Ketika Jaksa Merangkap Pengacara

| dilihat 1487

AKARPADINEWS.COM | BEGINI jadinya jika jaksa tergiur fulus. Jaksa yang seharusnya menuntut hukuman seadil-adilnya, justru menjadi pembela terdakwa. Penegakan hukum menjadi tumpul. Itulah yang dilakoni Farizal, jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat.

Gara-gara fulus, Farizal yang seharusnya garang dalam menangani perkara, justru karib dengan terdakwa. Kini, Farizal pun menanggung akibatnya. Dia harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Farizal yang menyandang status tersangka pidana korupsi pengurusan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) sebanyak 30 ton, kini merasakan pengapnya penjara.

"Penahanan tersangka selama 20 hari pertama di rumah tahanan kelas I Jakarta Timur, yang berada di Detasemen Polisi Militer Guntur," kata Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati, di Jakarta, Senin (26/9). Dalam perkara itu, Farizal diduga menyalahgunakan kewenangannya.

Dia bukannya menjadi penuntut, malah menjadi pembela terdakwa, Xaveriandy Susanto. Senin (26/9), Farizal membisu usai keluar dari gedung KPK dengan mengenakan rompi tahanan KPK sekitar pukul 16.10 WIB. Xaveriandy diketahui pemain gula. April 2016 lalu, dia mendistribusikan 30 ton gula. Tumpukan gula ilegal itu disimpannya di sebuah gudang di Kilometer 22 Jalan By Pass, Kota Tangah, Kota Padang, sekitar April 2016 lalu.

Di gudang itu, tumpukan gula di dalam karung besar, dikemas dalam plastik berukuran satu kilogram untuk dipasarkan. Lantaran gula yang diedarkan di pasar tidak mengantongi SNI, polisi pun melakukan penyelidikan. Xaveriandy sebagai pemilik gula itu lalu diperkarakan. Kasus itu kemudian dilimpahkan ke kejaksaan untuk diadili di persidangan.

Xaveriandy dijerat pasal 113 UU No 7 Tahun 2014 tentang perdagangan. Dia terancam pidana lima tahun penjara dan maksimal Rp5 miliar. Xavenriandy juga melanggar Peraturan Menteri Pertanian Nomor 68 tahun 2013 tentang Pemberlakuan SNI Gula Kristal Putih Secara Wajib.

Xaveriandy yang akrab disapa Tanto itu tentu membantah telah memasarkan gula ilegal. Dia mengklaim, gula-gula yang dikelola CV Rimbun Padi Berjaya yang dipimpinnya atas permintaan Kementerian Perindustrian dangan tujuan menjaga stabilitas harga gula.

Sementara soal tidak adanya label SNI, Tanto berdalih tidak mengetahui aturan tentang gula kemasan. Dia menganggap, sosialisasi baru dilakukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Barat pada 12-13 April 2016.

Selama proses persidangan, Farizal diduga main mata dengan Xaveriandy. Indikasinya terlihat saat Farizal berharap agar Xaveriandy tidak ditahan penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat. Dia ingin Xaveriandy menjadi tahanan kota saat ditangani oleh Kejati Sumatera Barat.

Lantaran rekomendasi itu, Xaveriandy pun tidak merasakan pengapnya ruang jeruji besi. Bahkan, meski berstatus sebagai tahanan kota, dia bisa bertandang ke Jakarta tanpa harus izin. Rupanya, dia ke ibukota untuk menemui Irman Gusman, yang telah diberhentikan sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Irman pun kini mendekam di tahanan KPK lantaran diduga menerima suap senilai Rp100 juta dari Xaveriandy dan isterinya, Memi. Uang itu diduga terkait penetapan kuota impor gula. Xaveriandy, Memi, dan Irman ditangkap pada Minggu dini hari (18/9). Sementara soal keterkaitan antara Irman dengan Farizal, belum diketahui.

Xaveriandy dan Memi, dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a, atau Pasal 5 ayat 1 huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi, junto pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara Irman, dijerat Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001.

Dalam kasus ini, Xaveriandy diketahui menjabat Direktur Utama CV Semesta Berjaya. Perusahaan itu mendapatkan izin dari Badan Logistik (Bulog) melakukan impor gula tahun 2016 untuk wilayah Sumatera Barat.

******

Jaksa Agung HM Prasetyo prihatin jika anak buahnya menjadi pengacara terdakwa kasus gula ilegal, tanpa SNI. "Terkait OTT yang dilakukan KPK, ada jaksa yang memposisikan dirinya sebagai pengacara tersangka yang tersangkut masalah hukum," ucap dia.

Karenanya, Prasetyo memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) untuk memeriksa Farizal. Hasilnya, ada indikasi yang sejalan dengan hasil penyelidikan KPK. "Setelah itu kita yang mengantarkan sendiri Farizal ke KPK untuk melanjutkan proses hukum. Itu menjadi bukti kejaksaan tidak akan menutupi," jelas Prasetyo.

Meski diduga bermasalah, Prasetyo menyatakan, pihaknya akan menyiapkan tim advokasi untuk Farizal. Menurut dia, bantuan hukum adalah kewajiban institusi yang dipimpinnya kepada setiap anggotanya.

Meski demikian, dia memastikan, tim yang mengadvokasi Farizal, tidak berarti mengarahkan yang hitam menjadi putih. "Yang hitam ya hitamlah tapi paling tidak soal hak sudah terpenuhi," katanya seraya mengingatkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) kepada setiap tersangka. Asas itu biasa diklaim dengan alasan menghormati hak asasi manusia (HAM).

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, M Rum mengatakan, Farizal tidak pernah mengikuti sidang. Namun, dia menerima uang Rp60 juta dari Xaveriandy yang diterima sebanyak empat kali. "Farizal juga membantu terdakwa membuat eksepsi," ucap Rum.

Sementara dari hasil penyelidikan KPK, Farizal diduga menerima suap Rp365 juta dari Xaveriandy. Uang itu diterimanya sebanyak empat kali setelah Farizal melakoni peran layaknya penasihat hukum, termasuk mengatur saksi yang menguntungkan Xaveriandy.

*****

Bukan kali pertama kelakuan jaksa nakal dibongkar KPK. Kejaksaan Agung pernah seperti disamber gledek di siang bolong tatkala KPK berhasil menangkap jaksa Urip Tri Gunawan. Urip divonis hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Urip terbukti menerima suap US$660 ribu atau lebih dari Rp6 miliar dari Artalyta. Dia juga memeras mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Yusuf Rp1 miliar.

Sebelum terbongkar motif jahatnya, Urip dipercaya menjadi Ketua Tim jaksa penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) II. Namun, kegarangan Urip tumpul setelah menerima suap dari pengusaha wanita yang memainkan peran makelar kasus, Artalita Suryani. Uang itu menjadi "pelumas" negosiasi penghentian pengusutan kasus korupsi BLBI yang menjerat Syamsul Nursalim, yang hingga kini masih buron.

Sehari sebelum kasus itu terungkap, kecurigaan sempat muncul dengan terbitnya SP3 terhadap Syamsul Nursalim.  Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) kala itu, Kemas Yahya Rahman mengaku, SP3 itu diterbitkan karena tidak ditemukan adanya perbuatan melawan hukum yang mengarah ke tindak pidana korupsi.

Terbitnya SP3 rupanya menjadi modus oknum kejaksaan agar kecipratan uang korupsi BLBI. Padahal sebelumnya, Jaksa Agung kala itu, Hendarman Supandji mengaku telah mewanti-wanti 35 jaksa untuk mengusut secara serius kasus BLBI.

Tapi apa lacur? Anak buahnya memanfaatkan kepercayaan itu untuk mendapatkan uang. Sayang, kasus itu tidak diusut serius. Padahal, sejumlah bukti menohok pada dugaan yang mengarah ke beberapa petinggi kejaksaaan, di antaranya Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan Pidana Khusus (Dirdiksus) M. Salim, diperiksa.

Keduanya diduga terlibat kongkalikong dengan Artalita Suryani alias Ayin. Bukti rekaman pembicaraan Urip dan Ayin menyebut keikutsertaan Kemas dan Salim dalam mengamankan kasus Sjamsul Nursalim. Ayin dan Kemas juga diketahui melakukan pembicaraan setelah pengumuman penghentian penyelidikan BLBI. Kemas menelepon Ayin untuk memberitahukan, tugasnya sudah selesai.

Membongkar kasus korupsi memang bukan perkara ringan. Menjerat koruptor, apalagi yang nilainya fantastis, nyaris mustahil tercapai. Dalam pengusutan kasus BLBI misalnya, dari 6000-an jaksa, yang terpilih hanya 35 jaksa. Sebagai jaksa pilihan, mereka tentu tidak hanya menguasai hukum. Tetapi juga garang terhadap para garong. Namun, fakta menunjukan, mereka justru bertekuk lutut begitu mencium bau fulus.

******

Supremasi hukum agaknya hanya manis terdengar, namun tidak diwujudkan dalam kenyataan jika aparat penegak hukum tidak memiliki integritas dan moralitas yang baik. Sementara jaksa sebagai sebagai salah satu penegak hukum, mempunyai peran sentral. Jaksa merupakan aktor penentu bersalah atau tidaknya seorang terdakwa korupsi, meski keputusan akhir merupakan kewenangan hakim di pengadilan.

Dalam memutus perkara, hakim tentu tidak bisa hanya mengandalkan logikanya sendiri, tanpa mempertimbangkan fakta yang didakwakan jaksa kepada terdakwa korupsi. Dalam upaya memberantas korupsi, jaksa berwenang melakukan penyidikan seperti diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Karena memainkan peran penting, jaksa amat diharap dapat berkerja dengan baik. Untuk itu, pengawasan internal harus berjalan maksimal guna memastikan kinerja jaksa tidak keluar dari etika profesinya. Kejaksaan Agung tidak perlu melindungi jaksa nakal demi menjaga citra korps. Penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oknum jaksa akan makin menjadi-jadi jika tidak ada sanksi tegas.

Seringkalinya terbongkar penyalahgunaan kewenangan oleh jaksa, maka reformasi di kejaksaan perlu terus dilanjutkan. Reformasi kejaksaan tidak cukup hanya mengganti pejabat struktural. Namun, perlu segera dilakukan perombakan struktur dan mekanisme pengawasan. Oknum yang menyalahgunakan kewenangan harus diberikan sanksi yang bisa memunculkan efek jera.

Perlu juga dilakukan audit kinerja setiap penanganan kasus yang diduga dikapitalisasikan para jaksa nakal. Praktik suap yang menyeret jaksa juga membuktikan pembinaan dan pengawasan internal sangat lemah.

Sudah menjadi gunjingan publik jika aparat penegak hukum doyan menerima suap. Mereka menghianati hati nuraninya demi sekoci. Mereka menjualbelikan pasal, dan menyusun materi dakwaan yang sesuai dengan pesanan koruptor sehingga sang hakim pun meringankan hukumannya.

Bagi koruptor kelas kakap, menyuap miliaran rupiah tidak jadi masalah. Mereka juga sanggup menggelontorkan banyak uang untuk membayar para pengacara mahal yang piawai mencari celah hukum untuk meringankan dirinya.

Aparat hukum di negara ini harus bertaji, garang, dan tanpa pandang bulu memberantas korupsi. Diperlukan pula keberanian melakukan terobosan hukum agar dapat memiskinkan koruptor, memperberat hukuman para koruptor, misalnya minimal hukuman 10 tahun, maksimal hukuman seumur hidup, atau diasingkan ke tempat yang terisolasi dan pencabutan hak berpolitik.

Jika aparat hukum tidak lagi bisa menjadi solusi dalam menjawab keadilan masyarakat, maka memunculkan pesimisme, bahkan sinisme publik. Jika kondisi demikian, maka hukum progresif dalam menangkal korupsi perlu didorong pelaksanaannya. Memberantas korupsi tidak bisa dengan cara-cara konvensional atau hanya berkutat pada aturan prosedural dan doktrin hukum saja.

Pemikiran Satijpto Rahardjo (2010) tentang hukum progresif dapat menjadi rujukan. Menurut dia, hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dari kerangkeng hukum. Aparat hukum dituntut berani keluar dari faham status quo yang menghambat proses hukum. Dalam konteks ini, diperlukan aparat hukum yang memiliki mental, sikap, perilaku antikorupsi, dan keberanian untuk menggasak siapa saja yang korupsi.

Pada dasarnya, hukum merupakan instrumen tertib sosial yang dinamis. Hukum sangat dibutuhkan dalam menciptakan kondisi normal. Namun, jangan pula hukum justru membelengu penegakan hukum. Menurut Rahardjo, hukum pada dasarnya dibuat dan bekerja berdasarkan asumsi bahwa yang dihadapi adalah keadaan normal.

Aparat hukum tidak hanya berperan sebagai pekerja yang melakukan rule making (membuat dan menjalankan hukum), tetapi melakukan rule breaking (terobosan), dengan membuat peraturan, doktrin, dan lain-lain yang dibuatnya sendiri, dan diyakini benar demi kepentingan bersama yang jauh lebih besar manfaatnya. Penegakan hukum yang selama ini linier, terlalu mengacu pada prosedur dan UU, pada akhirnya menjadi aparat penegak hukum seperti robot.

*****

Para jaksa perlu meneladani Baharuddin Lopa. Jika dia masih hidup, mungkin akan sedih saat mengetahui laku oknum kejaksaan yang mudah tergiur fulus. Mantan Jaksa Agung itu pastinya tidak akan menolerir anak buahnya mengkapitalisasikan kewenangannya.

Lopa hanya menjabat sebagai Jaksa Agung selama 1,5 tahun. Namun, dia mewarisi keteladanan. Sosoknya dikenang berintegritas dalam menegakan hukum. Lelaki kelahiran Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935 itu juga dikenang sebagai Jaksa Agung yang ditakuti para koruptor. Sosok jaksa yang lurus itu menolak memperdagangkan pengaruh dari jabatan yang diembannya.

Saat baru menjabat Jaksa Agung, 6 Juni 2001, Lopa langsung memburu koruptor kelas kakap yang kabur ke luar negeri seperti Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu. Lopa juga mencekal Marimutu Sinivasan. Bob Hasan, bekas pejabat Orde Baru yang dikenal sebagai “Raja Hutan” pun dijebloskannya ke penjara Nusakambangan.

Gaya hidupnya pun sederhana. Jusuf Kalla yang kini menjabat Wakil Presiden, pernah mengisahkan kesederhanaan Lopa. Saat masih menjadi pengusaha pemegang agen tunggal Toyota di kawasan Indonesia timur, Lopa yang kala itu menjabat Dirjen Lembaga Pemasyarakatan, pernah memesan mobil kepadanya.

Kalla mengira, mobil yang diinginkan Lopa itu sedan mewah. Lalu, ditawarkanlah Toyota Crown yang kala itu seharga Rp100 juta. Namun, Lopa menolak. Bahkan, saat ditawari Cressida seharga Rp60 juta, Lopa anggap kemahalan. Kalla lalu menyodorkan Corona seharga Rp30 juta dan tidak untuk dijual, tetapi diberikan kepada Lopa. Tapi, Lopa menolaknya. Lopa minta harga umum, dengan pembayaran dicicil selama tiga tahun empat bulan.

Soal suap dan korupsi, Lopa tidak kompromi. Saat menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Selatan, dia menyeret pengusaha bernama Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke penjara karena korupsi dana reboisasi senilai Rp7 miliar. Sebelumnya, Tony tidak tersentuh hukum. Meski majelis hakim yang diketuai J Serang membebaskan Tony, Lopa tak mau kalah. Dia melakukan penyelidikan dan membuktikan ada uang mengalir ke kantong hakim dari Tony. Dan, Lopa berhasil memenjarakan Tony.

Barlop, demikian sapaan Lopa, dianugerahi penghargaan. Namanya diabadikan di salah satu ruangan di Gedung Kejaksaaan Agung. Salah satu ruangan di Kejaksaan Agung, Sasana Cipta Kertha, resmi diganti menjadi Sasana Baharuddin Lopa, pada tanggal 22 Juli 2001 lalu. Bisa dibayangkan jika Lopa saat ini masih hidup mengetahui laku busuk oknum jaksa.

Teladan yang diajarkan Lopa nyatanya belum banyak dilakoni para pengacara negara. Sudah sering polah jaksa-jaksa nakal terongkar. Mereka yang seharusnya menjadi penegak keadilan, justru masuk dalam pusaran kejahatan. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara/Berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 822
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1088
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1341
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1481
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya