Melihat PPP sebagai Partai Transformasi

| dilihat 2443

Catatan Politik Bang Sem

SEJAK jumpa Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan – Romahumuziy di resepsi pernikahan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa waktu lalu, diam-diam saya mengamati perkembangan partai ini.

Ketika jumpa Romahurmuziy (Rommy), saya sedikit protes, karena partai ini, seperti kebanyakan partai lain, tidak menempatkan perempuan sebagai sekretaris jenderal. Belakangan, Rommy dan pimpinan lain di DPP PPP menugaskan Reni Marlinawaty sebagai Ketua Fraksi PPP di DPR RI.

Keputusan itu menarik untuk saya. Karena PPP menunjukkan sikap yang mulai keluar dari bias gender. Paling tidak, menempatkan perempuan sebagai pribadi berdaulat yang sama diberikan potensi alamiah sebagai pemimpin.

Kepada beberapa aktivis perempuan PPP, khususnya Lena  Maryana Mukti, saya kemukakan apresiasi, partai ini bisa terus berkembang dan tumbuh sebagai salah satu wahana strategis umat Islam untuk memainkan peran politis bagi Indonesia yang lebih maju, berkembang, berdaulat, mandiri, dan berperadaban unggul di tahun 2045.

PPP yang pernah dipimpin KH Idham Chalid, Buya Ismail Hassan Meutareum, pada masanya merupakan partai yang sungguh menjadi representasi umat Islam Indonesia. Di dalam PPP berkembang nilai nasionalisme religius, yang memelihara ruh ke-Indonesia-an sejatinya.

Ketika tumbuh dan berkembang sebagai belia dan mulai mendapatkan hak pilih dan menggunakannya, yang ditanamkan kedua orang-tua saya secara hipodermis menjadi mindset, hanya satu satu partai layak pilih, yaitu PPP. Begitu banyak anak muda seperti saya, masa itu, yang memperoleh edukasi politik sama di dalam keluarga.

Belakangan, sejak era reformasi, situasi berubah.  Kondisi dan performa partai-partai politik hasil fusi di jaman kepemimpinan Presiden Soeharto, berubah drastis. Di berbagai daerah, PPP yang semula menjadi pilihan pertama, mengalami degradasi.

Di Ibukota Jakarta, PPP yang pernah menjadi penentu, juga mengalami degradasi. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya degradasi, itu. Salah satunya adalah tergerusnya gairah dan ghirah di dalam PPP sendiri. Termasuk tersendatnya proses kaderisasi. Dan, lemahnya 'antibodi' untuk menghadapi serangan kepentingan luar.

Brand PPP sebagai partai ummat, pun berubah, seiring perubahan grafitasi politik PPP terhadap perubahan yang terjadi di dalam perpolitikan Indonesia. Terutama ketika PPP merekrut sejumlah orang yang, maaf, tidak jelas asal usul ideologi politiknya dan menempatkan mereka (hanya karena kedekatan personal dengan pengambil keputusan partai dan mempunyai dana) menduduki posisi penting di lembaga kenegaraan. Saya sepakat dengan istilah politisi muallaf, seperti yang diistilahkan Sekretaris Jenderal Arsul Sani.

Di berbagai daerah, dalam konteks Pilkada, saya mendapat kesan, PPP memainkan politik pragmatis – transaksional dalam mencalonkan kepala daerah. Kepada sejumlah teman yang aktif di PPP, tak henti saya sampaikan kritik tentang pragmatisme politik itu.

Pergerakan dan pusaran politik yang mengalami anomali, membuat brand PPP juga kehilangan makna. Terutama ketika menggunakan brand sebagai Rumah Besar Umat Islam, namun rapuh ketika diguncang friksi dan konflik internal.

Belakangan hari, dalam kepengurusan yang dipimpin Rommy saya melihat sejumlah kalangan yang secara personal saya kenali betul kualitas dan kapasitasnya. Termasuk profesionalitas mereka dalam mengemban tugas dan fungsinya di berbagai bidang profesi.

Kepengurusan DPP PPP yang dipimpin Rommy, kemudian memasukkan sejumlah nama dari kalangan profesional berprestasi di bidangnya masing-masing, seperti:  Tommy Soetomo,  Rahman Jacob,  Nita Yudi, Okky Asokawati, dan lainnya. Meski masih ada juga mereka yang populer karena isu-isu personal.

Lepas dari itu, ini yang menggembirakan saya. DPP PPP kini dilengkapi dengan Taufikurrahman Ruki – mantan Ketua KPK sebagai Ketua Mahkamah Partai.  Keberadaan Ruki, menandai PPP melakukan pembenahan menyeluruh yang memberikan harapan.

Di sisi lain, saya melihat, kemampuan Rommy memainkan perannya menghimpun dan menggerakkan driving forces partai, mulai dari demokrasi, sistem nilai religi, justice enforcement, sampai finance viability, menunjukkan dirinya sebagai energizer partai modern. Paling tidak dalam memadukan dua sistem korelasi sosial masyarakat Indonesia yang masih terikat clientelisma, mempertemukan polarisasi tradisionalisma dan modernisma politik praktis dalam satu nafas.

Keputusan-keputusan DPP PPP mengusung sejumlah calon kepala daerah di berbagai daerah dari kalangan perempuan dan kalangan lokal yang berdimensi nasional – global, seperti DKI Jakarta, Banten, Bangka Belitung, dan Gorontalo, menunjukkan ketajaman melihat medan kompetisi secara benderang.

Dari aspek branding untuk melihat PPP dalam konteks positioning di tengah perubahan sosial dengan berbagai fakta brutal yang mempengaruhinya, saya melihat PPP ke depan merupakan  Partai Transformasi, dengan sesanti (tagline) bergerak bersama rakyat.

Partai transformer adalah partai politik tempat berhimpunnya para insan kreatif yang melakukan perubahan positif bagi perkembangan bangsanya ke masa depan. Partai yang memainkan peran substantifnya menggerakkan energi positif berbasis keislaman ke dalam pusaran perubahan bangsa, sekaligus mempunyai daya magnitude sebagai wadah strategis bagi insan muda meniti jalan panjang pemeranan dirinya ke masa depan.

Rommy yang berbasis pendidikan teknik, tentu mafhum benar, bagaimana menggerakkan peran utama partai ini untuk mentransfer energi positif itu, termasuk dalam berinteraksi dengan beragam ketegangan (yang disebabkan oleh friksi dan konflik kepentingan) secara tepat, untuk membangkitkan energi baru dan mendistribusikannya secara khas bagi beragam focal concern partai. Mulai dari politik, sosial, dan ekonomi berbasis religi.

Dalam konteks itu, musyawarah kerja nasional (mukernas) PPP yang bakal digelar di awal Muharram, sebagai penanda tibanya tahun baru islam 1438 hijriah, momentum kebangkitan, sebagaimana dirindukan para pemimpin partai ini, sejak dekade 70-an.

Dalam konteks itulah, PPP perlu melakukan perubahan asasi dengan menempatkan diri sebagai partai kader yang siap berinteraksi dengan peta jalan transformasi modal insan (human capital transformation) menuju Indonesia Raya dan Jaya.

Dengan gairah dan ghirah semacam itu, agaknya, PPP bisa memainkan peran dalam banyak hal. Khasnya dalam memperjuangkan aspirasi primer rakyat / umat, terkait dengan penguatan akses terhadap modal, pasar, informasi, dan otoritas politik.

Karena itu, saya berharap, siapapun yang ingin dan menghendaki umat Islam tak lagi menjadi buih di Indonesia, keluar dari kungkungan tempurung kaca, semestinya membangun kembali kesadaran untuk membesarkan partai ini. Tentu sebagai partai politik yang sesuai dengan zaman, sebagai partai transformasi umat Islam. Partai yang menjadi sumberdaya terbarukan bagi bangsanya. Tidak lagi terfirqah-firqah.  |

 

Penulis adalah seorang imagineer. Opini ini merupakan pendapat pribadi.

Editor : sem haesy | Sumber : foto dari berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 735
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 893
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 844
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 237
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 407
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 256
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya