RENUNGAN

Karena Bercermin dalam Gelap

| dilihat 2415

Bang Sem

BOLEH jadi, politisi kita sudah cukup fasih mengartikulasikan demokrasi, namun rakyat masih harus mengeja demokrasi secara alfabetis. Terutama, saat politisi bangsa ini kembali mengulang-ulang beragam teori usang tentang ke­bangsaan dan demokrasi. Seolah-olah kita sedang me­rasa sedang melangkah ke masa depan, padahal se­sungguhnya sedang melangkah berputar ke masa lalu.

Karena bercermin dalam gelap, kita tak sanggup membedakan mana wong cilik dan mana pula wong licik. Kita tak kuasa memahami dengan benar dan mempraktikkan dengan tepat, hati nurani dan perbedaan substansialnya dengan akal budi.

Kita masih harus mengeja dengan gagap, perbedaan hakiki amanat dengan khianat. Sama seperti kita harus mengeja hakekat kebangkitan dengan pertikaian, atau mengeja secara terbata-bata hakekat reformasi yang berbanding diametral dengan deformasi.

Karena bercermin dalam gelap, kita seolah tak kuasa merumuskan indikator-indikator kemajuan dan kegagalan, hanya lantaran seluruh pikiran dan sukma kita terjebak nafsu berkuasa yang sedemikian besar. Akibatnya, ketika kita menyatakan diri peduli terhadap rakyat, secara sadar kita memanipulasi penderitaan rakyat.

 Kita menyandangkan kata ‘swadaya masyarakat’ hanya karena kita ingin mem­peroleh bantuan dari donor luar negeri, diam-diam menuntut bantuan pemerintah, dan meminta perlakuan istimewa dari beragam institusi negara.

Karena bercermin dalam gelap, kita sesuka hati mengatasnamakan rakyat dan menyatakan ‘memper­juangkan nasib rakyat’ sebagai kemasan untuk memperjuangkan hasrat dan keinginan sendiri. Kita me­neriakkan berbagai jargon di hadapan massa rakyat, lalu melupakannya begitu saja, ketika ter­goda oleh ‘birahi’ kekuasaan dan ekonomi diri sendiri.  Akhirnya menjual kerangka idealistika kemerdeka­an bangsa, dengan sangat rendah.

Karena bercermin dalam gelap, kita mobilisasi rakyat, dan kemudian membiarkannya kembali terjebak dalam derita panjang. Dan perlahan tapi pasti, mengondisikan rakyat tenggelam dalam persepsi dubieus tentang demokrasi dan ke­merdekaan.

Kita tak pernah sadar, membiarkan diri terkungkung kebahlulan dan kebahilan mental, saat menyebut kosa kata: keadilan, sejahtera, persatuan, karya, demokrasi, pembaruan, kebangkitan, peduli, gerakan, hati nurani, barisan, pemuda, republik, dan entah kosakata apalagi. Lalu, bingung merumuskan makna dan aplikasi-nya dalam realitas pertama kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Karena bercermin dalam gelap, kita abai, bagaimana para founding fathers bangsa ini, sesungguhnya telah menjadi teladan untuk merumuskan In­donesia. Termasuk cara dan ciri untuk men­jadi sungguh  Indonesia. Mereka mampu meneriakkan kata damai, dan mempraktikan hakekat hidup damai dengan sebaik-baiknya, dan kongkret.

Sekaranglah momentumnya: membuktikan kepada rakyat, bahwa ke­merdekaan bukanlah semata-mata kebebasan memper­juangkan hak, tapi lebih dari itu adalah kemandirian dalam melaksanakan kewajiban, dan memperoleh hak secara adil. Sekaranglah momentumnya, membuktikan kepada rakyat, bahwa demokrasi me­rupakan cara utama men­capai harmoni kehidupan ber­bangsa. Bukan justru ke­balikannya. Karenanya, konsolidasi demokrasi, tak boleh senoktah pun menodai harmoni bangsa.

Kita juga tak perlu lagi berselimut eufimisme bahasa, yang menenggelamkan akal budi. Stop bercermin dalam gelap, hadirkan kembali proklamasi dan pembukaan UUD 1945 sebagai cermin bangsa. Cermin obyektif untuk membenahi diri sebagai bangsa yang beradab, berkeadaban, dan berperadaban. |

Editor : N Syamsuddin Ch. Haesy
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 247
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 342
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 537
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1060
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 289
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 754
Momentum Cinta
Selanjutnya