Bang Sem
BOLEH jadi, politisi kita sudah cukup fasih mengartikulasikan demokrasi, namun rakyat masih harus mengeja demokrasi secara alfabetis. Terutama, saat politisi bangsa ini kembali mengulang-ulang beragam teori usang tentang kebangsaan dan demokrasi. Seolah-olah kita sedang merasa sedang melangkah ke masa depan, padahal sesungguhnya sedang melangkah berputar ke masa lalu.
Karena bercermin dalam gelap, kita tak sanggup membedakan mana wong cilik dan mana pula wong licik. Kita tak kuasa memahami dengan benar dan mempraktikkan dengan tepat, hati nurani dan perbedaan substansialnya dengan akal budi.
Kita masih harus mengeja dengan gagap, perbedaan hakiki amanat dengan khianat. Sama seperti kita harus mengeja hakekat kebangkitan dengan pertikaian, atau mengeja secara terbata-bata hakekat reformasi yang berbanding diametral dengan deformasi.
Karena bercermin dalam gelap, kita seolah tak kuasa merumuskan indikator-indikator kemajuan dan kegagalan, hanya lantaran seluruh pikiran dan sukma kita terjebak nafsu berkuasa yang sedemikian besar. Akibatnya, ketika kita menyatakan diri peduli terhadap rakyat, secara sadar kita memanipulasi penderitaan rakyat.
Kita menyandangkan kata ‘swadaya masyarakat’ hanya karena kita ingin memperoleh bantuan dari donor luar negeri, diam-diam menuntut bantuan pemerintah, dan meminta perlakuan istimewa dari beragam institusi negara.
Karena bercermin dalam gelap, kita sesuka hati mengatasnamakan rakyat dan menyatakan ‘memperjuangkan nasib rakyat’ sebagai kemasan untuk memperjuangkan hasrat dan keinginan sendiri. Kita meneriakkan berbagai jargon di hadapan massa rakyat, lalu melupakannya begitu saja, ketika tergoda oleh ‘birahi’ kekuasaan dan ekonomi diri sendiri. Akhirnya menjual kerangka idealistika kemerdekaan bangsa, dengan sangat rendah.
Karena bercermin dalam gelap, kita mobilisasi rakyat, dan kemudian membiarkannya kembali terjebak dalam derita panjang. Dan perlahan tapi pasti, mengondisikan rakyat tenggelam dalam persepsi dubieus tentang demokrasi dan kemerdekaan.
Kita tak pernah sadar, membiarkan diri terkungkung kebahlulan dan kebahilan mental, saat menyebut kosa kata: keadilan, sejahtera, persatuan, karya, demokrasi, pembaruan, kebangkitan, peduli, gerakan, hati nurani, barisan, pemuda, republik, dan entah kosakata apalagi. Lalu, bingung merumuskan makna dan aplikasi-nya dalam realitas pertama kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Karena bercermin dalam gelap, kita abai, bagaimana para founding fathers bangsa ini, sesungguhnya telah menjadi teladan untuk merumuskan Indonesia. Termasuk cara dan ciri untuk menjadi sungguh Indonesia. Mereka mampu meneriakkan kata damai, dan mempraktikan hakekat hidup damai dengan sebaik-baiknya, dan kongkret.
Sekaranglah momentumnya: membuktikan kepada rakyat, bahwa kemerdekaan bukanlah semata-mata kebebasan memperjuangkan hak, tapi lebih dari itu adalah kemandirian dalam melaksanakan kewajiban, dan memperoleh hak secara adil. Sekaranglah momentumnya, membuktikan kepada rakyat, bahwa demokrasi merupakan cara utama mencapai harmoni kehidupan berbangsa. Bukan justru kebalikannya. Karenanya, konsolidasi demokrasi, tak boleh senoktah pun menodai harmoni bangsa.
Kita juga tak perlu lagi berselimut eufimisme bahasa, yang menenggelamkan akal budi. Stop bercermin dalam gelap, hadirkan kembali proklamasi dan pembukaan UUD 1945 sebagai cermin bangsa. Cermin obyektif untuk membenahi diri sebagai bangsa yang beradab, berkeadaban, dan berperadaban. |