Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Menguras Energi Menggembosi Oposisi

| dilihat 1381

DUA tahun pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjalan. Dinamika menghiasi perjalanannya. Di panggung politik, intrik dan manuver kerap disuguhkan. Konflik politik di level elit mengawali perjalanan Jokowi dalam memimpin negeri.

Aroma persaingan masih mengemuka, meski suksesi telah berakhir. Gagal menguasai eksekutif, partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) melancarkan manuver menguasai parlemen.

Kubu oposisi yang digawangi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ditambah dengan Partai Demokrat, membuat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang menjadi pendukung pemerintah kerepotan.

Pemerintah pun khawatir dominasi kubu oposisi di parlemen dapat menghambat kinerja pemerintah, baik saat pembahasan penganggaran, penyusunan undang-undang, maupun pengawasan jalannya program pemerintahan. Bahkan, muncul isu jika KMP bakal menjatuhkan Jokowi dari kursi presiden (impeachment).

Politik gaduh lantaran kegagalan elit politik dalam membangun konsolidasi. Jokowi tentu menyadari. Sengkarut konflik di level elit, tidak bisa dibiarkan karena bakal menghambat laju pemerintahan yang dipimpinnya.

Karenanya, kali pertama berpidato sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 di hadapan anggota DPR/MPR, 20 Oktober 2014 lalu, Jokowi menyerukan seluruh elemen bangsa untuk bersatu. "Kita tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelahan dan keterpecahan," serunya.

Kutipan pidato Jokowi itu menekankan pentingnya rekonsiliasi, menyatukan lagi elemen bangsa yang terpolarisasi akibat perseteruan di ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Perhelatan politik lima tahun itu memang begitu menguras energi. Polarisasi hampir terjadi di semua elemen bangsa, yang mengarah ke dua kubu Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dua pasang kandidat yang bertarung di ajang Pilpres 2014.

Beruntung, ketegangan politik tidak menciptakan konflik sosial. Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 berakhir damai. Pertarungan politik tidak menjerumuskan bangsa ini dalam kubangan perseteruan berdarah seperti yang terjadi di Thailand, Mesir, Irak, Libya, Suriah, dan Ukraina. Itu menunjukan rakyat kian rasional dan dewasa dalam berdemokrasi.

Namun, tidak di level elit. Intrik dan manuver dilakoni. Mereka terjebak dalam konflik kekuasaan. Suhu politik kian keruh. Pasalnya, manuver kubu oposisi dilawan oleh pemerintah dengan cara-cara yang tidak sehat bagi demokrasi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly melancarkan upaya mempreteli kekuatan kubu oposisi, dengan memanfaatkan konflik di internal partai politik. Menteri yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menggunakan kewenangannya dalam menetapkan legalitas kepengurusan partai, untuk menjinakkan partai-partai yang berseberangan dengan pemerintah.

Ketika terjadi dualisme kepemimpinan di Golkar dan PPP, Yasonna cenderung berpihak di kubu yang mendukung pemerintah. Dia akan mengeluarkan "lisensi" kepengurusan partai yang menjadi kewenangannya kepada kubu yang mendukung pemerintah. Di sisi lain, ketidakmampuan elit partai dalam mengelola konflik, membuka celah pemerintah campur tangan.

Konflik yang melilit Golkar memang nampaknya mereda. Dua kubu yang berseteru: Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, telah berdamai. Aburizal yang awalnya ingin Golkar berada di KMP, tak kuasa menghadapi manuver pemerintah yang condong ke kubu Agung Laksono. Karena, Agung ingin Golkar berada di pemerintahan. Hingga akhirnya, Golkar di bawah kepemipinan Setya Novanto berlabuh bersama pemerintah. Bahkan, jauh-jauh hari menyatakan dukungan kepada Jokowi sebagai calon Presiden di Pilpres 2019.

Sementara PPP, hingga kini masih terbelah: kubu Djan Faridz dan kubu Romahurmuziy (Romy). Awalnya, pemerintah terkesan berpihak kepada kubu Romy. Itu terlihat dari keputusan Yasonna yang baru sehari dilantik sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), langsung mengesahkan PPP hasil Muktamar Surabaya yang menunjuk Romy sebagai ketua umum.

Keberpihakan Menkumham itu karena kubu Romy mendukung pemerintah, menolak bergabung dengan KMP. Karenanya, salah satu pentolan PPP kubu Romy, yakni Lukman Hakim Saifuddin, ditunjuk sebagai Menteri Agama. Anehnya, Yasonna belum lama ini menyebut, ada bukti baru yang diklaim PPP kubu Djan Faridz. Karenanya, pihaknya akan mengkaji bukti baru itu untuk menimang keputusannya melegalkan kepengurusan PPP kubu Romahurmuziy.

Perubahan arah dukungan Yasonna itu diduga terkait Pilkada DKI Jakarta. Pasalnya, PPP kubu Romahurmuziy mendukung Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Sementara kubu Djan Faridz, mengalihkan dukungan ke Ahok-Djarot, yang juga didukung oleh PDIP.

******

Kini, kekuatan politik di DPR didominasi partai-partai pendukung pemerintah. Kekuatan penyeimbang hanya dilakoni Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat. Sementara Golkar, PAN, dan PPP, mengubah haluan, menjadi bagian dalam gerbong pemerintah. Selain karena ingin mendapat jatah kursi menteri, Golkar dan PPP merapat ke pemerintah karena ingin mendapatkan legalitas dari pemerintah terkait kepengurusan partai.

Menurut M. Jadiono, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), setelah dua tahun, pemerintahan Jokowi kini berada di atas angin karena mampu menguasai kekuatan mayoritas di parlemen. "Di tahun pertama, DPR sibuk berebut pimpinan alat kelengkapan dewan, sedangkan di tahun kedua, fraksi pendukung pemerintah malah bertambah," katanya dalam diskusi bertajuk Evaluasi Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, di Jakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (20/10).

Hal itu disayangkan. Karena, DPR semestinya mengoptimalkan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintah. Selama dua tahun ini, Jadiono menilai, fungsi tersebut tidak berjalan maksimal. Dia mencontohkan, terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap laporan keuangan empat kementerian atau lembaga negara. "Harusnya, DPR bisa mengkritisi mengapa itu terjadi, tapi nyatanya tidak dilakukan," ujar dia.

Pemerintah memang memiliki kepentingan untuk mempreteli kekuatan oposisi di parlemen. Tujuannya untuk mengamankan kebijakan pemerintah yang strategis. Tanpa dukungan mayoritas parlemen, pemerintah akan kerepotan dalam mengusulkan kebijakan-kebijakan strategis. Pada akhirnya, program-program pemerintah pun tidak akan berjalan dengan efektif.

Namun, demokrasi juga menuntut keseimbangan kekuasaan. Upaya mempreteli oposisi menyebabkan kekuasaan antar lembaga tak seimbang. Oposisi yang dibikin mati suri, tidak hanya mereduksi esensi demokrasi. Namun juga membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Keterlibatan pemerintah dalam mengurusi persoalan yang terjadi di internal partai politik menyebabkan partai politik tidak mandiri. Padahal, sebagai instrumen demokrasi, partai politik harus terbebas dari intervensi agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya mengartikulasikan kepentingan rakyat yang kadang berseberangan dengan pemerintah.

Oposisi tidak selamanya berperan sebagai musuh pemerintah. Oposisi justru mengingatkan pemerintah agar berjalan sesuai titah yang diberikan rakyat. Oposisi bukan setan (devil) yang selalu menganggu pemerintahan. Oposisi dapat menjadi malaikat yang selalu mengingatkan penguasa agar melaksanakan mandat kekuasaan secara bertanggungjawab (accountability). 

Cara-cara yang dilakukan pemerintahan di era Jokowi dengan memanfaatkan konflik internal partai, dengan tujuan mengkerdilkan oposisi, identik dengan cara-cara yang dilakukan pemerintah Orde Baru.

Kala itu, penguasa semaunya mengobok-obok partai politik yang berseberangan dengannya. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kala itu dipimpin Megawati Soekarnoputri pernah merasakan pahitnya pengalaman saat Orde Baru berkuasa. PDI pernah terbelah dan memunculkan peristiwa berdarah, 27 Juli 1996 atau dikenal Kudatuli.

Rezim penguasa yang ditopang kekuatan politik Golkar dan militer, tidak ingin PDI kubu Megawati tumbuh besar menjadi pesaing politiknya. Karenanya, pemerintah mendukung kubu Soerjadi untuk menghabisi kubu Megawati.

Peristiwa Kudatuli memperlihatkan bagaimana rezim Orde Baru memukul lawan-lawan politiknya. Politik pecah belah dan ketidaknetralan pemerintah dalam menyikapi persoalan partai politik. Pemerintah Orde Baru ingin Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI, yang menuai penentangan dari Megawati dan pendukungnya.

Pada tanggal 27 Juli 1996, pendukung Soerjadi melakukan upaya paksa, merebut kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia ( DPP PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai Megawati. Kerusuhan pun sulit dihindari dan meluas. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut lima orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan.

*****

Peran oposisi juga nampaknya belum dianggap begitu penting oleh partai politik. Cara-cara pragmatis dalam berpolitik terlihat saat partai politik cenderung merapat ke kekuasaan untuk mendapatkan kue kekuasaan. Padahal, peran oposisi sangat penting. Oposisi menjadi mata, telinga, dan mulut rakyat. Melakoni peran sebagai oposisi sama halnya menanam investasi politik untuk merengkuh kepercayaan rakyat terhadap partai politik.

PDIP misalnya. Peran oposisi selama 10 tahun mengantarkannya menjadi partai penguasa. Bukan mustahil, periode kekuasaan berikutnya dikendalikan oleh partai-partai di luar pemerintah yang saat ini konsisten melakoni peran oposisi.

Saat ini, Jokowi memang merasakan stabilitas politik setelah mayoritas partai politik dirangkulnya. Namun, dalam politik, tidak ada kawan yang abadi, yang abadi hanya kepentingan. Jelang suksesi, tarik menarik kepentingan politik bakal menyulitkannya. Konstelasi politik pun biasanya berubah. Hampir semua partai akan mengklaim memperjuangkan aspirasi rakyat. Perannya sebagai anjing penjaga kekuasaan, berubah menjadi benalu kekuasaan. Apalagi, Jokowi bukan pimpinan partai. Dia bukan orang nomor satu di PDIP yang menjadi kendaraan politik utamanya.

Dalam kondisi demikian, Jokowi rentan ditunggangi pentolan partai. Jika pecah kongsi dengan Megawati, makin sulit baginya mengendalikan kekuatan politik. Namun, sebagai seorang Kepala Negara, Jokowi tidak boleh tunduk dengan politisi lain. Dia hanya tunduk kepada rakyat yang memandatkannya kekuasaan. Seperti dinyatakan Presiden ke-35 Amerika Serikat John F Kennedy, "My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins."

Tekanan Partai Politik

Namun, jika mencermati realitas politik, Jokowi rada kewalahan menghadapi manuver partai politik. Misalnya, setelah enam bulan dirinya menjadi presiden, desakan perombakan kabinet (reshuffle) begitu kencang disuarakan politisi. Memang, melantik dan memberhentikan menteri adalah kewenangan presiden. Dan, para politisi sadar betul jika presiden memiliki hak prerogatif yang tidak bisa diintervensi dalam urusan tersebut. Namun, ada kesan, presiden dihadapkan tekanan politik dalam menilai performa kabinet yang dipimpinnya.

Melorotnya kinerja Kabinet Kerja dijadikan amunisi untuk menekan Presiden agar merombak menteri-menteri yang tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. Mereka menggoreng isu reshuffle, meski secara lisan menghormati hak prerogatif presiden. PDIP misalnya, paling nyaring menyuarakan perlunya presiden melakukan perombakan menteri.

Partai pemenang Pemilu Legislatif dengan perolehan 23.681.471 suara atau 18,95 persen itu, rasanya kurang puas jika hanya diberikan empat jatah kursi di pemerintahan. Karenanya, saat wacana reshuffle jilid pertama mengemuka, politisi PDIP paling nyaring bersuara. Partai itu rada alergi dengan menteri dari kalangan profesional yang diangkat Jokowi. Megawati pernah menyebut orang-orang non partai itu sebagai penumpang gelap di pemerintahan, yang tidak berkerja keras membangun partai, tidak mengorganisir rakyat.

Tekanan partai politik mengakibatkan menteri dari kalangan profesional tersingkir. Padahal, kinerja mereka tidak begitu mengecewakan. Publik justru menyoroti kinerja menteri dari partai politik, salah satunya kinerja Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, yang merupakan kader PDIP.

Sulit dibantah, dipilihnya Pramono Anung sebagai Menteri Sekretaris Negara, tidak terlepas suara nyaring PDIP. Pramono adalah politisi senior PDIP. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PDIP (2005-2010) dan Wakil Ketua DPR periode 2009-2014.

Begitu juga dengan penunjukan Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Budi Gunawan menjadi calon tunggal yang diusulkan Presiden.

Nuansa politis terlihat dengan penyebutan nama Budi Gunawan yang sudah lama dihembuskan sejumlah politisi. Jauh sebelum desakan pencopotan Sutiyoso menguat, nama Budi Gunawan sudah berkibar. Nyaris tak ada nama lain yang layak menjadi Kepala BIN. DPR yang sudah didominasi kubu pemerintah pun seakan diam.

Di Pilpres 2014 lalu, Budi Gunawan pernah disebut-sebut terlibat dalam mendukung pencapresan Jokowi. Politisi Gerindra Arief Puyono yang memergoki pertemuan antara Budi Gunawan dengan politisi PDIP Trimedya Pandjaitan yang menjadi ketua tim advokasi pemenangan Jokowi-JK. Pertemuan keduanya berlangsung di Restoran Sate Senayan, 7 Juni 2014 lalu.

Forum Advokat Pengawal Konstitusi (Faksi) pun melaporkannya ke Divisi Inspektorat Pengawasan Umum serta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Budi Gunawan dianggap melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menegaskan larangan anggota Polri terlibat dalam politik. Tudingan itu telah dibantah Trimedya dan Budi Gunawan.

Nuansa kompromistis juga terlihat dalam pergantian dua politisi Partai Hanura, Saleh Husin dan Yuddy Chrisnandy. Hanura rela dua menterinya itu dicopot lantaran Jokowi menunjuk Wiranto, Ketua Umum Hanura, untuk menduduki jabatan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).

Jokowi juga sempat dihadapi persoalan konflik di internal pemerintahan. Masuknya menteri baru nyatanya memunculkan kegaduhan. Selang beberapa hari dilantik Presiden, Rizal Ramli, Menteri Koordinator Maritim dan Sumberdaya, mengkritik kebijakan tentang 32.000 MW listrik yang menurutnya tak masuk akal.

Dia juga mengkritik tentang pembelian pesawat Airbus 350 oleh Garuda untuk melayani rute Eropa tak lagi menarik. Pernyataan Rizal Ramli itu membuat berang Wakil Presiden Jusuf Kalla. Rizal Ramli diperingatkan untuk tidak sembarang berbicara. Namun, Rizal Ramli justru menantang Jusuf Kalla berdebat di depan publik. Kritik Rizal Ramli pun memancing sorotan publik.

Pasalnya, pembangunan pembangkit listrik 32.000 MW itu bergeser menjadi isu konflik kepentingan kelompok tertentu. Kisruh di internal kabinet itu pun memaksa Jokowi turun tangan. Rizal Ramli akhirnya terdepak dari kursi menteri. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 98
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 515
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 524
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 444
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya