Menantang Ahok

| dilihat 3974

AKARPADINEWS.COM | DINAMIKA politik di Ibukota DKI Jakarta mulai dipompa. Sejumlah nama yang siap berlaga jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang digelar 2017, mulai bermunculan. Mereka di antaranya Yusril Ihza Mahendra, Adhyaksa Dault, dan Sandiaga Uno.

Ridwan Kamil, Walikota Bandung, yang cukup populer, namanya juga digadang-gadang untuk maju di Pilkada DKI Jakarta. Bukan mustahil, nama-nama lain akan muncul untuk berebut kursi DKI-1, mengalahkan jago petahana: Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Yusril menegaskan, siap berhadapan (head to head) dengan Ahok lantaran dukungan banyak pihak. Dirinya termotivasi berlaga karena ingin mengikuti jejak kakaknya, Yuslih Ihza Mahendra, yang mengalahkan adik Ahok, petahana di Pilkada Belitung Timur, Basuri Tjahaja Purnama.

Agar dapat bertarung di ajang suksesi, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) bersama timnya, mulai menggalang dukungan partai politik lain, termasuk mengumpulkan tanda tangan warga sebagai bentuk dukungan. Dengan begitu, kalau tidak ada partai lain yang mendukungnya, Yusril berharap, bisa mengalahkan Ahok via jalur independen.

Adhyaksa Dault juga menyatakan siap maju di ajang Pilkada DKI karena merasa paham betul dengan kondisi Jakarta. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga mengklaim memiliki gagasan untuk Jakarta sejahtera. Ketua Kwartir Nasional Pramuka itu juga mengklaim sudah mengantongi 90 ribu KTP warga DKI agar bisa mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI dari jalur independen.

Baginya, dalam menghadapi Pilkada DKI, tidak ada lawan berat. Dalam menghadapi rival politiknya, dia memegang prinsip ala Sun Tzu, "Kenali dirimu, kenali lawanmu, seribu kali kali perang, seribu kali menang," katanya saat akan menemui Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (5/2). Adhyaksa juga masuk dalam radar Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sandiago Uno, pengusaha muda yang juga menjabat Wakil Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), juga mulai melakukan penjajakan di level elit. 4 Februari 2016 lalu, dia mendatangi kediaman Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DKI Jakarta, Boy Sadikin.

Dalam pertemuan itu, keduanya sempat membicarakan rencana duet di Pilkada DKI. Menurut Sandiaga, bukan mustahil Gerindra dan PDIP kembali berduet untuk merebut DKI-1 dan DKI 2 seperti yang pernah dilakukan di Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 lalu, yang mengatarkan Joko Widodo dan Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2012-2017.

Ridwan Kamil, Walikota Bandung juga digadang-gadang bakal melaju di ajang Pilgub DKI Jakarta. Emil masuk dalam radar Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dia juga sudah bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Namun, Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil, mengaku belum memutuskan bakal melaju atau tidak. Pasalnya, dia masa jabatannya sebagai Walikota Bandung baru berakhir tahun 2018. Namun, dia tentu tak akan mengabaikan kesempatan untuk menapaki jenjang karir politik yang lebih tinggi. Karenanya, dia mencermati betul aspirasi warga Bandung. Jika diizinkan warga Bandung, Ridwan Kamil dipastikan maju di ajang Pilgub DKI Jakarta. Paling lambat, dia mengatakan, keputusan akan maju atau tidak di Pilkada DKI Jakarta, pada Juni 2016.

Sejauh ini, Ahok yang disebut-sebut sebagai calon paling kuat di ajang Pilkada DKI 2017. Survei yang dirilis Center of Strategic and International  Studies (CSIS) yang merekrut 400 responden menyimpulkan, elektabilitas Ahok mengalahkan sejumlah nama yang layak untuk bertarung. 

Ahok mengalahkan Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Adhyaksa Dault, Tantowi Yahya, Hidayat Nur Wahid, Nachrowi Ramli, Abraham Lunggana, Djarot Saiful Hidayat, Fauzi Bowo, Alex Noerdin, Boy Sadikin, dan lainnya.

Tingkat elektabilitas Ahok mencapai 45 persen, jauh mengungguli Ridwan Kamil (15,75 persen), Rismaharini (7,75 persen), dan Adhyaksa Dault (4,25 persen). Hasil survei itu juga menyimpulkan, 67 persen warga DKI Jakarta, puas dengan kinerja Ahok.

Mantan Bupati Belitung Timur itu boleh saja unggul di survei. Wajar, karena dia masih menjabat sebagai gubernur. Namun, bukan berarti, dia pasti bertahan di kursi gubernur. Ahok menjadi gubernur karena berpasangan dengan Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu tingkat popularitasnya tengah moncer. Setelah Jokowi menjadi presiden, Ahok pun menjadi gubernur. Soal mampu atau tidak dirinya mempertahankan kursi gubernur, tergantung warga Jakarta menilai kinerjanya.

Sebagian warga, mungkin menyukai Ahok karena ketegasannya. Namun, ada juga yang menganggap Ahok kurang santun dan kasar dalam berbicara. Gaya bicara Ahok memang meledak-ledak, sudah menjadi karakternya.

Jika menghitung kekuatan politiknya, Ahok agaknya harus kerja ekstra. Tak mudah baginya mempertahankan status sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta. Pasalnya, sejumlah politisi alergi dengan Ahok. Dia sendiri pecah kongsi dengan Partai Gerindra, yang awalnya mendukung pencalonannya di Pilkada DKI 2012 lalu.

Hingga saat ini, belum ada satu pun partai yang meliriknya. Meski sebelumnya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyebut-nyebut namanya saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP, bukan berarti partai pemenang Pemilu 2014 itu bakal mengusung Ahok di Pilgub DKI. PDIP sendiri punya banyak kader yang layak untuk diusung di Pilgub DKI. Sebut saja, Djarot Saiful Hidayat, yang kini menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang menggantikan posisi Ahok. Atau, bisa pula Megawati menimang-nimang Ahok untuk diusung di Pilkada DKI.

Namun, dukungan partai politik besar tidak serta merta meloloskan calon menang di suksesi. Dalam pemilihan langsung, rakyat yang menentukan. Rekam jejak, kekuataan figur, dan suguhan program kerja, menjadi penilaian utama masyarakat Jakarta dalam menentukan pilihan politiknya.

Hubungan Ahok dengan partai politik memang rada kurang harmonis. Makanya, Ahok bertekad, jika tidak ada partai yang mendukungnya, dia bakal maju di Pilkada via jalur indepeden. Teman Ahok, relawan Ahok, telah bergerak menggalang dukungan warga lewat pengumpulan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Teman Ahok mengklaim sudah 500 ribu KTP yang berhasil dikumpulkan.

Ahok hengkang dari partai besutan Prabowo Subianto lantaran berbeda pendapat soal mekanisme pemilihan kepala daerah. Ahok menentang keputusan Gerindra yang mendorong kepala daerah dipilih lewat DPRD. Sejak itu, Ahok menjalani tugasnya sebagai gubernur, tanpa dukungan partai. Wajar jika kebijakannya sering berseberangan dengan DPRD DKI Jakarta.

Dalam pemilihan langsung, dukungan partai politik tidak serta merta dapat mempengarui pilihan warga. Koalisi partai politik juga tidak menjamin akan mengantarkan jagoannya ke posisi puncak kekuasaan. Memang, partai politik menjadi mesin utama mobilisasi dukungan warga. Tetapi partai politik bukan satu-satunya alat untuk mempengarui sikap dan pilihan politik warga.

Bagi masyarakat yang melek politik, dukungan partai politik dianggap hanya untuk mendapatkan jatah kekuasaan jika kelak calonnya memenangkan pertarungan. Dengan kata lain, koalisi hanya menjadi trik power sharing.

Meski demikian, dukungan partai politik tidak bisa diabaikan. Ahok sendiri berhasil menduduki jabatan politik karena dukungan partai politik. Sampai-sampai, dia sering gonta-ganti partai politik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyebutnya sebagai politisi kutu loncat.

Jika melihat perjalanan politiknya, Ahok punya karir yang gemilang. Sayang, dia beberapa kali tidak menuntaskan jabatan yang diamanatkan masyarakat kepadanya hingga akhir jabatan.

Ahok mulai menapaki karir politik pada pertengahan 2004. Kala itu, Ahok bergabung dengan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) yang didirikan Sjahrir (almarhum). Dia pun ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai PIB di Kabupaten Belitung Timur.

Ahok lalu maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rayat Daerah (DPRD) Bangka Belitung pada Pemilihan Umum 2004 dan terpilih.

Nama Ahok makin moncer lantaran pernah menolak mengambil uang SPPD fiktif. Dia pun makin dikenal warga Belitung Timur lantaran intensif berinteraksi dengan warga. Karenanya, dia mampu menggalang dukungan warga. Baru tujuh bulan menjadi anggota DPRD, Ahok maju sebagai calon Bupati Bangka Belitung periode 2005-2010.

Dia berpasangan dengan Khairul Effendi dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Dan, Ahok pun menang dengan perolehan suara 37,13 persen. Lagi-lagi, belum selesai masa jabatannya sebagai bupati, Ahok mengajukan pengunduran diri pada 11 Desember 2006.

Rupanya, dia mengincar jabatan Gubernur Bangka Belitung di tahun 2007. Kali ini, ambisi politiknya kandas. Dia tak mampu mengalahkan lawannya, Eko Maulana Ali. Ahok pun angkat kaki dari PPIB lantaran tak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Dia lalu berlabuh ke Partai Golkar tahun 2008.

Di Pemilu 2009, Ahok terpilih menjadi anggota DPR periode (2009-2014) dari Fraksi Golkar. Rupanya, Ahok tertarik untuk maju di Pilgub DKI 2012, dengan menjadi pendamping Joko Widodo. Kala itu, Ahok tak peduli dengan keputusan Golkar yang mendukung Alex Noerdin. Ahok maju di ajang Pilkada lewat dukungan Gerindra. Sedangkan Jokowi didukung PDIP. Hingga akhirnya, Jokowi-Ahok pun berhasil mengalahkan pasangan petahana: Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.

Hasil survei memang menunjukan Ahok yang teratas. Namun, menang di survei, tidak berarti menang pula di ajang suksesi. Karena, dinamika politik akan terus bergerak karena Pilkada baru akan digelar 2017. Dan, kadangkala, hasil survei berbanding terbalik dengan hasil perhitungan suara. Itu karena, lembaga survei turut serta dalam pusaran pertarungan politik.

Di Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 lalu misalnya, sejumlah lembaga survei menjagokan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Nyatanya, yang menjadi juara adalah pasangan Jokowi-Ahok. Itu artinya, hasil survei seringkali memaparkan data yang tidak sesuai realitas dengan maksud untuk menyenangkan salah satu pihak saja. Bisa pula karena terjadi kesalahan dalam proses pengambilan sampel yang kurang proporsional.

Misalnya, wajar saja pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli memimpin survei, lantaran tidak dijadikannya warga Tionghoa sebagai sampel. Padahal, suara warga keturunan Tionghoa sangat signifikan. Jumlahnya terbesar ketiga setelah etnis Jawa dan Sunda. Bahkan, etnis Tionghoa lebih banyak dari etnis Betawi yang merupakan pribumi Jakarta.

Jelang suksesi, berbagai lembaga survei akan berlomba-lomba merilis hasil survei. Lewat publikasi di media, hasil survei opini publik itu dapat menjadi instrumen pencitraan dan menggiring persepsi publik untuk memilih salah satu kandidat yang dijagokan lembaga survei.

Memang sampai saat ini belum ada yang menyimpulkan publikasi hasil riset opini publik dapat memengarui pemilih dalam menentukan pilihannya. Namun, ada dampak langsung dan tidak langsung dari publikasi survei terhadap sikap atau pilihan pemilih.

Hasil survei pra pemilihan dapat memproduksi liputan media dan kontribusi dana sumbangan sehingga kampanye kandidat atau partai lebih banyak diliput. Hal ini karena media bias popular, lebih suka meliput kandidat atau partai yang popular dan diprediksi akan menang.

Namun, soal pilihan politik, warga Jakarta umumnya adalah pemilih rasional. Referensi pilihan politiknya tergantung rekam jejak dan program kerja yang disuguhkan para calon kepala daerah. Warga DKI Jakarta tentu bisa menilai rekam jejak dan pencapaian program yang dilakukan Ahok. Meski demikian, dari sisi rekam jejak, mereka yang disebut-sebut bakal melaju ke ajang suksesi, punya catatan yang cukup baik.

Ridwan Kamil misalnya, pernah dinobatkan sebagai wali kota terbaik di dunia. Ridwan terpilih bersama 11 wali kota lainnya dalam Forum Young Leader Sumposium World Cities Summit di Singapura 2014. Di forum itu, Ridwan mempresentasikan terobosannya dalam memimpin Kota Bandung dengan sistem kolaborasi bersama warga, komunitas, dan seluruh aparatur pemerintah, kepolisian, TNI, dan kejaksaan.

Sementara soal program, pemilih akan mempertimbangkan realistis atau tidaknya program yang ditawarkan. Pemilih yang rasional, tidak akan memilih kandidat yang tidak menawarkan program dan visi misi yang jelas. Karenanya, program kerja, misi dan visi, dikemas harus jelas, terukur, realistis, dan faktual dengan isu-isu atau masalah yang tengah dihadapi masyarakat.

Soal dukungan, mungkin untuk kalangan menengah atas, Ahok adalah pilihan tepat. Namun, bagaimana dengan kalangan kelas bawah? Jika mencermati, dukungan kalangan menengah ke bawah, dukungan terhadap Ahok kurang begitu kuat. Apalagi, Ahok pernah berkonflik dengan warga, khususnya yang berada di sekitar bantaran Sungai Ciliwung, Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur.

Dia pernah diprotes warga lantaran memilih cara represif: menggusur rumah warga. Ratusan Polisi Pamong Praja (PP) dan personil kepolisian dari Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya dikerahkan. 20 Agustus 2015 lalu, eksekusi dilakukan. Bentrokan tak bisa dihindarkan.

Perlawanan warga tak digubris Ahok. Dia menegaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berwenang menggusur rumah warga karena berdiri di lahan milik negara sejak puluhan tahun silam. Warga juga dinilai Ahok tidak berhak mendapatkan ganti rugi karena Pemprov sudah menawarkan rumah susun (Rusun) di Jatinegara yang layak huni.

Penggusuran tersebut merupakan bagian dari upaya Pemprov melanjutkan program normalisasi Sungai Ciliwung. Kampung Pulo, terletak di Kampung Melayu, Jatinegara, merupakan kawasan padat penduduk. Wilayah itu seringkali terendam banjir akibat air sungai yang meluap. Banjir tak bisa dicegah lantaran bantaran sungai yang seharusnya terbebas dari aktivitas manusia justru disesaki penduduk.

Ahok boleh saja mengklaim jika relokasi sudah sesuai aturan prosedur yang berlaku. Namun, keputusan relokasi dianggap warga diputus secara sepihak. Pemprov harusnya mendengar aspirasi warga dan memandang negosiasi merupakan suatu proses yang harus dilalui secara bertahap, sampai muncul kerelaan dan kesadaran warga untuk direlokasi.

Dengan begitu, tatkala muncul keluhan warga, Pemprov harus mengakomodasi, bukan justru seolah-olah paling benar. Dalam proses negosiasi, masyarakat harus ikut urun rembuk karena mereka berhak memperjuangkan kepentingannya. Cara-cara itu lebih manusiawi daripada melakukan cara-cara represif.

Insiden di Kampung Pulo tentu menjadi memori kalangan menengah ke bawah terhadap Ahok. Warga di sana tentu merasa dirugikan jika teringat janji Jokowi-Ahok yang dulu intensif kampanye dari satu kampung ke kampung, termasuk menemui warga yang tinggal di bantaran sungai.

Warga di sana pernah memberikan dukungan kepada Jokowi-Ahok lantaran menjanjikan akan membangun hunian di bantaran Sungai Ciliwung yang didesain menjadi kampung susun. Jokowi-Ahok kala itu juga berjanji jika pembangunan kampung rusun itu tanpa melakukan penggusuran.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Berbagai sumber
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 102
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 518
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 446
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Energi & Tambang