Menyoal Kinerja Sutiyoso

| dilihat 1404

AKARPADINEWS.COM | SUTIYOSO pasrah bila Presiden Joko Widodo mencopotnya dari jabatan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Dia menyerahkan sepenuhnya kepada presiden yang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri maupun kepala lembaga negara.

"Menteri dan kepala lembaga itu harus siap sewaktu-waktu diganti presiden," katanya di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (23/8). Meski namanya disebut-sebut bakal dicopot, Sutiyoso mengaku, presiden tidak pernah menyinggung soal rencana pencopotannya saat melaporkan kinerja institusi yang dipimpinnya kepada presiden.

Posisi Sutiyoso sebagai Kepala BIN santer bakal diganti. Sinyalemen itu pernah disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, Jum'at (12/8) yang menyebut Sutiyoso dalam waktu dekat akan diganti. Wacana pergantian Kepala BIN menguat sejak muncul polemik kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar usai ditunjuk sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) oleh presiden, 27 Juli lalu.

BIN dianggap gagal mensuplai data calon menteri kepada presiden, khususnya Arcandra yang diketahui memiliki paspor Amerika Serikat (AS). Sutiyoso sendiri mengaku baru mengetahui kewarganegaraan ganda Arcandra sesaat sebelum dilantik sebagai menteri ESDM.

Ada kesan, presiden tidak meminta informasi yang jelas dari BIN terkait rekam jejak orang-orang yang bakal ditunjuk sebagai menteri. Atau, Sutiyoso yang tidak berinisiatif untuk melaporkan informasi yang janggal seputar rekam jejak Arcandra.

Penunjukan Arcandra dinilai sejumlah kalangan sebagai kesalahan fatal. Presiden pun yang pada akhirnya menuai kritikan. Sampai-sampai, beberapa politisi di Senayan menggelontorkan wacana interpelasi untuk meminta klarifikasi dari presiden soal penunjukan Arcandra. Hingga akhirnya, presiden memberhentikan Arcandra. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Menteri ESDM.

Presiden sebelumnya mengindikasi kurang percaya dengan BIN di bawah kepemimpinan Sutiyoso. Itu terlihat saat presiden mengangkat staf khusus bidang intelijen dan keamanan. Posisi itu dipercayakan kepada Gories Mere, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Komandan Densus 88 Polri.

Memang menjadi hak presiden untuk menunjukan staf yang mengurusi fungsi intelijen. Namun, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, BIN berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden. Artinya, informasi intelijen yang ingin diketahui presiden cukup dari BIN. 

Sutiyoso juga sepertinya tidak optimal menjadikan BIN sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara. Itu terlihat dari rencana Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang akan membentuk Badan Intelijen Pertahanan (BIP). Sutiyoso sendiri mengaku, tidak pernah diajak untuk membicarakan rencana pembentukan BIP. Padahal, penyelenggara intelijen negara yang juga dilakukan TNI, Polri, kejaksaan, dan kementerian maupun non kementerian, wajib berkoordinasi dengan BIN.

Sutiyoso juga pernah dipersoalkan saat mencuat insiden "Intel Melayu" yang dilakoni Banyu Biru Djarot. Julukan yang menyindir Banyu lantaran ulahnya yang memamerkan surat keputusan (SK) pengangkatannya sebagai anggota Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) BIN.

Bagaimana mungkin dirinya dapat menjalankan tugas-tugas intelijen jika terang-terangan mengaku sebagai bagian dari BIN? Apakah Banyu memahami fungsi dan peran intelijen? Sebagai bagian dari BIN, Banyu harusnya memahami prinsip kerja-kerja intelijen yang bersifat rahasia. Jangankan publik, orang terdekatnya pun tidak tahu pekerjaannya sehingga dapat leluasa menjalan misi intelijen. Kasus itu menunjukan ada masalah dalam proses rekrutmen anggota BIN.

Kinerja Sutiyoso juga disorot terkait beberapa peristiwa yang mengusik keamanan. BIN dianggap gagal menjalankan fungsi pencegahan dini (early warning) setelah beberapa kali terjadi peristiwa yang mengancam keamanan dan keselamatan warga negara.

Misalnya, serangan teroris di kawasan Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016 lalu. Serangan terbuka di tempat keramaian, mal Sarinah itu menunjukan, aksi teroris kian brutal. Dari laporan pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Bahrun Naim, sang komandan serangan, diketahui bagian dari jaringan teroris Islamic State (IS) atau dikenal Islamic State of Iraq and Al-Sham (ISIS). Bahrun diduga berencana menjadi pemimpin di Asia Tenggara.

Sebelum serangan itu terjadi, Australia sudah pernah memperingatkan jika ISIS berencana mendirikan khalifah di Indonesia. Jaksa Agung Australia George Brandis pernah menyebut, ISIS berambisi mendirikan "khilafah jauh" di luar Timur Tengah. "ISIS telah mengidentifikasi Indonesia sebagai lokasi untuk ambisinya itu," katanya kepada The Australian (22/12/2015).

BIN juga gagal mencegah terjadinya kerusuhan di Tolikara, Papua. Insiden yang mengusik warga muslim yang tengah merayakan Idul Fitri sebenarnya bisa diantisipasi karena sudah ada indikasi akan terjadi kekerasan yang menewaskan satu orang dan 11 orang terluka.

Karena sebelumnya, sempat muncul surat yang ditujukan kepada kaum muslim di Tolikara yang isinya himbauan untuk tidak menggunakan pengeras suara saat lebaran. Dalam surat itu, Badan Pekerja Wilatah Toli (BPWT) GIDI memberitahu jika pada tanggal 13-19 Juli 2015 ada kegiatan seminar dan KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional.

BIN juga gagal mencegah kerusuhan di Kabupaten Aceh Singkil, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada pertengahan Oktober 2015 lalu. Ribuan orang terpaksa mengungsi akibat adanya pembakaran gereja.

Sejak nama Sutiyoso disodorkan sebagai calon tunggal Kepala BIN, polemik sudah bermunculan. Meski berlatarbelakang militer, Sutiyoso dinilai kurang kompeten di bidang intelijen. Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso yang pernah menjabat Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) juga dikhawatirkan akan menyeret BIN dalam pusaran politik.

Dipilihnya Sutiyoso disebut-sebut terkait balas budi Jokowi. Di Pemilihan Presiden 2014 lalu, Sutiyoso termasuk pentolan partai yang berdiri di kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH), pendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Penunjukan Sutiyoso juga menuai resistensi lantaran diduga terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.

Dia disebut-sebut turut bertanggung jawab atas kematian lima jurnalis di Balibo, Timor Leste. Lima jurnalis itu diduga tewas akibat dihabisi oknum TNI. Operasi intelijen itu terjadi pada tahun 1975 ketika dia bersama 300 personel Kopassus ditugaskan untuk memecah ketegangan di Timor-Timur terkait tindak separatisme. Tuduhan itu telah dibantah Sutiyoso. Dia merasa tidak memiliki hubungan dengan kasus tersebut karena tidak pernah ke Balibo.

Ada pula kabar yang menyebut Sutiyoso ngotot menjadi Kepala BIN lantaran terkait kepentingannya menjadi presiden di pemilihan presiden mendatang. Wacana itu mencuat lantaran sebelumnya Sutiyoso menunjukan keinginan untuk menjadi calon presiden. Dia pernah mendeklarasikan sebagai kandidat presiden di Pemilihan Presiden tahun 2009.

******

Di tengah santernya isu pencopotan Sutiyoso, Nama Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan disebut-sebut layak menjadi Kepala BIN. Mantan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti juga disebut-sebut layak menempati posisi itu.

Budi Gunawan diperkirakan memiliki kans kuat menjadi Kepala BIN karena memiliki dukungan politik dari parlemen. Mantan ajudan Presiden Kelima, Megawati Soekarnoputri itu sebelumnya nyaris menjadi Kapolri, menggantikan Jenderal (purn) Sutarman. Namun, lajunya menjadi orang nomor satu di Korps Bhayangkara terhambat lantaran ditetapkan sebagai tersangka kepemilikan rekening mencurigakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Budi Gunawan lalu mengajukan pra peradilan. Dan, gugatannya dimenangkan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, pada pertengahan Februari 2015 lalu. Meski tak jadi Kapolri, Budi Gunawan dilantik menjadi Wakil Kepala Polri.

Awalnya, setelah pengadilan menganulir status tersangkanya, Jokowi diperkirakan bakal menyerahkan tongkat Tribrata 1 kepada Budi Gunawan. Namun, presiden sepertinya dihadapkan dilema lantaran desakan publik yang menentang Budi Gunawan menjadi Kapolri. Penolakan itu disuarakan lantang oleh koalisi masyarakat sipil. Meski status tersangkanya dibatalkan oleh pengadilan, koalisi memandang, perkara yang menimpa Budi Gunawan dapat sewaktu-waktu dibuka kembali jika ditemukan bukti kuat.

Mungkin, karena resistensi itu, Jokowi memilih Tito Karnavian. Meski lebih junior dibandingkan Budi Gunawan, sepak terjang Tito cukup mumpuni. Dia dikenal sebagai polisi pemburu teroris. Dengan begitu, meski digadang-gadang layak menjadi Kepala BIN, bisa saja Jokowi memunculkan nama lain jika memang akan menggantikan Sutiyoso.

Di bursa pemilihan kepala BIN, menggantikan Marciano Norman beberapa waktu lalu, ada dua nama yang disebut-sebut lebih layak daripada Sutiyoso yakni As’ad Said Ali dan Tyasno Sudarno. Karir As’ad di dunia intelijen terbilang moncer. Dia berkarier di BIN sejak 1997 dan selama sembilan tahun menjabat Wakil Kepala BIN, sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

As’ad juga memiliki basis politik yang kuat karena menjabat Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan Tyasno, pernah duduk sebagai Direktur C Badan Intelijen ABRI/BIA—kemudian beralih nama menjadi Badan Intelijen Strategis/BAIS—semasa berpangkat brigadir jenderal.

Karir di dunia intelijennya berlanjut selepas menjabat Pangdam IV Diponegoro. Tyasno duduk sebagai Kepala BIN Strategis BAIS dengan pangkat letnan jenderal. Namun, dua nama itu berhasil disingkirkan Sutiyoso. Manuver politik Sutiyoso disebut-sebut membuka geraknya menjadi Kepala BIN.

*****

Kinerja Sutiyoso patut dipersoalkan. Karena, sebagai Kepala BIN, perannya sangat strategis. Di Pasal 1 butir ke-2 UU No. 17 Tahun 2011 dinyatakan, intelijen negara adalah penyelenggara intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan intelijen negara.

Ketentuan itu menunjukan betapa pentingnya peran BIN dalam sistem keamanan nasional. BIN merupakan institusi intelijen yang berperan mendeteksi ancaman keamanan, baik di dalam negeri, regional, maupun global.

Dalam melaksanakan fungsi intelijen, BIN dituntut mampu memastikan validitas informasi terkait dinamika yang dapat mengancam keamanan nasional. BIN juga harus piawai dalam menganalisa informasi untuk dijadikan rekomendasi yang menunjang kebijakan dan strategi keamanan negara dan penegakan hukum. Tentu, disertai koordinasi antar kelembagaan, dan bersama-sama menyusun strategi untuk menghalau gangguan keamanan.

Berbagai peristiwa yang mengusik keamanan negara, menunjukan BIN belum optimal dalam menjalankan tugas tersebut. Meski harus pula diakui, ketidakmampuan BIN dalam mendeteksi ancaman keamanan, tidak sepenuhnya kesalahan Sutiyoso. Bisa pula karena strategi kontra terorisme yang dilakukan kelompok terorisme, separatisme, maupun radikalisme, maupun kontraintelijen yang ilfitrasinya sulit terdeteksi.

Intelijen AS saja gagal mendeteksi ancaman terorisme sebelum terjadinya serangan kelompok teroris Al-Qaeda yang menghantam menara kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001 lalu. Serangan yang menewaskan ribuan orang itu dianggap sebagai kegagalan intelijen terbesar di abad 21.

Karenanya, peran institusi intelijen tak sebatas memata-matai demi mendapatkan data dan informasi yang valid. Namun, juga harus mampu menganalisa informasi secara cepat dan tepat terkait rencana kegiatan para pihak yang diprediksi dapat mengancam keamanan nasional. Namun, sebagai pimpinan, Sutiyoso patut dimintai pertanggungjawaban.

Hindari Politisasi

Terlepas dari isu pergantian Kepala BIN, hal yang lebih penting adalah memastikan BIN terbebas dari kepentingan politik. Pertanyaannya jika BIN dikendalikan Budi Gunawan maupun sosok lainnya, apakah bisa menjamin BIN terbebas dari intervensi politik?

Sosok Budi Gunawan memang dikenal sebagai polisi karir. Namun, dia diduga pernah terlibat dalam politik praktis. Forum Advokat Pengawal Konstitusi (Faksi) pernah melaporkannya ke Divisi Inspektorat Pengawasan Umum serta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri lantaran dugaan keterlibatannya dalam politik praktis pada saat Pemilihan Presiden 2014. Sementara di Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, ditegaskan larangan anggota Polri terlibat dalam politik.

Meski berada di bawah presiden, BIN dituntut profesional, bekerja sesuai norma dan kaedah hukum serta memperhatikan prinsip berdemokrasi. Demokrasi yang membuka ruang partisipasi masyarakat untuk menjadi bagian dalam penyelenggaraan negara, kadangkala memunculkan pandangan dan sikap yang berseberangan dengan kepentingan penguasa. Bahkan, cenderung menyerang penguasa.

Dalam kondisi demikian, institusi intelijen tidak boleh menjadi instrumen penguasa seperti yang pernah dilakoni di era Orde Baru. Kala itu, keberadaan institusi intelijen digunakan untuk mengontrol dan menekan kelompok-kelompok oposan. Intelijen yang kala itu berada di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga melakoni peran represif kepada pihak-pihak yang dituduh musuh negara maupun ekstrimis. Dulu, masyarakat juga dicemaskan dengan Petrus (penembakan misterius) kepada mereka yang dituding penjahat dan musuh negara.

Segala tindakan yang mengancam keamanan nasional memang harus dicegah. Namun, tidak dibenarkan sampai memangkas hak hidup seseorang dan melakukan tindakan yang merendahkan derajat kemanusiaan. Upaya melawan kelompok radikal maupun separatis, tidak selalu dengan cara-cara kekerasan, ancaman, dan siksaan, apalagi sampai menghilangkan nyawa manusia.

Namun, bisa dengan cara-cara mencegah penyebaran ideologi radikal, mengindentifikasi basis dan jaringan terorisme, dan menyusun strategi untuk menggagalkan penyebarannya. Dan, seperti yang dinyatakan tokoh intelijen, Robert Gates, tugas utama intelijen bukan menangkapi orang yang dicurigai dalam keseluruhan konteks survailensi. Melainkan, bagaimana mencegah secara ideologis dan bernalar berkembangnya berbagai masalah di tengah masyarakat, menjadi krisis besar-besaran yang kontroversial dan memerlukan biaya mahal.

Karena itu, badan intelijen negara, menurut Gates, mempunyai tugas penting yang dahsyat: membangun struktur bagu pemikiran tentang keamanan nasional baru, yang melihat masalah dari aspek global, nasional, dan lokal. Termasuk melihat, korelasi kebijakan pemerintah di sektor sosial, ekonomi, politik, dan budaya terhadap munculnya radikalisme, yang akhirnya menjelma sebagai aksi terorisme (Baca: Intelijen Fokus pada Strategi Kontraterorisme).

Dalam konteks ini, intelijen perlu memperluas jaringan dengan melakukan operasi rahasia dan cakap dalam mendeteksi kontraiterorisme, yang analisanya berbasis pada data yang tepat dan menjadi rujukan strategi dan tindakan kepada para pihak yang dicurigai berorientasi separatis dan bersifat radikal.

BIN juga harus meningkatkan profesionalitas dan kemampuannya dalam mendeteksi gerak-gerik spionase asing yang memiliki kepentingan. Kecenderungan saat ini, upaya kontraintelijen diarahkan untuk menghantam rezim yang berkuasa di sebuah negara, yang dianggap mengusik kepentingannya.

Presiden Venezuela, Hugo Chaves pernah mengusir diplomat AS karena dianggap sebagai mata-mata yang bersekongkol dengan para pemimpin oposisi di Puerto rico untuk melawan pemerintahannya. Chavez mengantongi laporan jika diplomat AS melakukan pertemuan dengan pemimpin partai oposisi untuk mendiskusikan perubahan konstitusi yang mengizinkan dirinya kembali mengikuti pemilihan di tahun 2012.

Sebelumnya, Chavez mengusir Duta Besar AS, Patrick Duddy karena peran Washington dalam protes antipemerintah di Bolivia, yang merupakan sahabat Venezuela. Langkah serupa juga pernah dilakukan Presiden Bolivia, Evo Morales yang mengusir diplomat AS, Francisco Martinez karena dituduh terlibat dalam konspirasi menentang pemerintahannya. Morales mengetahui jika Martinez melakukan kontak dengan kelompok-kelompok oposisi untuk membangun kekuatan antipemerintah.

Lelaku diplomat AS juga menjelek-jelek pemerintah di negara tempat dirinya bertugas. Pemerintah Austria misalnya, November 2010 lalu, mengecam diplomat AS yang menjelek-jelekan Austria sebagaimana dipublikasikan oleh WikiLeaks.

Dalam laporan itu disebutkan, diplomat AS menganggap Kanselir Austria, Werner Faymann, tidak punya minat terhadap urusan kebijakan politik luar negeri. Menteri Pertahanan Norbert Darabos juga disebut tidak bersedia menyediakan tentaranya untuk misi di luar negeri karena dianggap berbahaya. Pemerintah Austria menuding diplomat AS tidak memahami urusan politik domestik. Diplomat AS juga memata-matai gerakan ekstremisme muslim yang kemudian menuai kecaman muslim di Selandia Baru.

Pemerintah Equador juga pernah mengusir diplomat AS karena mengintervensi urusan-urusan dalam negeri. Presiden Equador, Rafael Vicente Correa Delgado sebelumnya telah mendeportasi diplomat AS dengan tuduhan yang sama.

Pemerintah Indonesia juga pernah protes lantaran diplomat AS ceroboh terkait bocornya informasi kawat diplomatik AS ke WikiLeaks yang kemudian disebarkan oleh dua media Australia, The Age dan Sydney Morning Herald, Maret 2011 lalu. Informasi itu membuat marah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah penjabat negara lantaran dianggap menyalahgunakan kekuasaan.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 713
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 870
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 822
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 427
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 997
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 234
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 710
Momentum Cinta
Selanjutnya