Konflik Ormas

Memangkas Akar Anarkisme Ormas

| dilihat 3184

AKARPADINEWS.COM | LAKU massa anarkis kembali terjadi. Lagi-lagi, melibatkan oknum organisasi kemasyarakatan (Ormas), Forum Betawi Rempug (FBR). Amuk anggota FBR yang meletup pada Sabtu siang (8/8) di Pasar Rembong, Jatinegara, Jakarta itu dipicu masalah sepele.

Hanya karena melihat seorang warga yang menggunakan kaos Pemuda Pancasila (PP), anggota FBR itu tiba-tiba menjadi beringas. Mereka mengeroyok warga yang diketahui bernama Chandra itu. Tak ingin mati konyol, Chandra sekuat tenaga berusaha lari. Massa FBR terus mengejarnya.

Aksi pengeroyokan mematik reaksi warga. Reko (22 tahun), yang merupakan keponakan Chandra, bersama warga lainnya, membela Chandra. Namun, mereka disambut perlawanan FBR. Anggota FBR itu pun rada ketar-ketir tatkala warga makin ramai menyerang mereka. Mereka memilih langkah seribu. Beruntung, mereka selamat dari amarah warga. Namun, sebuah motor milik anggota FBR yang ketinggalan di lokasi kejadian, dibakar warga.

Di hari yang sama, bentrokan antara warga dengan massa FBR juga pecah di kawasan sekitar Pusat Grosir Cilitan (PGC), Kramat Jati, Jakarta Timur. Masalahnya juga sepele. Massa FBR gerah dengan tukang parkir. Mereka terlibat cekcok karena persoalan kemacetan. Tiba-tiba, keributan terjadi. Mereka saling serang. Batu-batu bertebaran. Seorang warga mengalami korban luka. Warga lain marah. Anggota FBR pun kabur, takut dihajar massa.

Insiden kekerasan itu sungguh sulit diterima akal sehat. Sulit dibayangkan jika anggota FBR berlaku kasar hanya karena melihat seorang warga menggunakan atribut PP. Lagian, belum tentu warga yang memakai baju PP itu adalah anggota PP. Walaupun anggota PP, tidak dibenarkan pula bertindak sewenang-wenang.

Kemarahan anggota FBR itu diduga lantaran dendam.  Insiden itu bisa jadi buntut rangkaian konflik berdarah sebelumnya. Massa FBR dan PP memang sering terlibat bentrokan. Pertengahan Juni lalu, salah satu anggota FBR bernama Ramlan (44 tahun) tewas setelah bentrok dengan massa PP di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.

Ramlan menghembuskan nafas terakhir lantaran luka bacok di sekujur tubuhnya. Dari penyelidikan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, bentrokan itu terjadi karena Ramlan bersama anggota FBR lainnya mencabut bendera dan umbul-umbul PP di kawasan itu. Lagi-lagi, persoalan sepele yang berujung maut.

Perseteruan yang berujung maut juga terjadi antar massa kedua Ormas itu pada 10 Mei 2015 lalu. Massa FBR dan massa PP terlibat baku hantam di Perumahan Puri Beta 2, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang.  Kali ini, yang menjadi korban tewas adalah anggota PP.

Rentetan insiden berdarah yang tidak diselesaikan itu bisa jadi akan terus menerus mematik konflik. Bentrok antar Ormas yang berujung maut bukan hanya melibatkan FBR maupun PP. Namun, bentrokan juga kerap melibatkan massa Ormas lain, baik yang mengatasnamakan etnis, berbau politis, dan bermotif ekonomi. Bahkan, ada Ormas yang melakukan tindakan anarkis dengan mengatasnamakan agama.

Aparat keamanan sering "angkat tangan" tatkala terjadi bentrokan. Upaya represif biasanya baru dilakukan aparat setelah jatuhnya korban dan hancurnya sejumlah sarana prasarana umum. Sementara masyarakat begitu jengah dengan perilaku anggota Ormas yang anarkis. Wajar jika kemudian muncul kesan pembiaran yang mengindikasikan ada hubungan mutualistik antara Ormas anarkis dengan aparat penegak hukum.

Setiap Ormas dibentuk karena ingin mencapai tujuan bersama. Tidak ada Ormas yang mendeklarasikan pembentukannya untuk menebar teror masyarakat. FBR misalnya. Ormas yang dibentuk tanggal 29 Juli 2001 dan diprakarsai oleh KH A Fadloli El Muhir itu memiliki visi mulia. FBR ingin membina masyarakat Betawi yang bersatu, kreatif, inovatif, pencipta dan mengabdi pada berkepribadian Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat yang adil, makmur yang diridhai Allah SWT. FBR juga didirikan untuk membangkitkan semangat masyarakat Betawi agar menjadi tuan rumah di kampungnya sendiri.

Visi itu perlu diapresiasi dan didukung. Realitas menunjukan, etnis Betawi tersingkir dari tanah leluhurnya. Kebanyakan mereka memilih pindah ke pinggiran kota Bekasi, Depok, dan Tangerang karena tanahnya di Jakarta dijual kepada pengusaha atau pendatang. Jumlah mereka semakin menyusut di Jakarta. Mereka tak lagi menjadi warga mayoritas. Di tahun 2000, dari total penduduk Jakarta yang berjumlah 8,3 juta jiwa, etnis Betawi jumlahnya hanya 27,65 persen, kalah dengan etnis Jawa yang mencapai 35,16 persen.

Identitas etnis Betawi pun makin tergerus akibat penetrasi beragam nilai dan pola perilaku modern yang menggempur Jakarta. Ironisnya, muncul stereotipe yang mengesankan etnis Betawi itu negatif seperti bodoh, miskin, dan kuno. 

Karenanya, akar konflik dan kekerasan yang dilakoni oknum anggota FBR, PP, maupun Ormas lainnya, harus dilihat secara komprehensif. Bukan sekadar dipicu dendam personal atau kebencian terhadap kelompok lain. Namun, konflik dan kekerasan lebih karena ketimpangan atau ketidakadilan struktural yang mengakibatkan marginalisasi sebagai benih resistensi dan anarki.

Aksi-aksi demonstrasi yang kadang berakhir dengan kekerasan perlu direspons sebagai bentuk protes atas ketidakadilan. Mereka menggugat pemerintah, termasuk orang-orang dari luar dengan tujuan mengembalikan eksistensi di tanah leluhurnya sendiri.

Dari aspek kultural, etnis Betawi sebenarnya bersahabat. Dalam laku keseharian mereka sangat terbuka tatkala berinteraksi dengan orang-orang dari luar. Mereka mampu beradaptasi dengan komunikasi khasnya yang sering diselingi humor. Sikap tersebut menunjukan, masyarakat Betawi, tidak suka mencari musuh. Karenanya, cara-cara kekerasan bertentangan dengan kultur Betawi. Di sinilah perlu pimpinan FBR untuk mencegah anggotanya untuk tidak melakukan kekerasan karena dapat mereduksi eksistensi Betawi.

Apapun alasannya, tindakan kekerasan tidak dapat dibenarkan. Dan, menjadi tugas aparat keamanan untuk segera bertindak, mencegah membesarnya embrio kekerasan yang bisa mengancam harmoni sosial di Jakarta, wilayah yang dihuni beragam suku, agama, ras, dan antargolongan.

Sebenarnya tidak hanya FBR. Ormas yang mengatasnamakan suku lainnya di beberapa daerah juga sering melakukan tindakan kekerasan kolektif.  Kekerasan yang dilakukan anggota Ormas, baik Ormas yang berkarakter etnis maupun agama, merupakan metamorfosis dari fanatisme dan etnosentrisme yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu tindakan destruktif. Paham tersebut muncul lantaran sindrom, terkait eksistensinya yang terancam akibat persaingan dengan kelompok lain.

Adalah realitas jika dalam masyarakat, ada kelompok-kelompok yang mendominasi kekuasaan, yang berupaya mempertahankan kekuasaannya. Sementara kelompok lain yang termarginal, akan terus menebar konfrontasi sebagai bentuk perlawanan dengan tujuan mencapai hak-haknya hingga mencapai tatanan kehidupan sosial yang seimbang. Konfrontasi itu terus dihembuskan untuk memangkas diferensiasi kekuasaan.

Fanatisme dan etnosentrisme yang jika diintrodusir terus-terusan akan mengukuhkan prasangka dan stereotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain. Karakter dan sikap puritan dan konservatif itu menganggap kelompok lain tidak lebih baik dari mereka. Akibatnya, mereka mudah terprovokasi untuk melakukan upaya paksa terhadap kelompok lain agar menerapkan nilai dan norma yang diyakininya. Misalnya, melakukan sweeping dan menebar teror kepada kelompok lain yang berseberangan. Cara-cara kekerasan itu dilakukan lantaran pemerintah dan aparat keamanan tidak segera merespons tuntutan mereka.

Motif politik juga kerap menjadi penyebab kekerasan Ormas. Idealnya, Ormas bergerak di bidang sosial. Nyatanya, banyak Ormas yang terjebak dalam pusaran politik, dengan mendukung salah satu elit atau partai politik tertentu. Lantaran berorientasi kekuasaan, aksi dukung mendukung itu seringkali bermuara pada kekerasan. Ormas juga ditungangi elit untuk mengamankan posisinya ketika dihadapi tekanan dari kelompok-kelompok yang berseberangan dengannya. Fenomena itu menggejala sejak lama.

Keberadaan PP misalnya. Organisasi paramiliter Indonesia itu didirikan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada 28 Oktober 1959. Awalnya, PP didirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). PP didirikan untuk melawan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi sayapnya. Kala itu, PKI merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia. IPKI pun menjadi sayap politik dari para petinggi militer.

Di era Orde Baru (Orba), PP mengorganisir para penganguran dan preman untuk mengamankan kepentingan Presiden Soeharto. Mereka terlibat dalam memblokade demonstrasi massa yang menentang Soeharto. Wajar jika PP mendapat dukungan dari penguasa kala itu. Di tahun 1981, kader-kader PP menunjuk KRMH Japto S Soerjosoermarno sebagai ketua. Japto pun terjun ke dunia politik dengan menjabat Ketua Umum Partai Patriot.

Dalam konteks ekonomi, bentrok antar Ormas juga karena terkait perebutan sumber-sumber ekonomi. Misalnya, perebutan lahan parkir atau jasa keamanan di pasar-pasar atau pusat-pusat hiburan. Massa Ormas saling baku hantam hingga menelan korban jiwa lantaran ingin mempertahankan dan merebutkan sumber-sumber penghasilan.

Di tahun 1990-an, preman asal Timor-Timur, Hercules, pernah menguasai Tanah Abang. Preman yang bernama asli Rozario Marshal itu sangat ditakuti. Namun, pada tahun 1996, kekuasaannya di Tanah Abang jatuh ke tangan kelompok Betawi pimpinan Muhammad Yusuf Muhi atau terkenal Bang Ucu Kambing. Kedua kelompok itu terlibat bentrokan berdarah. Bang Ucu dikenal jawara Betawi yang mengukuhkan kekuasaannya dengan membentuk Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang. Dia juga membuka usaha pengamanan dan pengerahan massa untuk demonstrasi.

Anarkisme Ormas tidak bisa dibiarkan. Namun, upaya melawan Ormas anarkis tidak bisa hanya lewat pendekatan represif. Perlu pendekatan komprehensif, dengan fokus menyelesaikan masalah ketimpangan struktural. Kemiskinan dan pengangguran merupakan pangkal munculnya Ormas anarkis yang didalamnya dihuni orang remaja maupun dewasa yang dihadapi persoalan kemiskinan. Beban hidup yang dialami menyebabkan mereka membenarkan cara-cara brutal.

Ketimpangan struktural yang mengakibatkan marginalisasi menjadi penyebab mereka terisolasi merupakan akar masalah kekerasan kolektif. Letupan-letupan kemarahan yang diwarnai kekerasan perlu dipahami sebagai bentuk protes terhadap ketimpangan distribusi kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Ketika negara lewat instrumen formalnya tidak mampu menuntaskan masalah ketimpangan struktural itu, maka munculah beragam Ormas yang menyuarakan tuntutan mereka yang merasa menjadi korban marginalisasi dan kebijakan diskriminatif. Mereka menyatu dalam sebuah organisasi dengan tujuan menunjukan eksistensinya di tengah kehidupan masyarakat, termasuk dengan cara-cara gagah-gagahan. Artinya, selama ketimpangan struktural masih terjadi, maka kekerasan kolektif akan selalu membayangi kehidupan masyarakat.

Bentrokan antar Ormas, biasanya meletup tatkala keluhan, kerisauan, kritik yang disuarakan salah satu kelompok tidak direspons dengan baik. Mereka melawan tatkala hak-haknya dilabrak dan harga dirinya dilecehkan. Komunikasi antar kelompok yang tidak berjalan dengan baik, menyebabkan munculnya ketegangan yang berpotensi menggiring dua kelompok untuk terlibat konflik.

Dalam kondisi demikian, harusnya, pemerintah dan aparat keamanan, bertindak cepat melakukan mediasi dengan melibatkan aktor-aktor utama di kedua kelompok itu. Mediasi harus mampu melahirkan konsensus bersama, yang harus dihormati dan dilaksanakan bersama-sama. Jika pengelolaan konflik (conflict management) itu dilakukan dengan baik, maka konflik bisa diredam, bahkan dapat mengukuhkan harmonisasi sosial dalam keanekaragaman.

Ormas yang kerap bertindak anarkis memang perlu ditertibkan. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap oknumnya, termasuk mempertimbangkan lagi keberadaan Ormas tersebut jika tidak memberikan manfaat dan mengancam ketertiban masyarakat.

Namun demikian, pemerintah tidak dapat serta merta membubarkan Ormas karena keberadaannya dilindungi konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Pasal 28 UUD 1945 juga menegaskan, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Keterlibatan warga negara untuk berserikat dan berkumpul juga harus dilindungi negara karena bagian dari aktualisasi penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun l999 tentang HAM menegaskan, setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara.

Ketentuan hukum internasional juga menjamin kebebasan berserikat sebagai bagian dari aktualisasi hak sipil dan politik. Kebebasan itu wajib dilindungi negara karena merupakan prinsip demokrasi. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), jaminan hak berserikat dan berkumpul tercantum dalam Pasal 20. Ketentuan itu menegaskan, setiap orang mempunyai hak dan kebebasan berkumpul maupun berserikat, tanpa bisa dilarang oleh siapa pun, termasuk negara.

Meski demikian, UU HAM, Pasal 70 menggarisbawahi setiap orang wajib tunduk dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang memberikan jaminan kepada hak-hak orang lain. Dengan demikian, kebebasan yang dinikmati itu, tidak boleh merugikan orang lain, mempertimbangkan aspek kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Ormas sejatinya dibentuk untuk mencapai tujuan bersama. Untuk mencapai tujuan bersama itu, maka distribusikan wewenang, tanggungjawab, dan tata tertib yang harus ditaati anggotanya. Ormas juga harus diorganisir secara sadar, terencana, dan berkelanjutan untuk mencapai suatu tujuan bersama itu. Ormas dapat menjadi mitra pemerintah dan swasta untuk memobilisasi modal sosial yang sangat penting dalam proses pembangunan.

M. Yamin Panca Setia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1194
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 529
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1623
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1401
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya