Menanti Pilihan Megawati

| dilihat 1359

AKARPADINEWS.COM | SURAT terbuka dari Forum Kampung Kota ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, Jum'at, 19 Agustus 2017.

Isinya seruan agar Jokowi dan Megawati menolak mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Surat itu ditandatangani lintas elemen, mulai dari akademisi, aktivis organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, dan sebagainya.

Dalam suratnya, Forum Kampung Kota yang menyebut sebagai gerakan gotong royong lintas disiplin dan lintas generasi, mengkritisi produk kebijakan Pemerintah Propinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan dampaknya terhadap warga, selama Jakarta dipimpin Ahok. Kebijakan Pemprov DKI Jakarta dinilai jauh dari keadilan bagi warganya, khususnya warga miskin.

Forum Kampung Kota juga memaparkan rendahnya kinerja Pemprov DKI Jakarta dengan mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan Indeks Gini di Jakarta (indeks berisi ketimpangan distribusi hasil pembangunan) yang meningkat, dari 0,43 pada 2014 menjadi 0,46 pada 2015. Demikian pula angka kemiskinan di Jakarta yang dari September 2015-hingga Maret 2016 menunjukan peningkatan hingga 5.630 orang.

Cara-cara penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta juga diperkarakan. Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menunjukkan, selama tahun 2015, terjadi 113 kasus penggusuran paksa oleh Pemprov DKI Jakarta. Total jumlah korban sebanyak 8.145 kepala keluarga (KK) dan 6.283 unit usaha. Sebanyak 67 persen di antaranya dibiarkan tanpa solusi. Ahok dinilai tidak mau mendengar dan berempati pada warga miskin. Pernyataan Ahok juga menciptakan polarisasi warga.

Forum Kampung Kota juga mengkritik keterlibatan militer saat melakukan penggusuran karena bertentangan dengan UU No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). UU tersebut menyatakan, TNI hanya berwenang mengurusi pertahanan, bukan ketertiban umum yang menjadi tugas kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tak hanya itu, Ahok dianggap lebih berpihak kepada korporasi seperti dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Karena itu, Forum Kampung Kota mendesak PDIP untuk tidak mendukung pencalonan Ahok sebagai gubernur DKI (2017-2022). "Kami meyakini tak ada basis moral dan ideologi yang bisa dijadikan sebagai dasar bagi PDIP untuk mendukung pencalonannya. Demokrasi, keadilan dan keberpihakan pada kaum marhaen adalah ideologi PDI Perjuangan yang tidak dapat ditemui oleh kandidat ini," demikian pernyataan Forum Kampung Kota.

Meski menolak kepemimpinan Ahok, Forum Kampung Kota tidak menampik ikhtiar yang telah dilakukan Ahok. Mantan Bupati Belitung Timur itu dinilai telah berupaya mendorong good governance, transparansi, dan akuntabilitas di internal birokrasi.

Surat terbuka yang disampaikan Forum Kampung Kota merupakan suara yang mewakili sebagian warga Jakarta yang alergi terhadap Ahok. Memang, Ahok sering diperkarakan lantaran mengabaikan dialog saat berurusan dengan kepentingan warga, khususnya warga miskin yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Ciliwung.

Namun, Ahok punya alibi untuk membenarkan cara-cara yang dilakukan. Alasannya, rumah warga yang digusur berada di tanah negara. Selain itu, sterilisasi di sekitar Sungai Ciliwung, menjadi solusi menangani banjir dan pemberantasan penyakit sosial.

Jakarta juga membutuhkan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Peningkatan kebutuhan ruang seiring bertambahnya jumlah penduduk, menimbulkan konflik penguasaan ruang, termasuk memangkas ruang terbuka. Akibatnya, daya dukung lingkungan semakin berkurang sehingga Jakarta selalu diterpa banjir tatkala memasuki musim hujan. Karenanya, Pemprov pun melakukan penggusuran dan relokasi.

Namun, idealnya perlu dialog intensif hingga menghasilkan konsensus antara Pemprov DKI Jakarta dengan warga. Relokasi memang merupakan opsi yang bisa ditempuh. Namun, harus sesuai harapan warga, tidak marginalisasi yang mengakibatkan kehidupan warga menjadi tidak lebih baik dibandingkan saat menempati kawasan lama. 

Cara-cara main gusur juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). UUD 1945, Pasal 28H ayat 1 menegaskan, hak setiap warga negara atas tempat tinggal. Larangan penggusuran paksa juga diatur dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang telah diratifikasi melalui UU No 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Pendapat Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa juga menekankan pentingnya musyawarah dengan warga yang terkena dampak, pemberitahuan kepada warga sampai jadwal penggusuran akan dilakukan, kejelasan informasi tentang kegunaan lahan pascapenggusuran, kehadiran pemerintah saat penggusuran, dan penyediaan sarana pemulihan berdasarkan hukum. Penggusuran juga tidak boleh mengakibatkan warga tidak memiliki rumah sama sekali dan kualitas hidupnya menurun di lokasi yang baru.

Penolakan terhadap Ahok juga terlihat dengan beredarnya sebuah video yang berisi yel-yel perlawanan yang beredar di dunia maya. Yel-yel yang dinyanyikan sejumlah fungsionaris PDIP itu nadanya, "Satu padu untuk menang. Gotong royong untuk menang. Perjuangan untuk menang. Ahok pasti tumbang!"

Video yang berdurasi sekitar 30 detik itu dipahami jika pengurus PDIP menolak Ahok. Namun, bisa juga video itu dianggap sebagai cara menunjukan posisi tawar. Pasalnya, Megawati dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP belum mengeluarkan keputusan terkait dukungan kandidat di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Bukan tidak mustahil, yel-yel penolakan itu berubah nadanya menjadi dukungan jika Megawati menyatakan dukungan kepada Ahok.

Ahok merespon video itu dengan nada datar. Dia justru mengklaim, telah mengantongi dukungan Megawati Soekarnoputri. Dalam pertemuan singkat dengan Megawati di Kantor DPP PDIP Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta, Ahok mengaku, Megawati setuju dirinya maju kembali bersama Djarot Saiful Hidayat, yang merupakan kader PDIP, untuk melanjutkan kepemimpinan di Jakarta.

Benarkah klaim Ahok jika Megawati mendukungnya? Hingga saat ini, Megawati belum secara lisan mendukung Ahok. Beberapa petinggi PDIP pun tidak ada yang memastikan Megawati mendukung Ahok. Kalau pun beberapa kali bersua, Megawati belum menunjukan sinyal akan mendukung Ahok.

Dalam menentukan pilihan. Megawati harus benar-benar melakukan kalkulasi politik. Sebagai partai pemenang Pemilihan Umum 2014, PDIP tentu ingin unjuk kekuatan dengan mengusung kadernya sendiri sebagai calon gubernur, bukan calon wakil gubernur DKI Jakarta.

Megawati nampaknya masih menimang-nimang ekspektasi, termasuk resistensi para fungsionaris partai terhadap Ahok. Meski keputusan dalam menentukan kepala daerah merupakan "hak veto" Megawati, suara-suara di tingkat cabang dan anak ranting harus didengarnya. Dia juga harus mendengar suara-suara di akar rumput terkait sosok pemimpin yang diinginkan warga. Jika Megawati mendukung Ahok yang bukan kader partai, tentu akan berdampak pada daya dukung di tingkat bawah.

Selain itu, meski sebagai partai pemenang Pemilu dan bisa mencalonkan kadernya tanpa berkoalisi dengan partai lain, Megawati juga perlu mempertimbangkan dukungan dari partai lain. Koalisi dengan partai lain sulit diabaikan karena menyangkut dinamika politik ke depan.

Misalkan, jika kader yang diusung PDIP menang tanpa memiliki dukungan partai politik lain, maka dikhawatirkan akan menjadi hambatan politik, khususnya terkait pelaksanaan tugas kepala daerah yang berhubungan dengan kewenangan legislatif. Terlalu kuatnya legislatif, maka akan menyusahkan kepala daerah dalam merencanakan dan mengimplementasikan program pemerintahan.

Megawati tentu mencermati manuver partai politik, termasuk upaya DPD PDIP DKI Jakarta yang mendorong Koalisi Kekeluargaan bersama enam partai lain: Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Mereka satu suara untuk tidak mendukung Ahok dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.

Koalisi merupakan suatu keniscayaan, yang tak bisa dihindari di dalam proses politik. Dalam dinamika politik yang demokratis, dukungan partai politik sangat menentukan kemenangan kandidat di ajang suksesi. Karena, partai politik memiliki basis massa yang riil.

Namun, kekuatan partai politik hanya di atas kertas lantaran tidak ditopang kekuatan figur yang dijagokan. Daya ungkit partai politik seringkali gagal lantaran kandidat yang diusung tidak sejalan kriteria dan harapan warga. Dalam pemilihan langsung, selain dukungan partai politik, kekuatan figur sangat menentukan.

Figur yang memiliki kans memenangkan pertarungan dapat dilihat dari rekam jejak, tipikal, dan gaya kepemimpinan. Rekam jejak terkait kinerja saat diberikan mandat mengelola pemerintahan. Rekam jejak yang baik dibuktikan dengan keberhasilan meningkatkan kesejahteraan rakyat, mampu memberikan rasa aman, menegakkan hukum, memberantas korupsi, dan sebagainya.

i

Sementara gaya kepemimpinan yang biasanya menjadi indikator penilaian warga adalah kedekatan dengan rakyat, sederhana, tegas, jujur, dan sebagainya. Warga juga tentu tidak mengabaikan aspek penilaian visi dan misi maupun program yang ditawarkan kandidat. Para pemilih yang ingin adanya perubahan, tentu mengharap program yang ditawarkan dapat memecahkan persoalan yang terjadi dan dialami selama ini.

Kekuatan figur yang dipoles misi dan visi, serta program tersebut harusnya direpson partai politik untuk melakukan lompatan besar dengan mengubah mekanisme rekrutmen calon kepala daerah.

******

Jelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, PDIP, termasuk partai lainnya, tentu telah menimang sejumlah nama yang layak diadu dengan Ahok. Beberapa nama itu antara lain: Tri Rismaharini, Sandiaga Uno, Yusril Ihza Mahendra, Sjafrie Sjamsoeddin, Budi Waseso, dan sebagainya. Di antara nama-nama itu, yang santer disebut-sebut paling layak menjadi kandidat gubernur DKI Jakarta adalah Tri Rismaharini, kader PDIP yang kini menjabat Walikota Surabaya.

Menurut Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto, Tri Rismaharini adalah sosok yang ideal karena mampu menjabarkan harapan Megawati. Sosok perempuan yang karib disapa Risma itu dinilainya merepresentasikan komitmen PDIP sebagai partai wong cilik (rakyat kecil).

Risma juga mampu membangun interaksi yang baik dengan publik sehingga mandat kekuasaan benar-benar dilaksanakan untuk kepentingan rakyat kecil. "Itu model pemimpin yang diusung PDIP," kata Hasto.

Sinyal ketertarikan Megawati terhadap Risma sudah terlihat saat berkunjung ke Surabaya awal Mei lalu. Megawati menyambangi Surabaya untuk melihat Taman Harmoni di kawasan Keputih Surabaya, Jawa Timur.

Risma dan pengurus DPP PDIP yang menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, nampak mendampingi Megawati. Dalam kesempatan itu, Megawati mengapresiasi upaya Risma yang menyulap Taman Harmoni menjadi tempat rekreasi warga, yang sebelumnya tak terurus.

Jika melihat rekam jejak dan integritasnya, Risma layak melaju di DKI Jakarta. Harus diakui, banyak kemajuan Kota Surabaya selama dipimpin Risma. Dia pemimpin yang tegas, namun tidak menjaga jarak dengan rakyat.

Selama Risma memimpin, empat kali Piala Adipura secara berturut diraih Surabaya dari tahun 2011 hingga 2014 untuk kategori kota metropolitan. Di tahun 2014, Risma dinobatkan sebagai Mayor of the Month atau wali kota terbaik di dunia dan menerima penghargaan Future City versi FutureGov untuk Surabaya Single Window (SSW).

Di tahun 2015, Risma juga dinobatkan sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia versi World City Mayors Foundation atas keberhasilannya dalam mengubah wajah Kota Surabaya dari kumuh menjadi kota hijau dan rapi.

Dengan bermodal rekam jejak yang baik, sosok Risma pun agaknya diterima pentolan partai, selain PDIP. Wakil Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menyatakan, partainya akan mendukung Risma bila maju sebagai calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2007. "PKS akan mendukung kalau Risma maju ke Pilkada DKI," kata Hidayat di Gedung Parlemen, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pengamat politik Universitas Jayabaya, Jakarta, Igor Dirgantara menilai, figur Risma dapat menjadi perekat koalisi tujuh partai politik di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017. "Saya meyakini Gerindra, PKS, PPP, PKB, PAN dan Demokrat, tidak akan menolak (pencalonan Risma)," katanya.

Namun, bagaimana soal penentuan calon wakil gubernur, yang mendampingi Risma? Bisa saja dengan mempertimbangkan kekuatan masing-masing partai. Misalnya, Risma menjadi calon gubernur karena merupakan kader PDIP yang memperoleh 28 kursi di parlemen.

Sementara wakilnya adalah Sandiaga Uno, kader Partai Gerindra yang memiliki 15 kursi. Persoalannya, hubungan antara Megawati dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto tidak harmonis. Prabowo pernah kecewa lantaran Megawati tidak mendukungnya saat Pemilihan Presiden 2014 sesuai perjanjian Batu Tulis yang ditandatangani 2009 lalu.

Prabowo sendiri sudah menyatakan mendukung Sandiaga sebagai calon gubernur dari Gerindra. Namun, dalam politik, dinamika terus bergerak. Bisa saja sikap yang sudah dinyatakan dianulir dengan mempertimbangkan realitas politik kekinian.

Meski belum menyatakan kesediaan akan maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta, tingkat elektabilitas Risma pun terus merangkak naik. Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) yang dirilis 18 Agustus 2016 lalu menunjukan, elektabilitas Risma mencapai 28,6 persen atau naik 22,8 persen dibandingkan dengan hasil survei Februari 2016 lalu yang hanya 5,8 persen.

KedaiKopi melakukan survei dari tanggal 11-13 Agustus 2016 dan merekrut 400 responden yang tersebar secara proporsional di 40 kelurahan di DKI Jakarta. Teknik pengumpulan data dilakukan lewat wawancara secara langsung dan pemilihan responden secara random. Sementara tingkat elektabilitas Ahok stagnan yaitu mencapai 47,9 persen.

Meski tingkat elektabilitas Risma masih lebih rendah dibandingkan Ahok, bukan berarti Risma tidak bisa mengalahkan Ahok. Saat Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, hasil survei beberapa lembaga survei menunjukan elektabilitas Jokowi-Ahok sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, lebih rendah dibandingkan pasangan petahana kala itu, Fauzi Bowo dan Nacrowi Ramli. Nyatanya, Jokowi-Ahok yang menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Meski namanya disebut-sebut layak beradu dengan Ahok, Risma belum menyatakan sikap. Namun, bukan berarti Risma tidak mencermati konstelasi politik di DKI Jakarta. Organisasi relawan Risma pun terus bergerak. Mereka membentuk simpul-simpul di kampung-kampung dan memobilisasi dukungan warga.

Beberapa di antaranya menyematkan nama antara lain Laskar Risma (Laris), Barisan Risma (Baris), Pasukan Risma (Paris), Aliansi Masyarakat untuk Risma (Amaris), Tanah Merah untuk Risma (Tameris), Gerakan Masyarakat untuk Risma (Gamis), dan Anak Rawabunga Cinta Risma (Artis).

Relawan memiliki peran besar dalam memenangkan kandidat. Perannya adalah melakukan penetrasi langsung kepada masyarakat, bukan sekadar menjadi "tim hore" yang meramaikan ajang suksesi. Gerakan relawan merupakan bentuk partisipasi politik warga sebagian bagian dari demokrasi.

Kini, keputusan berada di Megawati. Sebagai pimpinan partai, Megawati tentu tidak bisa begitu saja menggunakan hak veto-nya dalam menentukan calon kepala daerah, tanpa mempertimbangkan suara kader dan warga. Bukan lagi eranya, pemimpin partai lebih dominan dalam memutus kebijakan strategis seperti suksesi. Karena, suksesi bukan sekadar hajatan para elit. Namun, menjadi ritual politik bagi rakyat dalam menentukan masa depan kepemimpinan di daerahnya.

Bisa jadi, selain mencermati ekspektasi kader dan warga, sikap Megawati yang belum mencalonkan Risma karena tak ingin konsentrasi Risma memimpin Surabaya terganggu. Risma sendiri selalu mengelak menjawab setiap ditanya wartawan soal kepastian dirinya dicalonkan Megawati. Dia menyadari posisinya sebagai anak buah Megawati, termasuk menjaga perasaan warga Surabaya yang telah memilihnya sebagai walikota. "Nanti Tuhan-lah yang menentukan," katanya. Atau sebaliknya, Megawati akan mengikuti jejak Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura, yang mendukung Ahok. 

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara/Berbagai Sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Energi & Tambang