Menghidupkan Lagi Pasal Anti Demokrasi

| dilihat 3029

AKARPADINEWS.COM | RENCANA pemerintah menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden dan wakil presiden menuai kecaman. Alasannya, pasal yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) itu melabrak konstitusi dan mengancam demokrasi. Pasal itu dikhawatirkan menghidupkan lagi arogansi kekuasaan yang alergi kritik. Siapa pun yang dianggap menghina presiden dan wakil presiden dapat dipenjarakan.

Entah apa dalih pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tiba-tiba menggelontorkan "pasal menyeramkan" itu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR. Dari 786 pasal, ada dua pasal yang menguraikan tentang penghinaan presiden dan wakil presiden.

Ketentuan yang mengharamkan penghinaan terhadap kepala negara itu tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP. Bunyinya, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Ketentuan itu kemudian diperjelas di Pasal 264, yang menyatakan, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Kontan, meluncurnya dua pasal itu disambut penolakan. Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin menyakini, jika pasal penghinaan itu dihidupkan lagi, maka akan dibatalkan lagi oleh hakim konstitusi. "Dihidupkan kembali pun akan dibatalkan oleh MK," kata politisi Partai Golkar di Gedung DPR, Jakarta, Senin (3/8). Aziz menegaskan, sebagai kepala negara dan pemerintahan, martabat presiden dan wakil presiden memang harus dilindungi undang-undang. Namun, tidak dapat membatasi masyarakat dalam menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi.

Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap wajar jika pemerintah menghidupkan lagi pasal penghinaan tersebut. "Di mana-mana pun di dunia ini kepala negara, presiden itu dihormati orang. Jadi kalau memaki-maki atau menghina presiden tentu pemerintahan juga terkena, jadi wajar saja," kata Kalla di kepada pers di kantor Wakil Presiden Jakarta, Senin (3/8). Kalla menambahkan, pemerintah punya alasan sendiri terkait usulan pasal penghinaan itu.

Inisiatif pemerintah menggelontorkan pasal itu tentu harus dikritisi. Jika DPR ikut-ikutan mengesahkan RUU itu, tanpa mempertimbangkan konsekwensinya, maka demokrasi yang tengah tumbuh, akan layu kembali. Negara ini akan kembali seperti jaman penjajahan atau di era Orde Lama maupun Orde Baru. Siapa saja yang dianggap menghina kekuasaan, akan dijebloskan ke penjara, meski sebenarnya lebih pada melakoni peran sebagai pengontrol kekuasaan. Sudah banyak aktivis politik, seniman, wartawan, maupun politisi, yang mendekam di penjara lantaran dianggap menyerang kekuasaan.

Misalnya, Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia yang namanya besar di jagat sastra dunia itu, menghabiskan masa hidupnya di penjara. Dia dijebloskan ke penjara lantaran tulisannya yang dianggap menyerang kekuasaan.

Pram, demikian sapaan lelaki kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 itu pernah dipenjara lantaran terlibat dalam gerakan anti penjajahan di era penjajahan Belanda. Di masa Orde Lama, Pram mendekam dipenjara selama satu tahun karena rezim kala itu alergi dengan karya sastranya yang berjudul, Hoakiau di Indonesia. Padahal, karya sastra Pram itu isinya membela kaum Tionghoa di Indonesia yang menjadi korban diskriminasi rasial setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten dan wajib mengalihkan usahanya kepada warga negara Indonesia. Peraturan itu menyebabkan warga keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan rasial, yang memaksa banyak di antara mereka kabur ke Cina.

Sementara di masa Orde Baru, Pram dipenjara 14 tahun, dua bulan, sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. Selain karena karya sastranya yang dianggap mengancam penguasa, Pram dijebloskan ke penjara lantaran dituduh terlibat dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan yang menjadi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski sebenarnya, Pram bukan anggota PKI.

Di era Orde baru juga banyak aktivis demokrasi yang diculik dan hilang lantaran menyerang kekuasaan. Mereka yang diculik lalu dibebaskan antara lain: Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto,  dan Andi Arief.

Sementara aktivis yang dinyatakan hilang antara lain: Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Mundandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.

Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden memancing riuh lantaran tidak jelas, bias, dan multitafsir. Dengan beragam alasan, penguasa bisa saja memenjarakan siapapun jika dianggap menghina presiden dan wakil presiden. Namun, bisa juga pandangan dan sikap yang berseberangan dengan pemerintah itu bagian dari sikap politik maupun kontrol kekuasaan. Nah, jika kritik dan kontrol dianggap penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, maka dapat mengancam demokrasi.

Insan pers, akademisi, dan kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM) paling terancam terjerat pasal itu. Jika pasal itu diberlakukan, maka harus lebih berhati-hati dalam menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar, maupun memperdengarkan rekaman di hadapan publik yang dianggap menghina presiden atau wakil presiden.

Adalah Mochtar Lubis, wartawan senior yang pernah menghirup udara di penjara lantaran dianggap menyerang kekuasaan. Saat menjabat Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya di zaman Orde Lama dan Orde Baru, ia gentol melontarkan kritik tajam terhadap negara, budaya politik elite dan perilaku korupsi. Indonesia Raya pun harus menerima tindakan otoriter dengan dibredel selama tujuh kali pembredelan.

Enam kali pada masa terbitnya pertama (1949-1958) dan masa terbit kedua (1968-1974). Kritik yang menghujam ke pusat kekuasaan merupakan bukti jika Mochtar Lubis menghamba pada kemerdekaan pers demokrasi dan hak asasi yang paling penting (Fundamental Human Rights) Dengan kemerdekaan pers, semua pelanggaran negara dapat dikontrol.

Pengusulan "pasal karet" itu tentu kontraproduktif dengan sosok Jokowi yang saat kampanye Pemilihan Presiden 2014 lalu dianggap sosok yang dapat menghalau bangkitnya rezim Orde Baru. Di ajang suksesi lalu, Jokowi dinilai bukan representasi Orde Baru yang dianggap kubunya sebagai rezim otoriter. Sementara lawan politik Jokowi, calon presiden Prabowo Subianto, disebut-sebut sebagai representasi Orde Baru, apalagi disebut-sebut terlibat dalam kasus penculikan aktivis pro demokrasi.

Sejarah mencatat, gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan kekuasaan rezim otoriter Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto, pada tanggal 21 Mei 1998 lalu, telah membuka katup-katup demokrasi yang selama 32 tahun dihimpit oleh arogansi pemegang kekuasaan. Pengembirian kedaulatan rakyat yang dilakukan rezim Orde Baru memunculkan perlawanan rakyat (people power). 

Kebebasan menyatakan pendapat pada dasarnya dijamin konstitusi dan menjadi syarat berdemokrasi. Namun, dalam sebuah negara yang masih mengalami proses transisi seperti Indonesia, demokrasi memang memunculkan realitas paradoks. Kebebasan menjadi kebablasan, yang jika tidak dikendalikan, dapat memunculkan tindakan destruktif dan pelanggaran HAM.

Di negara yang menjunjung prinsip demokrasi, kebebasan menyatakan pendapat, tidak bisa dilarang. Namun, perlu kesadaran untuk mengaktualisasikan kebebasan itu, tanpa harus merugikan orang lain. Dengan kata lain, kebebasan tanpa penegakan hukum dapat mendistorsi demokrasi dan penegakan HAM.

Masalahnya, tidak perlu ada pasal yang khusus mengatur larangan penghinaan kepada presiden dan wakil presiden. Karena, penegakan hukum menempatkan setiap warga negara, termasuk presiden maupun wakil presiden, dalam posisi setara di hadapan  hukum.

Jika presiden dan wakil presiden merasa nama baiknya dicemarkan atau martabatnya dihina, maka harusnya mengikuti prosedur hukum yang berlaku seperti warga negara lainnya. Misalnya, melaporkan ke kepolisian orang-orang yang dianggap mencemarkan nama baiknya.

Tindakan itu pernah dilakukan Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 30 Juli 2007 lalu, SBY bersama isterinya, Ani Yudhoyono melaporkan mantan Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif ke Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya lantaran dianggap melakukan pencemaran nama baik.

Saat melapor, SBY tidak menyertakan Kapolri, Panglima TNI, atau sejumlah menteri. Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Adang Firman mengaku kedatangan SBY itu mendadak. SBY melapor ke Polda setelah memimpin Rapat Kabinet Paripurna di Kantor Sekretariat Negara guna membahas Tata Keuangan Negara terkait RAPBN 2008.

Langkah SBY itu untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara yang telah dirugikan dari fitnah. SBY minta Polda mengusut Zaenal sesuai ketentuan hukum berlaku untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan. SBY merasa dicemarkan nama baiknya oleh Zaenal lantaran difitnah sudah menikah sebelum masuk Akademi Militer. Pernyataan Zaenel yang disiarkan berbagai media itu menjadi bahan pembicaraan masyarakat. SBY merasa dicemarkan nama baik, kehormatan, harga dirinya dan keluarganya.

Ketika memberi sambutan pada acara panen padi System of Rice Intensification (SRI) di Desa Bobojong, Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 30 Juli 2007 lalu, SBY sempat berkeluh, “Ya, beginilah nasib seorang Presiden, dimarahi orang, difitnah,” ucapnya di akhir dialog dengan para petani yang hadir di acara itu.

Di era demokrasi, kritik, menyatakan pendapat, meski bernada cercaan terhadap penguasa, adalah hal yang lumrah. Namun, agar tidak memicu anarki dan menghargai HAM, maka kritik, apalagi berbau fitnah harus disertai bukti. Kritik juga akan elegan jika disampaikan secara konstruktif dan sesuai dengan rambu-rambu yang berlaku.

Namun, akan lebih berbahaya lagi, jika kritik ditafsirkan sebagai penghinaan kepada presiden dan wakil presiden. Kritik dalam berdemokrasi sangat penting guna menghidupkan check and balance. Dan, penguasa maupun para kroninya yang tengah berkuasa, harus paham betul jika tidak semua warga negara menyukai dan patuh kepada pemerintah. Apalagi, pemerintah yang merugikan rakyat lantaran menerapkan kebijakan-kebijakan merugikan kepentingan rakyat.

Memang suatu tindakan atau ucapan yang sifat menghina perlu batasan. Misalnya, penghinaan yang dianggap berdampak pada ketertiban umum, disertai gambar-gambar yang mengandung unsur pornografi, atau pernyataan yang menghambat peradilan. Jika sekadar mengkritik dengan cara-cara agak nyeleneh, lalu ditangkap karena dianggap menghina presiden, maka itu sangat berbahaya bagi demokrasi.

Kritik yang dikreasikan dalam bentuk meme misalnya. Lewat media sosial, para pengkritik menebar gambar-gambar konyol dan lucu yang disertai kutipan kalimat-kalimat pendek yang bernada satir, tatkala menyikapi isu yang ramai di masyarakat, termasuk isu-isu politik yang bersentuhan dengan kekuasaan. Sering ditemukan meme-meme yang menyindir Jokowi lantaran kebijakan atau lakunya sebagai presiden. Misalnya, saat Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok, bertebaran meme Jokowi dengan disertai kalimat, "Bukan Urusan Saya". Kalimat itu mengkritik Jokowi yang seakan lepas tanggungjawabnya sebagai pemimpin. 

Meme adalah kumpulan potongan foto atau gambar yang diambil dari berbagai media, selanjutnya diberi tulisan yang mengangkat berbagai peristiwa yang menjadi isu perbincangan hangat masyarakat luas.

Sebagai bentuk kritik, tidak perlu Jokowi dan para kroninya tersinggung. Meme merupakan bentuk kreatifitas yang banyak dikembangkan oleh anak-anak muda dalam menyikapi persoalan yang disertai dengan kritik kepada pemerintah. Meme merupakan representasi ekspresi pengkritik yang tidak sepaham dengan pemerintah.

Di era demokrasi saat ini, sering kali pula terdengar pernyataan-pernyataan yang menyerang kekuasaan. Itu wajar dan menjadi dinamika berdemokrasi. Dan, pembicaraan politik bernada kebenciaan terhadap kekuasaan tidak hanya dilakoni politisi oposisi maupun aktivis pro demokrasi yang kerap menghiasi layar televisi. Namun, obrolan politik seringkali dibicarakan di warung-warung kopi.

Lantas, kalau obrolan politik di warung kopi dan temanya menyerempet pada kebencian kepada presiden lantaran dianggap menyusahkan rakyat, maka apa perlu mereka ditangkap? Misalnya, muncul pernyataan, "Presidennya tidak becus." atau "Dolar naik terus, harga BBM dan sembako juga naik. Presiden menyusahkan rakyat."

Nah, bisa saja percakapan di warung kopi itu dianggap menghina presiden. Jika warga biasa yang sama sekali bukan pelaku politik, dan melontarkan pernyataan itu tidak bertujuan politik, apakah harus ditangkap aparat lantaran melontarkan pernyataan yang dianggap menghina presiden. Apakah presiden juga merasa terhina? Toh, selama ini, Presiden Jokowi tidak menunjukan gelagat kemarahan kepada masyarakat yang menghinanya.

Presiden bisa saja diam dan merasa tidak dihinakan dengan pernyataan-pernyataan yang menghinakannya. Namun, bisa saja presiden dan wakil presiden, menggunakan aparat untuk menangkap dan memenjarakannya. Nah, sebagai aparat, tentu perintah presiden tidak bisa diabaikan. Dia ingin tampil sebagai pembela presiden dengan motif mengincar jabatan.

Pasal penghinaan terhadap Presiden merupakan pasal kuno warisan kolonial yang tak layak dihidupkan lagi di era demokrasi saat ini. Pasal penghinaan merupakan adoposi dari Wetbook Van Strafecht (WvS) KUHP Belanda yang diberlakukan sejak Indonesia dijajah Belanda. Tujuannya agar masyarakat patuh, tunduk, dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyerang martabat Ratu Belanda. Pasal itu dijadikan acuan bagi Pemerintah Kolonial Belanda untuk memenjarakan para aktivis politik yang antipenjajahan. Di Belanda sendiri, pasal itu tidak lagi berlaku. Jadi, sangat ironi jika KUHP warisan Belanda itu diberlakukan lagi di Indonesia.

Seorang presiden dan wakil presiden tentu harus bijak merespon kritik yang disampaikan masyarakat dengan melakukan langkah-langkah perbaikan. Apalagi Jokowi dan Jusuf Kalla adalah presiden dan wakil presiden pilihan rakyat. Tapi, harus diingatkan, tidak semua rakyat suka dengan presiden dan wakil presiden sebagai sikap atau pilihan politik rakyat terhadap kekuasaan. Dan, itu dijamin UUD 1945.

Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 , Pasal 28E Ayat (2), Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28J UUD 1945.

Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan konstitusi itu menegaskan, setiap warga negara, termasuk presiden, berkedudukan sama di hadapan hukum. Ketentuan itu sekaligus menegaskan, tidak ada warga negara yang tidak tersentuh hukum atau diperlakukan istimewa oleh pengadilan.

Pasal penghinaan terhadapat presiden dan wakil presiden juga melanggar Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Ketentuan itu menegaskan, setiap warga negara berhak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat juga diamanatkan dalam Universal Declaration of Human Rights yang ditetapkan 10 Desember 1948 lalu.

Pasal penghinaan juga melanggar Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Artinya, setiap warga negara dijamin menyatakan pikiran dan sikapnya, meski berseberangan dengan kepentingan penguasa. Pasal 28E Ayat (3) juga menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Pasal ini juga menekankan kebebasan menyatakan pendapat sesuai dengan keyakinannya.  Meski bebas menyatakan pendapat, tentu juga harus disertai tanggungjawab menjaga tata tertib dan menghormati hukum. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 28J yang menyatakan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” (Ayat 1) dan

"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (Ayat 2).

Seorang presiden dan wakil presiden sebagai simbol negara, memang martabat dan kehormatannya harus dihormati. Namun, presiden dan wakil presiden tidak diberikan privilege di hadapan hukum. Kritik terhadap kekuasaan harus dipahami sebagai bentuk partisipasi politik rakyat yang harus terus dihidupkan jika negara ini memilih demokrasi sebagai instrumen menuju kesejahteraan rakyat.

Semakin kritis rakyat, dan semakin tanggap penguasa merespon kritikan rakyat, maka mengindikasikan sehatnya demokrasi. Rakyat benar-benar berdaulat secara politik. Sementara penguasa merupakan pelaksana mandat rakyat. Karenanya, rakyat harus dilibatkan untuk menjadi bagian instrumen pengontrol agar kekuasaan benar-benar dijalankan sesuai kehendak rakyat. Ini penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

M. Yamin Panca Setia 

 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 529
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1623
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1401
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1194
Rumput Tetangga
Selanjutnya