KAHMI Perlu Pemimpin Penerus Perjuangan Lafran Pane

| dilihat 1711

N. Syamsuddin Ch. HAESY

KEINDONESIAAN, Keislaman dan Keilmuan adalah trilogi, yang saya fahami, lahir dari pemikiran Prof. Drs. Lafran Pane dan 30 rekannya -- yang kala itu masih mahasiswa -- di tengah bangsa mempertahankan kemerdekaan, yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 oleh Soekarno – Hatta. Dengan kesadaran atas trilogi itulah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada 5 Februari 1947.

Modalnya adalah keikhlasan mengabdi dan kegigihan berjuang, memberi kontribusi terbaik bagi bangsa secara keseluruhan. Lantas HMI berkembang dan menjadi musuh utama komunis. Bahkan, Partai Komunis Indonesia (PKI) tak pernah berhenti meniupkan angin panas, agar Presiden Soekarno membubarkan organisasi mahasiswa yang telah melahirkan jutaan kader bagi bangsa ini, di seluruh lapangan kehidupan dan pengabdian.

Spirit nasionalisme religius berbasis kecendekiaan adalah nafas perjuangan HMI, sehingga Jenderal Sudirman, menyebut: HMI adalah juga harapan masyarakat Indonesia. Dari titik pandang ini, saya membayangkan, seluruh kader yang pernah ditempa di HMI, mestinya paham, apa dan bagaimana posisi mereka, sebagai alumni – secara fungsional dan profesional – di tengah dinamika kebangsaan kita yang sedang berayun-ayun di tengah gelombang perubahan ini.

Terutama ketika gelombang globalisasi dan glokalisasi dengan berbagai fakta brutal perubahan ekonomi dan politik dunia perlahan menjadi puting beliung yang akan menghempas negara-negara Selatan, termasuk Indonesia di dalamnya.

Dampaknya kini sedang dirasakan rakyat di seluruh peringkat sosial, yakni ironi sosial ekonomi : daya beli rakyat merosot, justeru ketika pertumbuhan ekonomi (di atas 5 persen) relatif baik.

Kondisi ini bila tak dijaga baik, akan berdampak sangat buruk dari sudut pandang politik ekonomi dan sosial budaya. Yakni, terjadinya ambivalensianisma yang akan sangat mudah menyeret rakyat ke dalam polarisasi sosial yang ekstrem.

Dalam konteks Indonesia, bila terjadi pembiaran, termasuk melebarnya kesenjangan sosial yang ditambah bumbu kabar wadul (hoax), akan terjadi benturan keras antara nasionalisme (yang dipahami hanya sebagai narrow nationalism) dan religiusitas (yang didikotomikan dengan muslim – non muslim). Terutama, ketika demokrasi telah kehilangan daya sebagai cara mewujudkan harmoni kebangsaan, dan hanya sekedar sebagai alasan untuk rebutan kekuasaan.

Di tengah situasi demikian, spirit Lafran Pane menjadi penting. Berbagai buku dan tulisan tentang Lafran Pane mencatat hal yang sama: Lafran Pane dan kawan-kawan mendirikan HMI untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia !

Dalam satu tarikan nafas, HMI didirikan untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam (dalam dimensi rahmatan lil alamiin). Di tengah polarisasi, Lafran Pane menempatkan HMI sebagai medium : menyatukan yang terserak dan memberi ruang kebebasan kepada siapa saja yang sepakat untuk memilih jalannya sendiri. Inilah yang saya catat sebagai pondasi penting prinsip independensi HMI.

Dengan perspektif demikian, kita boleh bertanya: bagaimana KAHMI (korps alumni HMI) menerjemahkan posisinya di tengah kondisi bangsa dan situasi politik kini, yang rentan dengan perpecahan dan jauh dari jalan demokrasi yang sesungguhnya (musyawarah – mufakat).

KAHMI tak boleh lagi duduk, diam, termangu dan membisu di tengah realitas bangsa saat ini. KAHMI harus memainkan peran strategis, sekurang-kurangnya sebagai garda depan dalam konteks mempertahankan nilai dasar kebangsaan kita (keislaman dan keindonesiaan). KAHMI tak boleh berwatak khunsta: duduk tegak berdiri canggung, kala melangkah tertampak bingung.

Alumni HMI harus menjadikan KAHMI, organisasi yang jelas berjiwa nasionalisme religius berbasis kecendekiaan : duduk bijak, berdiri tegak, kala melangkah jejak tak cagak.

Organisasi yang jelas posisinya di tengah konstelasi kebangsaan dan keumatan. Organisasi yang sungguh merupakan wadah kader bangsa yang tak pernah keder menghadapi tantangan zaman. Organisasi yang mau dan mampu menjadi lokomotif transformasi bangsa, paling tidak menuju seabad Indonesia sebagai bangsa yang sungguh berdaulat, berdaya saing tinggi, dan unggul dalam peradaban.

Untuk kepentingan itu, KAHMI harus dipimpin oleh mereka yang jelas wataknya, tahu ke mana dan bagaimana organisasi hendak di bawa ke tujuan, pemimpin yang (tak usah bersoal senioritas – yunioritas) berkualitas. Tangkas berfikir, cerdas bersikap, trengginas dalam bertindak.

KAHMI perlu pemimpin yang tidak menempatkan dirinya hanya sebagai kepanjangan tangan partai politik dan penguasa, melainkan pemimpin yang mampu mempertemukan dan memperjuangkan kepentingan publik (rakyat – umat) dan republik (negara) dalam satu irama.

Untuk memperoleh pemimpin yang mau dan mampu melanjutkan perjuangan Prof. Drs. Lafran Pane dan seluruh pendiri HMI, Musyawarah Nasional X KAHMI di Medan (17-19 November 2017) harus sungguh bersih dari praktik politisi pandir, seperti : money politic

Untuk itu kualitas Munas X KAHMI harus dijaga bersama. Buruk hasil Munas KAHMI, padah buruk akan menghempas berjuta alumni HMI. Karenanya, seluruh peserta Munas X KAHMI, ada baiknya berdendang lagu Lancang Kuning : lancang kuning berlayar malam / haluan menuju ke laut dalam / kalau nahkoda kuranglah paham / alamat kapal akan tenggelam // | 

                                                                                                                                                                                                                Penulis - Pensyarah Imagineering Mindset 

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1501
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1320
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya