Keluarga Malaysia

| dilihat 734

N. Syamsuddin Ch. Haésy

Jalan budaya adalah jalan terbaik solusi mengatasi masalah kebangsaan, ketika politik perkauman telah berjarak dengan realitas zaman, dan terbukti hanya menimbulkan perpecahan. Sekaligus pertikaian tak berkesudahan.

Dalam ucapan resmi mengawali langkahnya berkhidmat (Ahad, 22 Agustus 2021), Perdana Menteri ke Sembilan, Dato' Seri Ismail bin Yaakob menawarkan jalan budaya untuk melakukan pemulihan negara.

Ia menggunakan terminologi yang menarik untuk disimak, dikaji dan dikembangkan dalam melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi kebangsaan, yakni Keluarga Malaysia.

Dalam konteks Keluarga Malaysia, Ismail Sabri membuka ruang partisipasi bagi pembangkang untuk berperan dan berfungsi secara proporsional dalam Majelis Pemulihan Negara yang relevan dan kontekstual dan fungsi - peran politiknya di parlemen untuk mewujudkan prinsip-prinsip 'semak dan imbang' (check and blances).

Dalam satu tarikan nafas, juga membuka ruang bagi generasi baru (kaum muda) untuk ambil bagian - sebagai partisipan aktif dan korektif - dengan kompetensi keilmuan dan kepakarannya dalam seluruh proses perkhidmatan kepada rakyat dan negara.

Keluarga Malaysia adalah jalan budaya melakukan perubahan dramatik (transformasi) yang kebaikannya dapat dirasakan lebih cepat, daripada perubahan reformatif yang sangat melelahkan dan cenderung berubah menjadi deformatif (perubahan yang cacat), karena harus menata seluruh sistem tata kelola (governance).

Jalan budaya 'Keluarga Malaysia' juga menarik dan tepat waktu, ketika semua kalangan (anasir) -- politisi, profesional, akademisi -- bersungguh-sungguh ingin menempa diri menjadi negarawan. Berfikir, bersikap, dan bertindak untuk bangsa, dengan mendahulukan rakyat.

Kita dapat memahami argumen yang dikemukakan PM Ismail Sabri, bahwa sejak Pilihan Raya Umum (PRU) ke 14 - 9 Mei 2018, Pelantikan PM ke 8 (29 Februari 2020), dan Pelantikan PM ke 9 (Sabtu, 21 Agustus 2021) dimensi yang hilang dari percaturan politik Malaysia di tengah coronastrophe (corona catastrophe) adalah dimensi budaya.

Sepanjang masa itu, politisi cenderung menampakkan sosok dirinya sebagai pemburu kuasa yang berlomba-lomba meraih dan merebut kekuasaan.

Akibatnya, budaya berselisih paham berubah menjadi budaya bertikai. Budaya debat dengan harmoni nalar, naluri, nurani, rasa, dria (think, instink, conscience, sense, feel) berubah menjadi sentak sengor (telagah), seperti terlihat dalam sidang-sidang parlemen yang ditonton rakyat melalui media.

Jalan keluarga yang mendahulukan musyawarah dan mengutamakan mufakat, terabaikan.

Isyarat dan langkah kebijakan (policy action) Yang Dipertuan Agong ()YDPA), Sultan Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah ibni Almarhum Sultan Haji Ahmad Shah Al-Musta'in Billah dan Raja-Raja Melayu, sesuai prinsip 'bil hikmah wal mauidzaatil hasanah,' tak terpahami dengan baik.

Bahkan isyarat Timbalan YDPA, Sultan Dr. Nazrin Wahteik Chan Muizuddin Shah ibni Al-Marhum Sultan Azlan Muhibbuddin Shah Al-Maghfullah, ketika melantik Menteri Besar Perak (10.12.20) terkesan tak didengar oleh politisi di peringkat nasional.

Ketika itu, Sultan Nazrin Muizzuddin Shah mengingatkan, siapa saja yang diberi kuasa (oleh rakyat), termasuk anggota Dewan Rakyat untuk tidak leka dalam menjalankan amanah, perlu cekal menegakkan yang makruf dan tegas menentang yang mungkar.

Bahkan, dengan bahasa terang, Sultan Nasrin mengatakan, “Kekuatannya, perlindungan ke atas dirinya dan benteng ketahanan kepada dirinya datang daripada Ilahi. Dia tidak perlu menawarkan sogokan atau imbuhan untuk mendapat sokongan yang belum terjamin berkembar dengan kesetiaan; begitu juga, dia tidak perlu melakukan ugutan atau ancaman untuk membina kekuatan diri, kerana kekuatan yang diperoleh secara demikian, teramat rapuh sifatnya.”

Situasi Malaysia sepanjang masa, dari perspektif A. Green (1993), mengalami distorsi, sehingga menampakkan krisis ideologi, kebangkrutan nilai-nilai tradisi, mengabaikan prinsip-prinsip etika, atau decivilization, akibat dari postmodernisme yang tak dibaca secara betul.

Malaysia sebagai suatu keluarga bangsa, seperti adegan-adegan dalam film Lucretia Martel, yang menjerumuskan kita ke dalam iklim keluarga yang membingungkan, dalam suasana kelesuan yang menyesakkan (Sommantico, 2010).

Suatu keluarga besar yang beramai-ramai berjalan di atas paya dan tanah gambut, terperangkap dalam genangan air dan lumpur, yang kian diinjak kian menjerumuskan. Wawasan 2020 yang seharusnya menjadi parameter pencapian, seketika berubah menjadi fantacy trap, hanya karena diterpa ribut wabah yang sangat berdampak bagi kesehatan, sosial dan ekonomi.

Selama masa itu (9 Mei 2018 - 20 Agustus 2021) kehidupan masyarakat, negara dan bangsa seakan-akan melintasi perjalanan masa yang tidak bergerak, tanpa jalan keluar. Telingkah dan telagah menekan rakyat menjadi boring dan rungsing.

Nasihat Sultan Abdullah dan Sultan Nazrin, kepada para pemimpin dan wakil pemimpin partai utama Malaysia (17.08.21) menjadi titik cahaya, ketika mengingatkan tentang perpaduan proporsional sesuai dengan prinsip 'Raja berperlembagaan, Demokrasi berparlimen.'

Raja menegaskan kembali posisinya sebagai ayah dalam keluarga, merespon baik pemikiran Tun Mahathir sebagaimana terekspresikan dalam sikap Partai Pejuang tentang Majelis Pemulihan Negara; pula merespon baik sikap dan pandangan Tan Sri Muhyiddin dalam kenyataan Partai Perikatan Nasional ihwal politik 'tiada dendam,' tentang syarat dukungan kepada Ismail Sabri. Tak terkecuali pandangan Panglima Shafie Apdal dari Partai Wawasan.

Sikap Pakatan Harapan yang dikemukakan Dato' Seri Anwar Ibrahim (Ketua Pembangkang) kepada media, selepas bersama-sama dengan pemimpin partai lain, juga melegakan, meski harus disimak lebih jauh pada persidangan parlemen kelak.

Bila seluruh komponen dan eksponen, khasnya di Dewan Rakyat  konsisten dengan apa yang disampaikan para pemimpin partai politik, termasuk Dato' Seri Abdul Hadi Awang, serta ditampakkan oleh sikap dan aksi Tan Sri Annuar Musa, Dato' Seri Hishamuddin Hussein, Dato' Seri Mukhriz Mahathior, Khairy Jamaluddin, Nurul Izzah Anwar -- sepanjang yang saya simak melalui You Tube dan Instagram -- insyaAllah, jalan budaya melalui terminologi Keluarga Malaysia akan menjadi solusi. Seminimalnya untuk menentukan fokus pemulihan negara. 

Terutama, karena YDPA Sultan Abdullah masih memainkan peran sebagai, sesuai otoritasnya yang diatur oleh konstitusi.

Peran ayah di atas pluralisme dan multikulturalisme, sekaligus menegaskan dalam realitas sosial, bahwa Melayu dan Islam tidak bermusuhan dengan etnis, dan pengnut agama lain. Melayu dan Islam memusuhi ketidak-adilan, kemiskinan, kebodohan, kemalasan, dan keserakahan (termasuk keserakahan poltik). Di dalam Islam, jihad terbesar adalah memerangi diri sendiri.

 Jalan budaya Keluarga Malaysia, bila dilaksanakan secara bersungguh-sungguh -- sekurang-kurangnya sampai Pilihan Raya Umum ke 15, dengan perspektif baru gerakan politik untuk mewujudkan cogan negara, "Bersekutu Bertambah Mutu" -- merupakan jalan terbaik. Tentu memperhatikan secara bersungguh-sungguh Perjanjian 20 Perkara yang menjadi Akta Malaysia pada 26 Agustus 1963 dan diundangkan pada 16 September 1963, yang memberikan pengecualian bagi Sabah dan Sarawak sebagai negara bagian dengan otonomi khas. (baca, Karim Labai: Reorientasi Politik Bangsa Melayu Bukan Rasialisme )

Saya sepaham dengan pandangan Labai, bahwa kini dan mendatang, ketika manusia menghadapi singularitas, transhumanisme, kemiskinan, ancaman lingkungan, perubahan gaya hidup, demokratisasi, penguasaan bandwidths -- yang memungkinkan dunia tanpa batas wilayah kekuasaan negara --, proxywar, serta cabaran (tantangan) melaksanakan pembangunan berkelanjutan (SDG's), memang seharusnya ada perubahan orientasi politik bangsa Melayu.

Perubahan itu mengacu pada preposisi paradigmatik, dari politic centric menjadi people centric. Kenali dan pahami lagi secara jernih dan fokus, siapa sungguh rakyat Malaysia. Apa aspirasi (termasuk need, want dan interest) rakyat. Seluruh plan dan program aksi pemerintah ditujukan untuk memenuhi hal itu, sehingga rakyat akan puas dan akan loyal kepada siapa saja yang memperjuangkan nasib mereka.

PRU ke 15 akan membuktikan, seberapa besar kepuasaan rakyat dan bagaimana pertumbuhan serta keberlanjutan (sustainability) pemerintahan akan berlangsung. Tabek kepada Sultan Abdullah, Sultan Nazrin, PM Ismail Sabri dan seluruh pemimpin Malaysia. Selamat berkhidmat, termasuk menjadikan parlemen sebagai rumah musyawarah untuk mencapai mufakat dan muzakarah untuk menghormati perbedaan.

Selamat menyambut Hari Merdeka Malaysia, 31 Agustus 2021. Syabas ! |

 

Pemerhati Malaysia

Editor : eCatri | Sumber : berbagai sumber
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 422
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 994
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 230
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 706
Momentum Cinta
Selanjutnya
Energi & Tambang