya. Kasus Talangsari terjadi hanya karena kecurigaan pemerintah yang berlebihan terhadap aktivitas jamaah Warsidi yang dituduh menentang asas tunggal Pancasila. Pemerintah Orde Baru yang ditopang kekuataan militer kala itu mencermati indikasi tumbuhnya gerakan Islam, setelah hancurnya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Baca: Tragedi Talangsari yang Terlupakan).

Tragedi Talangsari mewarisi sejarah kelabu bagi bangsa ini. Ketidakjelasan pengusutan kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1989 itu, menyisahkan ketidakadilan bagi para korban dan keluarganya. Jauh sebelumnya, para korban dan keluarganya telah berkali-kali mendesak aparat penegak hukum, menyeret para pelaku kejahatan HAM Talangsari. Namun, aparat penegak hukum terkesan menutup mata.

Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, tudingan makar jangan dijadikan dalih bagi aparat keamanan untuk menumpas kelompok-kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Makar merupakan kejahatan terhadap keamanan negara (crime of the security of the state). Sebuah tindakan dinyatakan makar jika mengancam keamanan negara, mengancam keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, mengancam wilayah NKRI, dan pemerintahan.

Para pelaku dapat dijerat Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ancamannya cukup berat. Mereka yang memimpin gerakan makar dapat dihukum dengan penjara seumur hidup, atau selama-lamanya 20 tahun penjara.

Makar pada dasarnya tindakan pelanggaran hukum yang bisa dikategorikan sebagai penghianatan terhadap negara. Makar juga dipahami sebagai tindakan politik, yang diaktualisasikan dengan menentang tatanan hukum yang berlaku lantaran berseberangan dengan keyakinannya. Pelaku ingin mengubah tantanan kehidupan masyarakat sesuai dengan ideologi yang diyakininya.

Karenanya, menjadi tugas aparat keamanan untuk melakukan tindakan. Upaya penggulingan terhadap kekuasaan yang sah tidak dibenarkan dalam konstitusi. Dalam konstitusi dinyatakan, Presiden hanya bisa dijatuhkan jika terbukti melanggar konstitusi. Presiden dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran hukum atau kejahatan yang berat seperti diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.

Dengan demikian, Presiden Jokowi tidak dapat diberhentikan, hanya karena dikesankan membela Ahok. Sementara di Pasal 7B UUD 1945 menyatakan, pemberhentian Presiden harus dilakukan melalui pengujian atau pengadilan oleh Makamah Konstitusi (MK).

Makna dari pasal ini menunjukkan bahwa berhentinya Presiden dari jabatannya setelah diperiksa, diadili, dan diputus oleh MK atas permintaan DPR. Dengan kata lain, DPR dan MPR tidak dapat serta merta memberhentikan secara langsung presiden dari jabatannya.

Karena, jika sekadar demonstrasi, apakah layak disebut sebagai tindakan untuk menggulingkan kekuasaan. Dalam demokrasi, sah-sah saja sekelompok orang menyuarakan tuntutan yang berseberangan dengan pemerintah, termasuk mendesak Presiden mundur dari kekuasaannya.

Namun, bukan berarti tuntutan yang disuarakan itu sebagai tindakan makar. Esensi dari tuntutan itu harus dipahami sebagai peringatan pada pemerintah, agar menjalankan mandat kekuasaan sesuai aspirasi rakyat. Tuntutan agar Presiden mundur dari jabatannya, hanya cara dalam menyampaikan pendapat, bukan berarti antipemerintah dan NKRI.

Tudingan makar tidak bisa atas dasar asumsi yang tujuannya mengebiri gerakan demokrasi. Dan, sebagai negara hukum (rechtsstaat), penerapan hukum yang dilakukan aparat, harus lebih diarahkan pada kepentingan tertib sosial, melindungi masyarakat, bukan untuk melindungi kepentingan elit politik.

Era reformasi sejatinya menebar angin segar bagi kehidupan berdemokrasi. Gerakan massa tumbuh, mandiri dan independen. Keberadaannya dapat mengukuhkan demokrasi, asalkan dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Inilah sisi positif dari reformasi yang membuka ruang demokrasi yang ditandai dinamika politik yang inklusif. Tidak hanya dilakoni partai politik. Organisasi massa dapat menjalankan fungsi penekan agar kekuasaan tidak melabrak konstitusi dan senantiasa sejalan dengan titah rakyat.

Tentu demokrasi yang sudah tumbuh saat ini harus terus dipupuk. Jangan justru kembali dikebiri, dengan menebar stigmatisasi jika gerakan massa identik dengan anarkis, radikal, dan mengusung ideologi tertentu yang bertentangan dengan Pancasila.

Cara-cara demikian hanya menyisakan konflik laten yang cepat atau lambat dapat memunculkan konflik manifest. Dan, pada akhirnya, demokrasi pun menjadi semu. Negara memang diberikan kewenangan untuk menciptakan tertib sosial. Lewat instrumennya, Polri dan TNI, negara dapat melakukan tindakan kepada warganya yang melanggar hukum, termasuk di antaranya melakukan makar.

Namun, sekali lagi, tuduhan makar harus disertai bukti. Bukan berdasarkan asumsi yang kadang dijadikan alibi rezim berkuasa untuk menghantam kelompok-kelompok tertentu yang kepentingannya berseberangan. Karena, tudingan makar bersentuhan dengan hak asasi manusia, di mana demonstrasi merupakan hak setiap warga negara dalam menyatakan pendapat. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 937
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1168
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1429
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1577
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Energi & Tambang