Kegaduhan di Tahun Politik

| dilihat 2242

TENSI politik di tahun 2018 diperkirakan bakal memanas. Selain digelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di sejumlah daerah, panggung politik tahun depan akan riuh dengan manuver politik terkait kontestasi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Kondisi itu sulit dihindari karena suksesi melibatkan banyak kepentingan, baik politik, ekonomi, maupun ideologi. 

Jelang tahun politik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mewanti-wanti jajaran Kabinet Kerja untuk fokus bekerja. Presiden mengingatkan para menteri tidak membuat kebijakan yang belum dikonsultasikan kepada publik dan tidak berdasarkan kajian yang mendalam karena dapat memicu reaksi masyarakat. Seruan itu memang harus terus didengungkan. Karena, tak menutup kemungkinan, kegaduhan justru bersumber dari internal pemerintahan.

Ingat perseteruan antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa (Kemendesa), yang dipimpin menteri dari partai yang berbeda. Masing-masing kementerian berebut kuasa dalam pelaksanaan program yang diamanatkan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. Kemendesa mengklaim paling berhak mengelola program sesuai mandat UU Desa. Begitu juga Kemendagri yang merasa berhak mengelola dana desa lewat Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD).

Konflik itu memaksa Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2015 tentang struktur Kementerian Desa. Akhirnya, Ditjen PMD melebur ke struktur Kemendesa. Rebutan kuasa pengelolaan dana desa itu tidak terlepas dari motif politik. Program pembangunan desa menjadi incaran partai politik karena memudahkan untuk melakukan penetrasi dan memobilisasi dukungan dari masyarakat desa.

Sebelumnya, masuknya menteri baru sempat memunculkan kegaduhan di internal pemerintahan. Selang beberapa hari dilantik Presiden, Rizal Ramli, Menteri Koordinator Maritim dan Sumberdaya, mengkritik kebijakan tentang 32.000 MW listrik yang menurutnya tak masuk akal. Dia juga mengkritik tentang pembelian pesawat Airbus 350 oleh Garuda untuk melayani rute Eropa tak lagi menarik. Pernyataan Rizal Ramli itu membuat berang Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soewandi.

Kalla memperingatkan Rizal Ramli tidak sembarang berbicara. Namun, Rizal Ramli justru menantang JK berdebat di depan publik. Kritik Rizal Ramli pun memancing sorotan publik. Pasalnya, pembangunan pembangkit listrik 32.000 MW itu bergeser menjadi isu konflik kepentingan kelompok tertentu. Kisruh di internal kabinet pun memaksa Jokowi turun tangan. Jangan sampai, para pembantunya hanya ribut, daripada melaksanakan tugasnya sebagai pembantu presiden.

Selain itu, tidak ada jaminan, koalisi yang digalang Jokowi, terbebas dari perseteruan. Apalagi, dalam situasi tertentu, khususnya terkait isu-isu strategis, mitra koalisi bakal melakoni peran layaknya oposisi. Sementara di sisi lain, mereka ingin terus berada dalam lingkaran kekuasaan agar dapat memanfaatkan program-program pemerintah untuk kepentingan politik.

Bergabungnya Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) ke gerbong pemerintah, lebih didasari kekuasaan, bahkan karena keterpaksaan. Mungkin, lantaran khawatir tensi politik yang memanas, Jokowi pun menggelar pertemuan dengan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Minggu (22/10), Jokowi bertemu dengan Megawati di Istana Batu Tulis, Bogor. Meski berlangsung santai, diselingi ketawa-ketiwi, sambil menyantap makanan racikan Megawati, pertemuan mendadak selama tiga jam itu, memunculkan persepsi publik.

Secara politik, pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu dipahami sebagai bagian dari konsolidasi. Jokowi dan Megawati tentu mencermati manuver politik kubu lawan yang bakal kian intensif menghantam kekuasaan.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, tak menjelaskan substansi yang dibahas dalam pertemuan itu. Namun, Hasto yang menyaksikan pertemuan itu menilai, keduanya terlihat serius saat membahas kepentingan bangsa. Dia menambahkan, secara berkala, Megawati dan Jokowi mengadakan pertemuan yang tentunya juga membahas dinamika politik nasional. Itu dilakukan sejak Jokowi masih menjabat Walikota Solo.

Jokowi dan Megawati sangat dekat. Keduanya sering memperlihatkan keakraban di hadapan publik. Meski menjabat presiden, bagaimana pun Jokowi adalah kader partai besutan Megawati. Karena restu sang ketua umum, Jokowi yang oleh Megawati dijuluki, "Si kerempeng bertenaga banteng" berhasil menjadi orang nomor satu di negara ini.

Sementara bagi Megawati, rekam jejak Jokowi selama menahkodai republik ini, menjadi pertaruhan politik, termasuk bagi partai yang dipimpinnya. Sukses atau tidaknya Jokowi sebagai presiden, akan berpengaruh terhadap dukungan bagi PDIP pada Pemilu 2019. Apalagi, nama Jokowi digadang-gadang bakal berlaga kembali di ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Belum terdengar kader lain dari PDIP yang namanya disebut-sebut layak bertarung di ajang suksesi.

Jokowi tentu sangat berkepentingan menciptakan stabilitas politik karena akan berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan yang dipimpinnya. Dalam konteks elektoral, rekam jejaknya dalam memimpin pemerintahan, menjadi referensi bagi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Jokowi tak ingin, terhambatnya kinerja pemerintahan, menurunkan elektabilitasnya.

Hasil beberapa survei menunjukan, elektabilitas Jokowi masih bertengger di posisi puncak. Wajar, karena sebagai petahana, dia paling disorot media. Jokowi pun memiliki ruang untuk mendongkrak elektabilitas lewat implementasi program kerja pemerintah.

Hasil survei Political Marketing Consulting (PolMark) Indonesia yang dirilis Minggu (22/10) menunjukan, elektabilitas Jokowi mencapai 41,2 persen. Elektabilitas Jokowi lebih tinggi dibandingkan Prabowo Subianto (21 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (2,9 persen), Anies Baswedan (2,2 persen), Hary Tanoesoedibjo (2,0 persen), Gatot Nurmantyo (2,0 persen), Jusuf Kalla (1,9 persen), Megawati (1,1 persen), Rhoma Irama (1,0 persen), dan Moh Mahfud MD (0,6 persen).

Lembaga Media Survei Nasional (Median) juga merilis survei elektabilitas pada 2 Oktober 2017. Hasilnya, Jokowi berada di posisi teratas, dengan tingkat elektabilitas 36,2 persen, mengalahkan Prabowo dengan 23,2 persen.

Lampu Kuning bagi Jokowi

Namun, terlalu dini menyimpulkan Jokowi pasti menang dalam pertarungan. Karena, persepsi publik terkait pilihan politik, bergerak fluktuatif. Dengan tingkat elektabilitas di bawah 50 persen, posisi Jokowi juga rawan tergusur. Apalagi, ada kecenderungan jika masyarakat lebih menyukai tokoh alternatif, selain Jokowi dan Prabowo.

Itu terlihat dari hasil survei Median yang dilakukan 14-22 September lalu. Dari 1.000 responden yang direkrut, sebanyak 40,6 persen responden ingin calon presiden alternatif. Lalu, 63,8 persen responden ingin pergantian rezim dan 36,2 persen yang ingin kepemimpinan Jokowi dua periode.

Peluang tokoh alternatif untuk mengalahkan Jokowi sangat besar karena masih ada waktu dua tahun memompa elektabilitas. Kubu yang berseberangan dipastikan akan kian intensif mempreteli elektabilitas Jokowi. Mereka bakal makin tajam mengkritisi klaim-klaim keberhasilan pemerintah.

******

Di kala Pilpres 2014, Jokowi menjadi magnet electoral. Dukungan dari masyarakat sangat besar. Elektabilitasnya kala itu meroket. Hasil survei Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) yang dirilis Maret 2014 menunjukan, elektabilitas Jokowi mencapai 40,32 persen, menyisihkan Prabowo (10,64 persen), Jusuf Kalla (6,08 persen), Wiranto (4,96 persen), Aburizal Bakrie (1,12 persen), dan Megawati (1,04 persen).

Hasil survey Cirus Surveyors yang juga dirilis Maret 2014, menempatkan elektabilitas Jokowi di angka 41,5 persen. Sementara Prabowo (17,1 persen), Wiranto (8,9 persen), Aburizal Bakrie (8,0 persen), Jusuf Kalla (6,3 persen), Megawati (5,5 persen) dan Dahlan Iskan (2,0 persen).

Meski elektabilitasnya tinggi, kemenangan Jokowi tidak begitu signifikan. Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla memenangkan pertarungan dengan meraih dukungan 70.997.833 suara (53,15 persen), mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta, yang memperoleh 62.576.444 suara (46,85 persen).

Kampanye hitam (black campaign) menjadi pukulan yang berdampak pada perolehan suara Jokowi. Di Pilpres 2014, kampanye hitam begitu masif. Masing-masing kubu melakukan berbagai cara untuk melakukan pembusukan politik. Tidak hanya menyerang Jokowi. Prabowo juga kewalahan dihantam kampanye hitam. Namun, dari catatan Politicawave, Jokowi-Jusuf Kalla mendapat serangan kampanye hitam sebanyak 94,9 persen dan kampanye negatif sebanyak 5,1 persen. Sementara Prabowo-Hatta menerima kampanye hitam sebanyak 13,5 persen dan kampanye negatif sebanyak 86,5 persen.

Suksesi 2014 memang begitu melelahkan dan emosional. Sampai-sampai, masyarakat ikut terbelah akibat informasi distortif yang berseleweran di media massa dan media sosial. Media massa juga terjebak dalam pertarungan politik karena memiliki agenda sesuai kepentingan politik pemiliknya. Sementara media sosial laksana monster yang gencar menebar kebencian.

Kampanye hitam nampaknya akan kian ramai jelang Pilpres 2019. Hal itu tidak menyehatkan demokrasi dan mengusik harmoni sosial. Namun, di ajang suksesi, kampanye hitam sulit dibendung.

Kampanye hitam bukan hal luar biasa dalam politik. Di Amerika Serikat (AS) yang katanya menjadi kiblat demokrasi, kampanye hitam lebih menyeramkan. Saat Pilpres 2016 lalu, calon presiden yang diusung Partai Republik, Donald Trump begitu gencar menghembuskan pernyataan bernada kebencian dan rasis. Trump menyerukan larangan kepada orang-orang Islam memasuki AS. Trump pun dikecam lantaran berencana membangun dinding raksasa di perbatasan AS-Meksiko karena Meksiko dinilainya mengekspor bandit ke AS.

Felipe Calderon, mantan Presiden Meksiko menyamakan Trump dengan Adolf Hitler yang rasialis. Calderon menilai, Trump mengeksploitasi ketakutan sosial seperti dilakukan Hitler di zamannya. Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus juga mengecam Trump yang ingin membangun dinding pembatas. Paus meragukan keimanan Trump sebagai penganut Kristen.

Di Pilpres 2012, sentimen agama juga menyerang Barrack Obama, calon presiden yang diusung Partai Demokrat. Hasil jajak pendapat yang mengulas agama Obama dirilis Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life.

Hasil riset menunjukan, lebih dari separuh rakyat AS tidak mengetahui agama Obama. Lalu, ada 17 persen menyebut Obama beragama Islam. Kemudian, 49 persen responden menyebut Obama beragama Kristen. Hasil riset itu memicu perdebatan. Bagi lawan politik Obama, isu itu dijadikan senjata. Mereka menyerang Obama dengan mengulas sentimen terhadap Islam usai serangan teroris 11 September 2001 silam.

Di Pilpres AS 2008, Michelle Obama, isteri Obama juga dituding pernah menyebut whitey, yang mengarah pada warga kulit putih. Ucapan itu ditayang di sejumlah blog di kubu Republik dan dijadikan bancakan media.

Pertarungan Wacana

Jika mencermati dinamika yang berkembang, polarisasi di masyarakat tidak terlepas dari persoalan politik. Sentimen antarkelompok begitu jelas. Ironisnya, pemerintah tidak optimal mendorong konsolidasi. Cara-cara yang dilakukan masih sebatas meredakan ketegangan sementara. Terkesan pula membela pihak-pihak yang mendukung pemerintah.

Sentimen antarkelompok menggumpal saat Pilkada DKI Jakarta. Konflik kian mengemuka dan memancing demonstrasi besar-besaran tatkala mencuat kasus penistaan agama yang dilakoni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, 27 September tahun lalu, yang mengutip Al-Quran Surat Al Maidah 51, mematik kemarahan sebagian umat Islam.

Perkara itu secara tidak langsung mempengarui hubungan Jokowi dengan kelompok-kelompok Islam. Jokowi dikesankan melindungi Ahok. Sementara kubu yang mendukung Ahok menganggap, aksi-aksi yang dimobilisasi kelompok-kelompok Islam, tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.

Usai perhelatan Pilkada DKI Jakarta, masih menyisahkan polemik. Di media sosial, dua kubu yang berseberangan kerap perang-perangan. Teranyar, soal diksi "Pribumi" yang disampaikan Anies Baswedan saat berpidato usai dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.

Anies dianggap melanggar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998. Ketentuan itu melarang penggunaan istilah pribumi dan non pribumi untuk menyebut warga negara. Anies juga dinilai telah mengabaikan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Anies lalu diperkarakan ke kepolisian oleh Organisasi Masyarakat, Banteng Muda Indonesia DKI Jakarta, sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ada pula yang mempertanyakan garis keturunan Anies. "Anda pribumi, pak gubernur?" tulis Denny Siregar, penggiat media sosial. Anies memang berdarah Arab. Kakeknya, Abdurrahman (AR) Baswedan yang merupakan pendiri Partai Arab Indonesia (PAI).

Sebaliknya, kubu yang lain, menilai tuduhan yang menyudutkan Anies, berlebihan dan lebay. Ada pula yang mengaitkan penggunaan kata Pribumi yang pernah disampaikan Jokowi, Megawati, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Mereka bertanya, jika Anies diperkarakan, mengapa Jokowi, Megawati, dan Susi tidak? Mungkin, nanti akan muncul pihak-pihak yang memperkarakan Jokowi, Megawati, Susi, atau pihak-pihak lainnya, lantaran menggunakan diksi Pribumi.

Anies sudah mengklarifikasi jika konteks penggunaan kata Pribumi dalam pidatonya untuk era kolonial. "Saya juga menulisnya (konteksnya) era penjajahan dulu," katanya di Balai Kota Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (17/10) tanpa ingin memberikan komentar lebih lanjut. 

Dalam literatur sejarah, istilah pribumi segaja diciptakan Pemerintah Kolonial Belanda untuk memecah belah (devide et impera) masyarakat di Hindia Belanda. Pribumi (Inlander) merupakan penamaan bagi rakyat (kelompok mayoritas), yang hak-hak sangat dibatasi. Dalam bidang perdagangan misalnya, pribumi hanya mendapatkan akses perdagangan di wilayah yang sempit. Berbeda dengan ras Eropa, yang mendapat keistimewaan.

Mereka mendapatkan lisensi mengembangkan aktivitas perdagangan dalam wilayah yang luas. Mereka bebas mengembangkan kegiatan ekspor dan impor. Sedangkan etnis keturunan Tionghoa, Arab, dan India, diberikan lisensi perdagangan seputar wilayah domestik. Pengkavlingan wilayah perdagangan yang tidak adil itu kemudian memicu penentangan. Pengusaha pribumi membentuk Sarekat Islam (SI) untuk menuntut perlakukan yang sama. Dalam perjalanannya, SI bermetamorfosis menjadi gerakan politik kebangsaan.

Namun, wacana yang berkembang di ranah publik beranekaragam. Penggunaan diksi pribumi menjadi sensitif bagi sebagian kalangan, khususnya warga negara Indonesia (WNI) peranakan Tionghoa. Karena, mengingatkan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kala itu, mereka menjadi korban kekerasan komunal yang dipicu krisis ekonomi. Mereka banyak yang hijrah ke negara lain demi menyelamatkan diri dari amuk massa. Sebagian harta mereka ludes karena dibakar dan dijarah. Bahkan, ada yang menjadi korban pemerkosaan.

Agar terhindar dari amuk massa, prasangka, dan kebencian, mereka yang bertahan, terpaksa harus memperlihatkan simbol-simbol pribumi yang merepresentasikan identitas kelompok mayoritas. Banyak terpampang spanduk "Saya pribumi asli" atau "Saya muslim", dan sebagainya, di depan rumah maupun toko-toko milik warga keturunan Tionghoa.

Etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan lantaran stereotip terhadap mereka yang masih menancap di benak sebagian masyarakat. Ada anggapan jika etnis Tionghoa ekslusif, tidak mau bergaul dengan kelompok masyarakat umumnya. Prasangka (prejudice) yang melatari penilaian yang tidak berdasar (unjustified) itu, membatasi proses interaksi sosial.

Sementara kalangan lain, memaknai istilah pribumi sebagai kelompok termarginal akibat ketimpangan struktural yang mengukuhkan dominasi segelintir elit dalam menguasai sumber-sumber ekonomi. Saat ini, masih menggumpal sentimen terhadap etnis Tionghoa. Bukan karena sikap maupun perilaku etnis Tionghoa. Namun, sentimen itu dipicu perilaku korporasi milik pengusaha berdarah Tionghoa yang berkongsi dengan penguasa. Atas nama pembangunan dan investasi, mereka menancapkan kepentingan bisnisnya, dengan cara-cara yang memarginalisasikan masyarakat kecil.

Contoh, pelaksanaan proyek reklamasi di kawasan pantai utara Jakarta. Bagi pengembang, kawasan itu memiliki nilai jual yang tinggi. Harga tanahnya mencapai puluhan juta rupiah per meter. Ambisi pengusaha mencaplok kawasan itu diamini oleh pemerintah. Pengusaha juga melobi politisi dan pejabat di birokrasi agar bisa mengeksploitasikan kawasan tersebut. Dan, seperti diketahui, aroma suap menguap dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Reklamasi.

Perkara itu menyeret politisi Partai Gerindra M. Sanusi, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (Tbk) Ariesman Widjaja, dan asisten pribadinya, Trinanda Prihantoro. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggapnya sebagai korupsi berskala besar (grand corruption). Namun, hingga saat ini, KPK tidak berhasil menangkap big fish dalam perkara tersebut.

Sementara bagi masyarakat, khususnya yang tinggal di kawasan pesisir utara Jakarta, reklamasi dengan orientasi bisnis properti, akan menutup akses mencari sumber-sumber kehidupan. Pantai yang seharusnya menjadi ruang terbuka berubah fungsi menjadi ruang privat. Dominasi itu mengukuhkan sentimen. Mereka yang termarginal akan terus-terusan menentang cara-cara pengusaha yang mengkavling-kavling sumber-sumber ekonomi.

Polemik yang terjadi, tidak sekadar soal penggunaan diksi Pribumi. Pihak-pihak tertentu nampaknya mempolitisasi untuk menghantam Anies. Namun, mungkin saja Anies sengaja menggunakan diksi Pribumi dengan tujuan politik. Bisa jadi, penggunaan diksi itu untuk mendeteksi respons publik, sambil menimang-nimang kekuatan pro dan kontra. "Jangan-jangan, isu pribumi ini sengaja digulirkan Anies untuk tujuan memancing reaksi lawan, dan ketika lawan bereaksi alias terpancing, Anies menuai dukungan dari isu itu," ujar Peneliti senior LSI Network Denny JA, Toto Izul Fatah seperti dikutip Antara (20/10).

Kemenangan Anies-Sandi, tentu menjadi pukulan bagi Jokowi. Bukan mustahil, Anies bakal menjadi lawan Jokowi di Pilpres 2019. Dia akan mengikuti jejak Jokowi yang menjadikan jabatan Gubernur DKI Jakarta sebagai batu loncatan menuju kursi presiden. Secara psikologis, Anies mungkin terbebani oleh patron yang membandulinya: Prabowo. Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu namanya disebut-sebut bakal bertarung lagi dengan Jokowi. Namun, jika elektabilitasnya stagnan, Prabowo mungkin membuka celah bagi Anies atau tokoh lain untuk mengalahkan Jokowi. Akan sulit bagi Prabowo memenangkan pertarungan jika elektabilitasnya rendah.

Seperti halnya Megawati yang merestui Jokowi sebagai capres atas pertimbangan dinamika yang berkembang. Megawati bisa saja menggunakan “hak veto” yang dimilikinya, untuk mendeklarasikan sebagai capres. Tapi, dia merespon dan mencermati harapan para kader, simpatisan, dan masyarakat, yang menginginkan Jokowi sebagai capres.

Sebagai politisi, Anies tentu tidak akan menyia-nyiakan momentum. Dia akan mencermati dinamika politik yang berkembang. Jika namanya digadang-gadang, disertai dukungan besar, bukan mustahil, dia akan melaju di ajang Pilpres 2019, berhadapan dengan Jokowi, termasuk Prabowo.

Posisinya sebagai gubernur DKI Jakarta pun sangat strategis secara politis. Apalagi, untuk menghantam Jokowi. Di kala kampanye Pilpres 2014, Jokowi berjanji akan menuntaskan permasalahan transportasi guna mengurai masalah kemacetan, termasuk banjir, yang kerap menerpa warga DKI Jakarta.

Jokowi menyakinkan warga Jakarta jika menjadi presiden, akan mudah mengatur dan memerintahkan kepala daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) untuk bekerja sama menuntaskan masalah kemacetan dan banjir Jakarta. Karenanya, cukup beralasan jika Jokowi khawatir proyek itu tidak selesai sesuai target di era kepemimpinan Anies. Semua spekulasi itu bisa saja terjadi karena politik itu dinamis.

Kritisi Kinerja Pemerintah

Tiga tahun memimpin pemerintahan, masyarakat dapat menilai kinerja pemerintahan Jokowi. Hal itu akan menjadi referensi dalam menentukan pilihan politik. Harus diakui, ada pencapaian yang ditorehkan, meski belum mencapai target yang diharapkan.

Di bidang perekonomian, pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan. Pada Oktober 2017, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,01 persen, turun dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 5,02 persen. Angka pertumbuhan tersebut, di bawah target pemerintah yaitu 5,3 persen di tahun 2017. Sementara tingkat kemiskinan mencapai 10,64 persen dan tingkat pengangguran 5,393 persen. Angka itu juga meleset dari target, di mana tingkat kemiskinan berkisar 9,5 persen-10,5 persen.

Dalam pengelolaan utang luar negeri, pemerintah mengklaim, lebih hati-hati dan kemampuan membayar yang membaik. Namun, utang luar negeri menunjukan kenaikan signifikan. Bank Indonesia (BI) mencatat, hingga Triwulan II-2017, utang luar negeri Indonesia mencapai US$335,3 miliar atau setara Rp4.478,9 triliun. Jumlah utang ini naik 2,9 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sementara pada Oktober 2014, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 294,5 miliar atau setara dengan Rp3.727 triliun.

Melambungnya utang luar negeri di era Jokowi karena pemerintah berorientasi pada pembangunan infrastruktur. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, ada 245 proyek strategis nasional plus dua program dengan nilai investasi Rp4.197 triliun. Dari proyek-proyek tersebut, 13 proyek senilai Rp444 triliun di Maluku dan Papua, 27 proyek senilai Rp155 triliun di Sulawesi, dan 15 proyek senilai Rp11 triliun di Bali dan Nusa Tenggara.

Proyek paling banyak di Jawa yakni 93 proyek dengan nilai Rp1.065 triliun, disusul Sumatera dengan 66 proyek senilai Rp884 triliun. Menurut data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), pencapaian proyek strategis nasional pada Kuartal II 2017, antara lain, Pelabuhan Patimban, Pelabuhan Hub Internasional Kuala Tanjung, kereta ringan (light rail transit/LRT) Jabodebek, bandara internasional Daerah Istimewa Yogyakarta, Kilang Minyak Bontang, dan Tol Serang-Panimbang.

Pembangunan infrastruktur di sejumlah daerah adalah upaya mendorong pemerataan ekonomi dan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Hal itu diharapkan memangkas disparitas pembangunan akibat kebijakan pembangunan yang lebih memusatkan di perkotaan, khususnya di Jawa dan Sumatera.

Pembangunan infrastruktur seperti transportasi dapat memperkuat keterkaitan (linkage) antarkawasan. Dengan dukungan infrastruktur transportasi, aktivitas perekonomian masyarakat dapat lebih hidup. Selain klaim keberhasilan pembangunan infrastruktur, pemerintah juga mengklaim sukses mengendalikan harga pangan dan penerapan bantuan sosial. Terkendalinya harga pangan tercermin dari laju inflas di bawah 4 persen.

Sedangkan terkait bantuan sosial, pemerintah mengklaim, pendistribusiannya lebih terarah dan mulai memanfaatkan kartu dalam pemberian bantuan. Pemerintah juga mentrasformasi skema subsidi secara bertahap menjadi bantuan tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat jumlah, serta menyatukan dengan semua bentuk bantuan sosial.

Berdasarkan capaian-capaian utama tersebut, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution seperti dikutip Antara (22/10) meyakini, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017 dapat mendekati 5,4 persen. Namun, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, tingkat pertumbuhan dicapai, belum sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang mencapai 6% hingga 8%. Enny juga mempertanyakan sejauh mana pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah mampu meningkatan produktivitas dan daya saing.

Selain itu, kian melambungnya utang luar negeri menuai sorotan. Indonesia memang membutuhkan dana besar untuk pembangunan. Namun, sumber pendanaan tidak harus mengandalkan utang luar negeri. Pemerintah bisa mengoptimalkan sumber pendapatan dalam negeri seperti pajak, pengelolaan kekayaaan alam, industri domestik, kegiatan ekspor impor, dan pemanfaatan potensi lain yang dimiliki. Ketergantungan terhadap utang luar negeri, kian menggiring negara ini dalam perangkap jebakan utang luar negeri (dept trap), yang akan mewarisi masalah ke depan.

Saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi memperlihatkan sikap alergi terhadap utang luar negeri. Dia pernah menolak utang dari Bank Dunia sebesar US$139,64 juta atau sekitar Rp1,25 triliun untuk proyek pengerukan sungai di Jakarta.

Alasannya, uang milik Pemerintah Propinsi DKI Jakarta masih ada dari sisa lebih anggaran (Silpa) sebesar Rp10 triliun. Utang itu diusulkan pemerintah pusat untuk penanggulangan banjir di Jakarta, salah satunya untuk membiayai proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP). Jokowi juga pernah menolak bantuan untuk korban banjir dari Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.

Indonesia harusnya belajar dari Yunani. Lilitan utang luar negeri hingga mencapai 177 persen dari produk domestik bruto (PDB), menyebabkan negeri para dewa itu bangkrut. Negara itu gagal membayar utang sebesar US$1,7 miliar kepada The International Monetary Fund (IMF) hingga jatuh tempo, 30 Juni 2015.

Defisit anggaran memaksa pemerintah melakukan efisiensi, pengetatan kebijakan moneter, pencabutan subsidi, privatisasi perusahaan-perusahaan publik, rasionalisasi lewat program pensiun dini, memangkas gaji pegawai dan sebagainya. Kebijakan itu menuai kemarahan rakyat Yunani.

Kebangkrutan Yunani menunjukan beresikonya sebuah negara yang tergantung pada utang luar negeri. Selain harus membayar cicilan bunga yang tak wajar, Negara-negara yang mengutang juga harus melayani kepentingan negara-negara pemberi utang. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 706
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 865
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 817
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 913
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1151
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1406
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1550
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya