Kemenangan Pilkada Bergantung Integritas Figur dan Jaringan Cerdas

| dilihat 2031

Catatan Bang Sem

MENCERMATI dinamika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 kadang bikin kita geli sendiri.

Dengan beragam alasan, masing-masing petinggi partai mengemukakan argumen atas tindakannya masing-masing. Termasuk beragam alasan mengapa bersikap méncla-ménclé. Termasuk dramatisasi harubiru yang anti klimaks.

Istilah-istilah yang dipakai para petinggi partai juga lucu-lucu. Ada yang rasional dan ada pula yang tak rasional.

Dari pernyataan-pernyataan itu, sebagai rakyat, kita paham, bahwa sesungguhnya yang paling utama di benak mereka adalah kekuasaan dan alasan memperoleh kekuasaan.

Kendati demikian, kita juga beroleh pelajaran berharga, bagaimana bersikap cerdas, kritis, dan logis dalam memilih pasangan yang diusung partai untuk memenangkan Pilkada di berbagai daerah itu. Baik untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

Kita dapat melihat dengan mata telanjang, siapa sungguh kandidat yang mempunyai integritas dan tidak, mana pula yang mempunyai akhlak politik dan tidak. Bahkan kita juga beroleh kesempatan untuk melihat, mana kandidat yang sungguh akan berjuang bersama rakyat, dan mana pula yang hanya akan mendulang kuasa, lantas kelak mengabaikan tugas utamanya melayani rakyat.

Akankah Pilkada serentak 2018 akan terimbas oleh apa yang pernah terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta yang lalu? Bisa saja terjadi, bila para petinggi partai tak mampu mengendalikan birahi kekuasaan, lantas bersikap jumawa, seolah-olah partainya yang paling kokoh dan kuat untuk memenangkan hati rakyat.

Pilkada DKI Jakarta telah meninggalkan pelajaran banyak pelajaran berharga kepada kita. Terutama, bangkitnya gerakan politik ekspressif (pinjam istilah Fachry Ali) dari masyarakat, konstituen yang memberi kontribusi terhadap kekalahan atau kemenangan kandidat.

Dalam situasi yang semacam itu, figur menjadi penting, dan kemenangan tidak hanya bergantung pada kinerja mesin partai.

Pilkada DKI Jakarta membuktikan kepada kita, bahwa figur yang dipandang dapat menjadi saluran utama politik ekspressif massa, dengan sendirinya akan beroleh peluang kemenangan yang besar. Terutama, ketika janji-janji politik yang disampaikan selama kampanye, selaras dan seirama dengan aspirasi konstituen.

Apa yang terjadi di Jawa Timur dan Kalimantan Timur dalam proses Pilkada Serentak 2018 memberi gambaran kongkret, betapa masih akan berlangsung laku politik buruk. Wujudnya: black campaign dan (boleh diduga) kriminalisasi (paling tidak seperti itu presumsi yang berkembang).

Di tengah anomali iklim politik yang tak mudah dibaca dengan akalbudi, ditambah dengan praktik politik transaksional, dan bermainnya kelompok invisible hand yang sarat kepentingan bisnis di berbagai wilayah, sebagai konstituen, rakyat harus terus harus dipelihara dan ditingkatkan kecerdasannya.

Dalam konteks itulah, pendidikan politik rakyat menjadi penting. Ironisnya, hal penting inilah yang diabaikan oleh sebagian besar partai politik selama ini.

Dari aspek komunikasi politik para petinggi partai, konsultan politik, dan relawan juga harus pandai menggagas pola dan model komunikasi yang paling efektif, efisien, dan tepat untuk berkontribusi memenangkan para kandidat jagoannya.

Pola dan model komunikasi dalam Pilkada DKI Jakarta, tak sepenuhnya dapat dijadikan model. Baik karena karakteristik wilayah dan daerah yang berbeda. Juga karakteristik masyarakatnya yang juga berbeda. Bahkan dalam banyak hal, perbedaannya sangat diametral.

Sebagian rakyat, konstituen, sudah tahu, siapa kandidat yang menurut mereka paling dapat dipercaya. Terutama karena integritas pribadinya, kekaribannya yang telah terbangun dengan rakyat di seluruh lapisan, dan karena rekam jejaknya.

Dalam konteks itu, keterpengaruhan konstituen dalam memilih di tempat pemungutan suara, tak hanya bergantung pada patron dan community leaders belaka. Melainkan, sangat ditentukan oleh bagaimana kemampuan jaringan (candidate network) yang dimiliki para kandidat.

Sepanjang partai politik pengusung dan pendukung pasangan calon tidak mau dan tidak mampu melakukan perubahan minda (cara berfikir, bersikap, dan bertindak), dan tak mampu menghadirkan penghormatan terhadap konstituen, yakinlah mereka hanya akan berhenti sebagai pecundang.

Setarikan nafas, konstituen tak cukup hanya diberi kesan (impresi) pada keberanian berkompetisi dalam kontestasi politik, karena para kandidat juga harus mau dan mampu menunjukkan siapa sungguh dirinya, dan seberapa teruji dalam mewujudkan apa yang mereka katakan.

Bersamaan dengan bergeraknya jaringan relawan untuk pemenangan para kandidat selaku kontestan, juga harus diperkuat jaringan relawan penyadaran rakyat (jaringan cerdas), supaya rakyat tak mudah terbujuk-rayu begitu saja selama kampanye berlangsung.

Uang, sembako, dan instrumen lain yang biasa digunakan untuk memenangkan kontestasi, seperti dalam proses Pilkada sebelum-sebelumnya, bukan lagi senjata ampuh untuk memenangkan pertarungan. | 

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 712
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 869
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 820
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya