Pandangan Kritis Tan Sri Johan Jaaffar tentang Malaysia

Memulai Percakapan Penguasa dengan Rakyat

| dilihat 1499

Artikel kolom Tan Sri Johan Jaaffar (JJ), jurnalis, penulis drama, aktor, dan seniman senior sohor Malaysia yang pernah menjadi Chairman di Media Prima Bhd – kelompok usaha media besar di Malaysia – selalu menarik, dan perlu dibaca.

Tiap Senin, JJ kerap menulis kolom di The Star, salah satu media besar Malaysia.

Senin, 17 September 2018 lalu, JJ menulis kolom bertajuk : Let’s start the conversation. Mari mulai percakapan.

Di bagian awal kolomnya, JJ mengambil ilustrasi menarik, ihwal praktik demokrasi berbasis kelapangan hati, antara kuasa dan rakyat amah (rakyat kebanyakan).

JJ bercerita tentang terjadinya kebekuan saat Brett Kavanaugh, mengikuti fit and proper test untuk posisi hakim Mahkamah Agung.

Seorang lelaki biasa, Fred Guttenberg -- yang kehilangan putrinya pada tragedi penembakan puterinya di Parkland --, mendekati Kavanaugh, memperkenalkan dirinya dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Kavanaugh ragu-ragu, berbalik dan berjalan pergi.

Peristiwa itu segera mengirim pesan kepada para pengeritik Kavanaugh, yang gagal – setidaknya – mengakui pandangan orang lain, kendati belakangan hari, dia beralasan, dia tak hendak berjabat tangan dengan Guttenberg, lantaran tak kenal. Meski dia tahu, Guttenberg aktif memperjuangkan undang-undang kontrol senjata setelah tragedi penembakan anaknya itu.

Tapi, Guttenberg kalah pengaruh dengan lobi NRA (National Rifle Association) yang mendukung nominasi Kavanaugh untuk jabatan bergengsi di Mahkamah Agung Amerika Serikat, itu.

Amerika yang seharusnya menjadi mercusuar harapan untuk "percakapan" nyata, gagal memainkan perannya. Karena pada kenyataannya, Presiden Donald Trump telah menggambarkan secara luas, bahwa pers -- pada umumnya --  sebagai "musuh rakyat."

Sejak Richard Nixon, tidak ada presiden Amerika Serikat, yang memiliki hubungan sangat dingin dengan pers. Hubungan Trump dengan pers, semakin parah dari hari ke hari.

Tapi, menurut JJ, Trump tidak sendiri. Banyak pemimpin dunia akan setuju dengan posisinya di jagad pers bebas. (He is not alone. Many leaders of the world would agree with his position on the free press.)

Menurut JJ, “As the world becomes smaller with the advent of the Internet, there are those who still believe in the idea that free press is bad and laws should be enacted to silence the people. The voices of the little people should not be heard. Power shouldn’t be given to the powerless. Power is exclusively for the powerful.”

“Ketika dunia menjadi lebih kecil dengan munculnya Internet, masih ada orang-orang yang percaya pada gagasan, bahwa pers bebas adalah buruk, dan hukum harus diberlakukan untuk membungkam rakyat. Suara rakyat kecil tidak boleh didengar. Kekuasaan tidak seharusnya diberikan kepada yang tidak berdaya. Kekuasaan hanya untuk yang berkuasa.”

Tangkas dan terang benderang, JJ menulis, “Kami telah melihat bagaimana pemerintah jatuh karena itu. Kebodohan para pemimpin yang percaya, bahwa konstituen hanyalah statistik di tempat-tempat pemungutan suara telah menyebabkan orang-orang menolaknya.”

JJ menukik ke kondisi dan realitas di Malaysia. Dia menulis : “Barisan Nasional telah belajar pahit tentang apa yang dilakukan oleh Kekuatan Rakyat. Selain keangkuhan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dirasakan, pengabaian yang mencolok terhadap perbedaan pendapat merupakan salah satu alasan yang mencemaskan rakyat.”

Lantang, JJ mengungkap : “Hukum diberlakukan untuk membungkam apa yang tersisa dari kebebasan berekspresi. Jerami yang mematahkan punggung unta, adalah Undang-Undang Berita Anti-Palsu, yang kebanyakan orang anggap tidak perlu dan tidak beralasan.

Ada Undang-Undang Hasutan yang melayang di atas kepala kita, belum lagi undang-undang lain yang membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Universitas-universitas - yang konon merupakan benteng suara bebas terakhir - telah dibungkam. Perdebatan tentang hampir semua hal tidak disarankan pada satu titik.

Dal hal mencermati realitas, bahwa “mengeritik lebih mudah daripada dikritik,” JJ membuka wawasan kita yang luas. Khasnya, ketika oposan (pembangkang) berubah posisi menjadi pemerintah.

Begini JJ menggambarkan :

“Para pemimpin Pakatan Harapan sekarang sadar akan kenyataan bahwa mereka ada di dalam pemerintahan. Menjadi anggota oposisi memiliki kelebihan, dan duduk di sisi berlawanan dari lorong memiliki kemunduran.

Menuntut pers yang bebas ketika Anda berada di sisi lain terdengar mulia dan bahkan romantis, tetapi tidak mudah ketika Anda menjadi bagian dari pemerintah.

Tetapi mereka tidak boleh tergoyahkan oleh hal itu. Janji untuk membebaskan pers harus dijaga, dan begitu juga kebutuhan untuk mencabut atau menghapuskan beberapa undang-undang pukat tunda (jejaring).”

Segala sesuatu berubah dan kita perlu melakukan penyesuaian, ungkap JJ. “Suara yang tidak setuju harus didengar. Pers harus dibebaskan seperti yang dijanjikan. Ini adalah prasyarat untuk demokrasi yang sehat dan hidup. Lembaga-lembaga pembelajaran yang lebih tinggi harus didepolitisasi.”

Sangat mudah untuk membingkai kritik terhadap kepemimpinan Melayu sebagai ‘bashing’ - tamparan Melayu. Beberapa pemimpin mereka, telah gagal di masa lalu.

Ada kebutuhan yang mendesak untuk kembali pada budaya, pola pikir dan jiwa untuk memahami apa yang telah terjadi. Ini adalah waktu yang tepat untuk memahami bagaimana para pemimpin dipercaya untuk membantu dan melindungi, telah mengkhianati ras Melayu secara keseluruhan.

Terus terang JJ mengungkapkan, “Saya merasa tidak senang mendengarkan orang-orang yang mempermasalahkan kolom Siti Kasim di Sunday Star atau dengan posisi Mufti Perlis, Datuk Dr Asri Zainul Abidin tentang masalah agama tertentu.”

Lugas, JJ menegaskan, “Kami memiliki banyak hal yang lebih relevan untuk ditangani daripada mengkhawatirkan pandangan dan interpretasi yang berbeda.”

JJ menyatakan, dirinya tidak percaya posisi Muslim akan terancam hanya dengan membaca atau mendengarkan salah satu dari mereka. Atau orang itu akan berpindah agama ke Kristen hanya dengan membaca buku Hannah Yeoh atau mendengarkan lagu oleh Jaclyn Victor.

“Kaum Muslim tidak mungkin sekecil itu!” seru JJ.

JJ mengajak, “Kita harus memiliki keberanian untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan ras di negara ini atau jika pekerjaan dari Dewan Konsultasi Persatuan Nasional akan sia-sia. Kita harus mendorong penulisan yang cerdas di negara ini. Kita harus memelihara seni dan budaya yang dinamis yang bebas dari beban politik.”

JJ mengungkapkan, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh surat Harian Sinar, yang disiarkan televisi dan dipandunya, Menteri Pendidikan Dr Maszlee Malik mengusulkan gagasan untuk mendirikan sudut debat (pojok debat) di sekolah-sekolah dan memperkenalkan kembali Sudut Pidato (Pojok Pembicara) di universitas-universitas. Ini merupakan langkah yang baik untuk menciptakan ekosistem untuk wacana yang sehat.

“Kita harus mampu menghadapi dan berjabat tangan dengan orang-orang yang tidak sependapat dengan kita, betapa pun kita tidak menyukai mereka,” pungkas JJ menutup artikelnya. | Bang Sem

Editor : Web Administrator | Sumber : The Star
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 278
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 140
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 785
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya